Mahasiswa Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, Shri Hardjuno Wiwoho mewacanakan tindakan perampasan aset bagi koruptor tanpa harus melalui tuntutan pidana.

"Saya berharap pendekatan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelamatkan aset negara dengan lebih efisien, sambil tetap menjaga prinsip kepastian hukum," kata dia saat merilis hasil penelitiannya berjudul "Prinsip Kepastian Hukum pada Akselerasi Reformasi Hukum terhadap Perampasan Aset tanpa Tuntutan Pidana (Non- Conviction Based Asset Forfeiture)" di kampus Unair, Surabaya, Selasa.

Apalagi, kata dia, pemerintah Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) sejak tahun 2012. Bahkan, naskah akademik sebagai dasar pembentukan RUU tersebut telah disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). 

Menurut mahasiswa program doktor itu, meskipun RUU PATP telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019, hingga kini belum ada pembahasan oleh DPR.

"Padahal Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) tertanggal 4 Mei 2023 kepada DPR RI, meminta agar lembaga legislatif segera memprioritaskan pembahasan RUU tersebut," ujarnya.

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa jumlah laporan yang diterima PPATK terus meningkat jumlahnya.

"Oleh karena itu, penanggulangan tipikor memerlukan pendekatan yang extraordinary (luar biasa). Apalagi, kerugian negara akibat tipikor dan pencucian uang ini sangat besar," ucapnya.

Salah satu cara penanganan terhadap kejahatan tersebut adalah merampas aset untuk memulihkan kondisi semula. 

Saat ini, sambungnya, perampasan aset telah menjadi fokus global, sesuai dengan ketentuan di United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. 

Masyarakat global sepakat tentang pentingnya menyita aset dari hasil kejahatan tanpa melibatkan tuntutan pidana. 

"Mekanisme perampasan aset tindak pidana dianggap sebagai norma dalam UNCAC, dengan tujuan mengoptimalkan upaya merampas aset hasil kejahatan tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana," tuturnya.

Hardjuno menegaskan konsep perampasan aset tanpa pemidanaan atau yang dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah ide restitusi kerugian negara.

"Tujuannya adalah mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindak kejahatan tanpa perlu menghukum pidana terlebih dahulu terhadap pelakunya," ujarnya. 

Adapun kategori aset yang dapat disita menggunakan metode NCB asset forfeiture melibatkan aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau diubah menjadi kekayaan pribadi, pihak lain, atau korporasi.

"Hal ini menjadi penting karena tindak pidana dengan motif ekonomi, seperti korupsi atau pencucian uang, dapat mengakibatkan kerugian bagi negara," ucapnya.

Dia menguraikan konsep perampasan aset tanpa melibatkan tuntutan pidana merupakan bagian dari skema hukum yang memungkinkan aset negara yang diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana dapat disita dan dikembalikan kepada negara sebagai upaya pemulihan aset negara. 

Pewarta: Willi Irawan

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024