Keluhan demi keluhan datang silih berganti. Bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi hampir tiap jam, bahkan setiap saat para atlet, ofisial maupun wartawan peliput pesta olahraga akbar Asia Tenggara SEA Games XXVI melontarkan kekecewaannya terhadap penyelenggaraannya.
Atlet dan ofisial sepak bola Filipina, misalnya, jelas dongkol terhadap kinerja Panitia Pelaksana cabang olahraga sepak bola. Musababnya, lagu kebangsaan mereka gagal berkumandang menjelang pertandingan, hanya gara-gara masalah teknis audio.
Meski masalahnya sepele, menjadi persoalan besar dan mendasar karena dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat suatu negara. Permintaan maaf dari panitia pun tidak mampu meredam kekesalan atlet Filipina yang berujung pada kegagalan mereka lolos dari babak penyisihan menuju semifinal, kendati sebenarnya timnas Filipina itu juga tidak terlalu istimewa.
Di kalangan wartawan peliput pesta olahraga ASEAN dua tahunan itu, juga tidak kalah kecewanya. Main Press Center, sebagai pusat pelaporan informasi, baru berfungsi tepat pada hari H, sesuatu yang tidak lazim dalam pergelaran olahraga multievent.
Lebih parah lagi, laman SEA Games XXVI yang diperlukan para pekerja media untuk mengetahui jadwal pertandingan, tidak bisa diakses dengan cepat sehingga memberi kesan bahwa Indonesia tertinggal jauh di bidang teknologi informasi, yang tidak sepenuhnya benar.
Para peserta SEA Games dari 11 negara ASEAN itu akhirnya menyadari bahwa persiapan kali ini memang paling buruk. Dengan dilandasi spirit “Solidaritas ASEAN”, para peserta dipaksa untuk menerima kondisi ala kadarnya itu.
Beruntung, berbagai gunjingan negatif tersebut tertutupi oleh kegemerlapan acara pembukaan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring Palembang yang cukup monumental. Dan, konon, upacara pembukaan SEA Games kali ini adalah yang paling meriah dibanding acara serupa terdahulu.
Untuk sementara, kekecewaan para atlet di luar peserta tuan rumah, agak terhapus. Namun kekecewaan lain tetap membayangi, yakni menghadapi lawan dari Indonesia pada setiap laga apapun.
Pada cabang olahraga Karate, contohnya, dua nomor “Kata” (kerapian teknik) perseorangan putra maupun putri, direbut oleh atlet Indonesia. Maklum, ini adalah cabang tidak terukur, Penilaian mutlak dilakukan oleh dewan juri sehingga harapan menang bagi tuan rumah sangat besar.
Itu baru satu cabang olahraga. Padahal, SEA Games kali ini mempertandingkan 44 cabang dan hampir separonya merupakan cabang tidak terukur yang besar kemungkinan hasilnya bisa dimanipulasi untuk kepentingan tuan rumah.
Namun semua itu sah-sah saja. Siapapun yang menjadi tuan rumah akan melakukan hal yang sama untuk menjadi juara umum, terutama negara-negara yang memiliki persaingan ketat, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Jiwa olahraga yaitu sportivitas, pasti dikesampingkan. Juara, bagi tuan rumah, adalah tujuan utama, seolah sebagai imbalan bagi pemerintahan negaranya yang telah menggelontorkan banyak biaya untuk penyelenggaraannya.
Jika memang begitu, salahkah Thailand? Atau salahkah Indonesia? Tentu tidak. Yang salah adalah manusianya. Manusia memang makhluk egois.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011