Jalan panjang upaya swasembada daging telah dilalui sejak 30 tahun silam. Berbagai program percepatan populasi ternak telah dilakukan, mulai pada level ide, gagasan, diskusi, hingga kebijakan.
Demikian pula impor sebagai jalan tercepat mengatasi kekurangan pasokan pun sudah dijalankan. Namun ketergantungan impor daging Indonesia masih di atas 45 persen.
Beberapa gagasan alternatif diakui cukup berharga di tengah berbagai kebijakan pengadaan dan distribusi daging sapi di Indonesia. Hanya eksekusi di lapangan masih memerlukan berbagai pertimbangan yang menyeluruh agar memperoleh strategi yang memenuhi unsur keberlanjutan.
Pada 2023 kekurangan produksi daging masih dipenuhi dari impor berupa bakalan sebanyak 371.000 ekor dan daging 299.000 ton. Berdasarkan perhitungan proyeksi, masih dibutuhkan tambahan 3,2 juta ekor indukan untuk menghasilkan sapi siap potong guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Salah satu strategi menambah indukan produktif adalah melalui importasi.
Menambah indukan dengan jalan impor tentu memiliki efek berganda yang menjadi bahan pertimbangan pengambil kebijakan. Positifnya, menambah indukan produktif dapat mempercepat meningkatnya populasi. Demikian pula jika pemeliharaan ternak melibatkan peternak lokal, maka dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi berlawanan, saat ini Indonesia belum bebas dari penyakit ternak, seperti PMK, LSD, dan Anthraks, serta penyakit lain yang menjadi ancaman kelangsungan hidup indukan.
Kebijakan pemerintah mengendalikan penyakit ternak telah dilakukan, tetapi memastikan suatu wilayah terbebas penuh dari penyakit membutuhkan waktu cukup lama. Upaya pembebasan wilayah dari agen infeksius juga membutuhkan biaya yang tinggi.
Pembiakan merupakan satu siklus panjang, sehingga perlu dipilih titik pendaratan (landing points) yang memenuhi kriteria teknis dan ekonomis tertentu agar terhindar dari wabah penyakit ternak.
Pada konteks tersebut Indonesia sebetulnya memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan ribuan pulau-pulau kecil yang belum dioptimalkan seluruhnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.508 pulau dan 17.024 di antaranya telah dibakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2022.
Diperkirakan 10.000 pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, termasuk peternakan. Definisi pulau-pulau kecil berdasarkan luasan sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 atau setara 1 juta hektare.
Pemanfaatan pulau
Bagi Indonesia dengan jumlah pulau yang banyak, memiliki implikasi terhadap tingginya anggaran pembangunan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya saat ini telah dilakukan sebagai kegiatan konservasi, pariwisata, pertanian, peternakan dan pertahanan keamanan.
Saat ini pulau-pulau terluar sebagian telah digunakan untuk sektor peternakan, yaitu sebagai tempat karantina hewan.
Kini pemanfaatan pulau-pulau kecil itu dapat diperluas sebagai titik pendaratan program pembiakan untuk percepatan populasi dan perlindungan penyakit yang lebih ekonomis.
Pemanfaatan pulau kecil dapat menyuplai kebutuhan bakalan regional, menghidupkan perekonomian wilayah, serta meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Penentuan pulau-pulau kecil sebagai pulau pembiakan setidaknya memiliki 5 pertimbangan teknis.
Pertama, pulau yang dipilih bebas dari penyakit ternak atau bukan daerah endemik penyakit menular. Kedua, memiliki kesesuaian agroekosistem untuk pemeliharaan ternak. Ketiga, memiliki ketersediaan pakan atau potensi pengembangan hijauan pakan ternak.
Keempat, memiliki sumber air tawar yang cukup. Kelima, pemilihan pulau disesuaikan dengan kebutuhan regional, misalkan untuk memenuhi kebutuhan Pulau Jawa ditetapkan pulau pemasok bakalannya adalah pulau kecil di sekitar Pulau Jawa dan perbatasan Jawa-Sumatera atau Jawa-Bali.
Penetapan pulau pembiakan juga perlu mempertimbangkan aspek sosio-ekonomi, seperti memiliki jumlah penduduk untuk mengelola pembiakan.
