Sebuah candaan atau jokes mengenai tingkah laku umat nonis (istilah yang kini populer di kalangan netizen, singkatan dari Non-Islam) yang tidak mau kalah dalam berburu takjil (menu berbuka puasa) sedang ramai di media sosial.

Dalam unggahan beberapa akun di media sosial, para nonis mengaku akan siaga lebih dulu di barisan terdepan dalam berburu menu berbuka puasa tersebut, bahkan dalam jokesnya akan "bersaing ketat" dengan umat Islam dengan cara memborong menu-menu yang tersaji di pertakjilan.

Di sisi lain, warning atau ancaman dalam balutan candaan akan diterima para nonis jika mereka sampai memborong dan umat Muslim tidak kebagian menu takjil. Ancamannya, umat Islam akan memborong semua stok telur yang ada pada saat momen paskah, yang diperingati sebagai hari kematian Yesus Kristus sang Juru Selamat ke surga. Dampaknya, terpaksa para nonis akan merayakan Paskah dengan telur pengganti, yakni Kinderjoy, yang merupakan jajanan anak-anak berbentuk telur dan berisi coklat.

Candaan ini mendapat berbagai respons menarik melalui komentar-komentar para netizen, meski juga ada yang berkomentar sinis, bahkan menganggap candaan ini tidak layak. Hal demikian wajar, karena diakui bahwa di tengah belantara hutan dunia maya tidak selalu satu suara dalam melihat setiap persoalan. Selalu muncul berbagai prespektif dalam melihat satu konten yang beredar.

Tidak hanya konten, candaan dalam bentuk verbal yang keluar dari mulut atau tingkah laku manusia pun tidak selalu disambut dan dipersepsikan linier sebagai candaan, karena memang tidak ada standar dalam sebuah candaan.

Candaan merupakan permainan bahasa dan pola tatanan kata yang unik. Dia bermain di dalam logika yang melebur dan bersembunyi di dalam keseriusan manusia dan mampu mengubah suasana jiwa serta menggoyangkan pola pikir.

Filsuf Immanuel Kant pun mempertegas bahwa tidak ada orang yang serius jika di dalamnya tidak ada candaan, karena hanya orang yang serius dan tegang yang bisa tertawa lepas, dan lelucon itu membangkitkan, menggeser, serta menghilangkan pikiran seseorang.

Begitu pun dengan kasus yang sedang viral mengenai si nonis berburu takjil, dalam balutan candaan itu kita diajak kembali untuk sadar bahwa di antara ketegangan yang terjadi saat ini mengenai perang di belahan Israel dengan Palestina, kemudian Rusia dengan Ukraina, serta panasnya suhu perpolitikan dalam negeri karena pemilu, perlu kiranya dilepas dengan mengajak semua golongan dan agama untuk memahami satu sama lain, dengan tetap memperhatikan rambu-rambu bersosialisasi.   

Dari sini kita belajar bahwa pola pikir dapat dibentuk, digeser, bahkan dihilangkan oleh candaan, karena dia mampu mengaburkan logika-logika berfikir manusia yang terbentuk.

Dalam pelajaran logika dasar, kita mengenal istilah premis, yakni kesimpulan yang didapat dari premis mayor dan minor, dan rumus tersebut bisa dikaburkan dengan lelucon. 

Beberapa contoh kalimat ini menggambarkan pelajar dasar mengenai logika. 

"Semua ikan hidup di dalam air…".
"Paus adalah ikan…".
"Paus hidup di dalam air…".

Ini adalah contoh bentuk logika yang selama ini kita pelajari, namun candaan atau lelucon mencoba mengaburkan dan meleburnya dengan memberi pertanyaan.

"Ikan apa yang tidak sanggup hidup di dalam air?"

Jika mengacu pada keilmuan dasar logika, kita akan bingung dan susah mencari jawaban mengenai ikan yang tidak bisa hidup di dalam air, dan kita akan memutuskan untuk menyerah. Di sinilah lelucon mampu memberi ruang jawaban untuk pertanyaan tersebut. 

Jawabannya, bisa, "Ikan Fauzi".

Di sini terjadi pengaburan logika dan pergeseran makna cara berfikir manusia, karena ruang candaan memberikan konsep yang sangat berbeda sekali dalam berpikir.

Sedikit contoh di atas membuktikan bahwa lelucon atau candaan mampu memburamkan kesimpulan logika yang selama ini kita pelajari.


Kekuatan toleransi 

Masyarakat di Indonesia patut bersyukur, karena adanya konsep toleransi beragama yang terus digaung-gaungkan oleh ulama serta tokoh agama kita dari dulu hingga sekarang. Hal ini menjadi kekuatan masyarakat untuk terus bersatu dan menguatkan kita dalam kebhinekaan.

Munculnya konten si nonis berburu takjil ini juga perlu ditanggapi sebagai bentuk toleransi, karena arti sesungguhnya dari konsep tolerani adalah saling menerima serta diartikan sebagai upaya menghormati.

Di dalam literasi Islam, batasan toleransi cukup jelas, yakni dibagi dua, yang meliputi ibadah dan muamalah. Ibadah adalah yang mencakup soal teologi atau ketuhanan, sedangkan muamalah berkaitan dengan hubungan sosial, dan jati diri manusia sebagai makhluk sosial.

Emha Ainun Najib, biasa disapa Mbah Nun, yang dikenal sebagai budayawan, kiai, serta tokoh agama pernah menegaskan dalam satu forum Maiyah bahwa jika kita memperdebatkan masalah teologi sama seperti ngajak "gelut" (bertengkar).

Memilih keyakinan itu, seperti layaknya memilih istri, kata kiai asal Jombang tersebut. Dan setiap orang pastinya memiliki penilaian sendiri terkait istrinya, layak atau tidaknya seseorang dijadikan istri adalah hak sepenuhnya seorang pria. 

Jadi, jika ada istri orang yang begini atau pun begitu tidak perlu dipersoalkan, karena setiap suami tidak suka jika istrinya dipersoalkan karena suami mempunyai penilaian tersendiri. Dari sinilah kita perlu belajar bahwa ulama atau tokoh agama kita terdahulu telah memberikan pondasi kuat dalam hal kehidupan sosial masyarakat, sehingga bangsa ini mampu bangkit dari penjajah serta bertahan hingga saat ini.

Bahkan, beberapa negara sempat heran dan memberikan apresiasi tinggi kepada Indonesia, karena dengan beragamnya suku dan golongan serta agama, kita mampu bertahan sejauh ini sebagai bangsa yang bersatu. Hal ini tak terlepas dari upaya serta ikhtiar pendahulu bangsa kita.(*)

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024