Dewan Pers mengapresiasi kegiatan seminar yang diinisiasi Majelis Pustaka Informasi PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi (APIK) Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah penyusunan buku dan kurikulum jurnalistik profetik dengan perspektif Islam berkemajuan.
"Karena ini sejalan dengan mandat Dewan Pers menjaga media, pers yang ingin menyuarakan nilai-nilai keislaman, pemberitaan tentang keislaman yang bisa dipercaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil'alamin, menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, pluralisme," kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu di Ponorogo, Jawa Timur, Jumat.
Ninik usai menjadi salah satu narasumber di Seminar Nasional Jurnalistik Profetik dengan Perspektif Islam Berkemajuan di kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo, mengatakan disrupsi informasi seiring perkembangan media digital, khususnya medsos dan artificial inteligence (AI).
Hal itu menjadi tantangan terbesar dalam menjaga jurnalisme yang berintegritas, jurnalisme yang sesuai dan konsisten menjalankan kode etik jurnalistik (KEJ) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1998 tentang Pers.
"Persoalannya adalah bagaimana di era disrupsi informasi, apalagi dengan era artificial inteligence (AI) saat ini, banyak jurnalis yang tidak mengonfirmasi informasi, tidak melakukan konfirmasi para informan atau narasumbernya. Tapi mengambil informasi dari media sosial, menayangkan berita rilis tanpa diolah, tanpa melakukan upaya konfirmasi secara berimbang (cover both side). Ini sudah kacau sekali. Nah, inilah yang kemudian disebut Prof. Dadan, (produk) informasi yang bukan jurnalistik profetik," katanya.
Ninik sempat mengulas data perubahan atau pergeseran media konvensional yang menyusut drastis dibanding media siber di era transformasi digital saat ini.
Data SPS tahun 2021, media cetak tercatat 593 perusahaan, namun pada 2022 jumlahnya turun tinggal 399 media. Banyak media cetak yang gulung tikar atau tutup dampak perkembangan teknologi informasi beberapa tahun terakhir.
Sebaliknya media siber justru tumbuh pesat. Mengacu data SPS tahun yang sama (2021), jumlah media siber tercatat sebanyak 3.336 media yang sudah mendata di Dewan Pers dan yang sudah terverifikasi baru sekitar 2500-an media siber.
Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak lagi, sekitar 40 ribuan media siber tapi sebagian besar belum mendata ke DP.
"Ini artinya apa, banyak sekali media digital yang berpotensi melanggar kode etik jurnalistik. Di sinilah perlunya penguatan kembali semangat jurnalistik yang mematuhi kaidah-kaidah KEJ, jurnalistik yang bertanggung jawab dan berintegritas," ucapnya.
Oleh karena itu, Ninik berharap penyusunan buku jurnalistik profetik perspektif Islam berkemajuan oleh lembaga MPI PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (APIK PTMA) bisa menjadi pengimbang sekaligus rujukan bagi perkembangan industri jurnalisme di era transformasi digital dan disrupsi informasi saat ini.
"Dorongan jurnalisme profetik itu bagus, ya. Karena melahirkan cinta kasih, informasi yang dilahirkan adalah informasi yang penuh dengan cinta kasih. Informasi yang sesuai dengan kode etik, harus sesuai dengan regulasi. Ini sama dengan karya jurnalistik berkualitas, tapi dengan nilai keislaman," ulas Ninik.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi (APIK) Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA), Himawan Sutanto menyatakan penyusunan buku jurnalistik profetik yang mereka rintis bekerja sama dengan lembaga Majelis Pustaka Informasi PP Muhammadiyah memiliki tujuan utama meletakkan dasar-dasar jurnalistik yang khas Muhammadiyah.
Maksud dia, jurnalisme yang mengedepankan aspek-aspek kemuliaan, memberikan hal yang sifatnya ideal, di mana panduan jurnalistik profetik bisa menjadi acuan bagi mahasiswa (komunikasi) yang menggeluti dunia jurnalistik, sehingga ketika mereka lulus dan terjun ke industri media sebenarnya masih ada hal yang sifatnya ideal yang bisa dibawa ke dalam praktik-praktik jurnalistik.