Paling tidak pulau kecil dapat dihuni penduduk yang didatangkan untuk diberdayakan mengelola indukan, sehingga meningkatkan penghasilan. Pulau-pulau kecil yang dipilih juga memiliki iklim investasi yang kondusif sesuai kondisi kebudayaan setempat.
Strategi yang dilakukan setelah penetapan pulau pembiakan adalah membangun infrastruktur, meliputi padang hijauan pakan ternak, embung-embung air tawar, penyediaan sarana berteduh untuk beristirahat ternak meliputi hutan-hutan ataupun kandang terbuka.
Jalur transportasi yang dibutuhkan adalah pelabuhan khusus dan kapal ternak untuk distribusi bakalan ke pulau lain. Sedangkan jalur masuk indukan dilakukan sekali dengan angkutan khusus untuk menjaga pulau dari agen penyakit.
Pada jangka pendek, biaya investasi awal pembangunan infrastruktur mungkin terasa besar, tetapi jika dinilai dari manfaat lain, seperti terbukanya akses pulau kecil sebagai lumbung sapi, meningkatnya serapan tenaga kerja, meningkatnya jumlah pendapatan pemerintah dari pajak serta berkurangnya biaya impor daging, maka keuntungan jangka panjang yang diperoleh negara menjadi lebih besar, terutama karena menghemat devisa negara untuk importasi bakalan dan daging.
Selama 2021 hingga 2022 saja devisa yang dibutuhkan untuk impor daging sekitar 800 – 900 juta dolar AS. Dengan kata lain, usaha pembiakan memerlukan biaya jangka panjang.
Dari perhitungan analisis usaha pembiakan sapi potong dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, pola pembiakan skala usaha 1.000 sapi dengan konsep pastura dalam jangka waktu 8 tahun, biaya investasi minimal yang diperlukan sekitar Rp36 triliun, dengan modal kerja Rp16 triliun dan proyeksi biaya produksi selama 8 tahun sekitar Rp78 triliun.
Biaya tersebut meliputi pengadaan induk dan pejantan, pembiakan, sarana produksi peternakan, pembangunan padang penggembalaan, operasional lain dan tenaga kerja. Biaya produksi dapat ditekan melalui penggunaan lahan yang efektif, seperti rotasi penggembalaan, sehingga pengembangbiakan tanaman pakan didukung oleh alam sendiri.
Pengalaman beberapa program pembiakan yang pernah dijalankan pemerintah di peternak rakyat, ternyata tanpa adanya campur tangan pemerintah yang terfokus, maka program pembiakan belum mencapai hasil optimal.
Dengan demikian konsep pengelolaan pembiakan di pulau kecil dapat dikerjasamakan antara pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta atau koperasi dengan perjanjian tertentu sesuai perundangan berlaku. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Sementara BUMN melakukan penyertaan modal dan fasilitas perbankan untuk permodalan bunga bersaing.
Pengelola bisnis pembiakan dapat dilakukan baik oleh BUMN, maupun perusahaan swasta/koperasi atau kerja sama antara BUMN dan perusahaan swasta/koperasi.
Sedangkan untuk penggemukan bakalan dari pulau pembiakan dapat dijadikan program pemberdayaan peternak untuk meningkatkan upaya bisnis kolektif berjamaah komunitas peternak rakyat yang saat ini telah diinisiasi oleh bupati/wali kota yang bekerja sama dengan perguruan tinggi (PT).
Pada perjanjian tersebut dapat disebutkan bahwa bisnis pembiakan harus menyerap tenaga kerja dari penduduk lokal, sehingga berdampak langsung pada masyarakat setempat.
Pola pembiakan sapi potong di pulau kecil sendiri sebetulnya pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda pada sapi Ongole yang diimpor dari India dan peranakannya telah tersebar di Pulau Jawa. Ketika itu pulau kecil yang dipilih adalah pulau Sumba.
Prinsipnya, pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara optimal dengan perencanaan terintegrasi dan berkelanjutan. Tentu harus sesuai peraturan perundangan yang berlaku agar upaya pelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara legal, sekaligus semakin mempererat persatuan bangsa.
Terakhir, pulau-pulau kecil harus mendatangkan manfaat agar tak hanya kebanggaan di peta, seperti pernah diungkap Proklamator, Mohammad Hatta, "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta".
*) Dr. drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc adalah Dokter Hewan pada Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Sumatera Selatan, Kementan dan Prof. Dr. Muladno, M.S.A., S.Pt., IPU adalah Guru Besar Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Demikian pula impor sebagai jalan tercepat mengatasi kekurangan pasokan pun sudah dijalankan. Namun ketergantungan impor daging Indonesia masih di atas 45 persen.
Beberapa gagasan alternatif diakui cukup berharga di tengah berbagai kebijakan pengadaan dan distribusi daging sapi di Indonesia. Hanya eksekusi di lapangan masih memerlukan berbagai pertimbangan yang menyeluruh agar memperoleh strategi yang memenuhi unsur keberlanjutan.
Pada 2023 kekurangan produksi daging masih dipenuhi dari impor berupa bakalan sebanyak 371.000 ekor dan daging 299.000 ton. Berdasarkan perhitungan proyeksi, masih dibutuhkan tambahan 3,2 juta ekor indukan untuk menghasilkan sapi siap potong guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Salah satu strategi menambah indukan produktif adalah melalui importasi.
Menambah indukan dengan jalan impor tentu memiliki efek berganda yang menjadi bahan pertimbangan pengambil kebijakan. Positifnya, menambah indukan produktif dapat mempercepat meningkatnya populasi. Demikian pula jika pemeliharaan ternak melibatkan peternak lokal, maka dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di sisi berlawanan, saat ini Indonesia belum bebas dari penyakit ternak, seperti PMK, LSD, dan Anthraks, serta penyakit lain yang menjadi ancaman kelangsungan hidup indukan.
Kebijakan pemerintah mengendalikan penyakit ternak telah dilakukan, tetapi memastikan suatu wilayah terbebas penuh dari penyakit membutuhkan waktu cukup lama. Upaya pembebasan wilayah dari agen infeksius juga membutuhkan biaya yang tinggi.
Pembiakan merupakan satu siklus panjang, sehingga perlu dipilih titik pendaratan (landing points) yang memenuhi kriteria teknis dan ekonomis tertentu agar terhindar dari wabah penyakit ternak.
Pada konteks tersebut Indonesia sebetulnya memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan ribuan pulau-pulau kecil yang belum dioptimalkan seluruhnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.508 pulau dan 17.024 di antaranya telah dibakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2022.
Diperkirakan 10.000 pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, termasuk peternakan. Definisi pulau-pulau kecil berdasarkan luasan sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/2000 Jo Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 atau setara 1 juta hektare.
Pemanfaatan pulau
Bagi Indonesia dengan jumlah pulau yang banyak, memiliki implikasi terhadap tingginya anggaran pembangunan. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya saat ini telah dilakukan sebagai kegiatan konservasi, pariwisata, pertanian, peternakan dan pertahanan keamanan.
Saat ini pulau-pulau terluar sebagian telah digunakan untuk sektor peternakan, yaitu sebagai tempat karantina hewan.
Kini pemanfaatan pulau-pulau kecil itu dapat diperluas sebagai titik pendaratan program pembiakan untuk percepatan populasi dan perlindungan penyakit yang lebih ekonomis.
Pemanfaatan pulau kecil dapat menyuplai kebutuhan bakalan regional, menghidupkan perekonomian wilayah, serta meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Penentuan pulau-pulau kecil sebagai pulau pembiakan setidaknya memiliki 5 pertimbangan teknis.
Pertama, pulau yang dipilih bebas dari penyakit ternak atau bukan daerah endemik penyakit menular. Kedua, memiliki kesesuaian agroekosistem untuk pemeliharaan ternak. Ketiga, memiliki ketersediaan pakan atau potensi pengembangan hijauan pakan ternak.
Keempat, memiliki sumber air tawar yang cukup. Kelima, pemilihan pulau disesuaikan dengan kebutuhan regional, misalkan untuk memenuhi kebutuhan Pulau Jawa ditetapkan pulau pemasok bakalannya adalah pulau kecil di sekitar Pulau Jawa dan perbatasan Jawa-Sumatera atau Jawa-Bali.