"Kolaborasi kami (APIK PTMA dan MPI Muhammadiyah) di satu sisi untuk memberikan pencerahan pada teman-teman Muhammadiyah, jurnalistik di Muhammadiyah, di sisi lain ada target untuk masuk ke dalam kurikulum pendidikan ilmu komunikasi, khususnya peminatan jurnalistik di Perguruan Tinggi Muhammadiyah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
"Karena ini sejalan dengan mandat Dewan Pers menjaga media, pers yang ingin menyuarakan nilai-nilai keislaman, pemberitaan tentang keislaman yang bisa dipercaya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil'alamin, menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, pluralisme," kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu di Ponorogo, Jawa Timur, Jumat.
Ninik usai menjadi salah satu narasumber di Seminar Nasional Jurnalistik Profetik dengan Perspektif Islam Berkemajuan di kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo, mengatakan disrupsi informasi seiring perkembangan media digital, khususnya medsos dan artificial inteligence (AI).
Hal itu menjadi tantangan terbesar dalam menjaga jurnalisme yang berintegritas, jurnalisme yang sesuai dan konsisten menjalankan kode etik jurnalistik (KEJ) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1998 tentang Pers.
"Persoalannya adalah bagaimana di era disrupsi informasi, apalagi dengan era artificial inteligence (AI) saat ini, banyak jurnalis yang tidak mengonfirmasi informasi, tidak melakukan konfirmasi para informan atau narasumbernya. Tapi mengambil informasi dari media sosial, menayangkan berita rilis tanpa diolah, tanpa melakukan upaya konfirmasi secara berimbang (cover both side). Ini sudah kacau sekali. Nah, inilah yang kemudian disebut Prof. Dadan, (produk) informasi yang bukan jurnalistik profetik," katanya.
Ninik sempat mengulas data perubahan atau pergeseran media konvensional yang menyusut drastis dibanding media siber di era transformasi digital saat ini.
Data SPS tahun 2021, media cetak tercatat 593 perusahaan, namun pada 2022 jumlahnya turun tinggal 399 media. Banyak media cetak yang gulung tikar atau tutup dampak perkembangan teknologi informasi beberapa tahun terakhir.
Sebaliknya media siber justru tumbuh pesat. Mengacu data SPS tahun yang sama (2021), jumlah media siber tercatat sebanyak 3.336 media yang sudah mendata di Dewan Pers dan yang sudah terverifikasi baru sekitar 2500-an media siber.
Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih banyak lagi, sekitar 40 ribuan media siber tapi sebagian besar belum mendata ke DP.
"Ini artinya apa, banyak sekali media digital yang berpotensi melanggar kode etik jurnalistik. Di sinilah perlunya penguatan kembali semangat jurnalistik yang mematuhi kaidah-kaidah KEJ, jurnalistik yang bertanggung jawab dan berintegritas," ucapnya.
Oleh karena itu, Ninik berharap penyusunan buku jurnalistik profetik perspektif Islam berkemajuan oleh lembaga MPI PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (APIK PTMA) bisa menjadi pengimbang sekaligus rujukan bagi perkembangan industri jurnalisme di era transformasi digital dan disrupsi informasi saat ini.
"Dorongan jurnalisme profetik itu bagus, ya. Karena melahirkan cinta kasih, informasi yang dilahirkan adalah informasi yang penuh dengan cinta kasih. Informasi yang sesuai dengan kode etik, harus sesuai dengan regulasi. Ini sama dengan karya jurnalistik berkualitas, tapi dengan nilai keislaman," ulas Ninik.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Prodi Ilmu Komunikasi (APIK) Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA), Himawan Sutanto menyatakan penyusunan buku jurnalistik profetik yang mereka rintis bekerja sama dengan lembaga Majelis Pustaka Informasi PP Muhammadiyah memiliki tujuan utama meletakkan dasar-dasar jurnalistik yang khas Muhammadiyah.
Maksud dia, jurnalisme yang mengedepankan aspek-aspek kemuliaan, memberikan hal yang sifatnya ideal, di mana panduan jurnalistik profetik bisa menjadi acuan bagi mahasiswa (komunikasi) yang menggeluti dunia jurnalistik, sehingga ketika mereka lulus dan terjun ke industri media sebenarnya masih ada hal yang sifatnya ideal yang bisa dibawa ke dalam praktik-praktik jurnalistik.
"Kolaborasi kami (APIK PTMA dan MPI Muhammadiyah) di satu sisi untuk memberikan pencerahan pada teman-teman Muhammadiyah, jurnalistik di Muhammadiyah, di sisi lain ada target untuk masuk ke dalam kurikulum pendidikan ilmu komunikasi, khususnya peminatan jurnalistik di Perguruan Tinggi Muhammadiyah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024