Penetapan pulau pembiakan juga perlu mempertimbangkan aspek sosio-ekonomi, seperti memiliki jumlah penduduk untuk mengelola pembiakan.
Paling tidak pulau kecil dapat dihuni penduduk yang didatangkan untuk diberdayakan mengelola indukan, sehingga meningkatkan penghasilan. Pulau-pulau kecil yang dipilih juga memiliki iklim investasi yang kondusif sesuai kondisi kebudayaan setempat.
Strategi yang dilakukan setelah penetapan pulau pembiakan adalah membangun infrastruktur, meliputi padang hijauan pakan ternak, embung-embung air tawar, penyediaan sarana berteduh untuk beristirahat ternak meliputi hutan-hutan ataupun kandang terbuka.
Jalur transportasi yang dibutuhkan adalah pelabuhan khusus dan kapal ternak untuk distribusi bakalan ke pulau lain. Sedangkan jalur masuk indukan dilakukan sekali dengan angkutan khusus untuk menjaga pulau dari agen penyakit.
Pada jangka pendek, biaya investasi awal pembangunan infrastruktur mungkin terasa besar, tetapi jika dinilai dari manfaat lain, seperti terbukanya akses pulau kecil sebagai lumbung sapi, meningkatnya serapan tenaga kerja, meningkatnya jumlah pendapatan pemerintah dari pajak serta berkurangnya biaya impor daging, maka keuntungan jangka panjang yang diperoleh negara menjadi lebih besar, terutama karena menghemat devisa negara untuk importasi bakalan dan daging.
Selama 2021 hingga 2022 saja devisa yang dibutuhkan untuk impor daging sekitar 800 – 900 juta dolar AS. Dengan kata lain, usaha pembiakan memerlukan biaya jangka panjang.
Dari perhitungan analisis usaha pembiakan sapi potong dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, pola pembiakan skala usaha 1.000 sapi dengan konsep pastura dalam jangka waktu 8 tahun, biaya investasi minimal yang diperlukan sekitar Rp36 triliun, dengan modal kerja Rp16 triliun dan proyeksi biaya produksi selama 8 tahun sekitar Rp78 triliun.
Biaya tersebut meliputi pengadaan induk dan pejantan, pembiakan, sarana produksi peternakan, pembangunan padang penggembalaan, operasional lain dan tenaga kerja. Biaya produksi dapat ditekan melalui penggunaan lahan yang efektif, seperti rotasi penggembalaan, sehingga pengembangbiakan tanaman pakan didukung oleh alam sendiri.
Pengalaman beberapa program pembiakan yang pernah dijalankan pemerintah di peternak rakyat, ternyata tanpa adanya campur tangan pemerintah yang terfokus, maka program pembiakan belum mencapai hasil optimal.
Dengan demikian konsep pengelolaan pembiakan di pulau kecil dapat dikerjasamakan antara pemerintah, BUMN, dan perusahaan swasta atau koperasi dengan perjanjian tertentu sesuai perundangan berlaku. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Sementara BUMN melakukan penyertaan modal dan fasilitas perbankan untuk permodalan bunga bersaing.
Pengelola bisnis pembiakan dapat dilakukan baik oleh BUMN, maupun perusahaan swasta/koperasi atau kerja sama antara BUMN dan perusahaan swasta/koperasi.
Sedangkan untuk penggemukan bakalan dari pulau pembiakan dapat dijadikan program pemberdayaan peternak untuk meningkatkan upaya bisnis kolektif berjamaah komunitas peternak rakyat yang saat ini telah diinisiasi oleh bupati/wali kota yang bekerja sama dengan perguruan tinggi (PT).
Pada perjanjian tersebut dapat disebutkan bahwa bisnis pembiakan harus menyerap tenaga kerja dari penduduk lokal, sehingga berdampak langsung pada masyarakat setempat.
Pola pembiakan sapi potong di pulau kecil sendiri sebetulnya pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda pada sapi Ongole yang diimpor dari India dan peranakannya telah tersebar di Pulau Jawa. Ketika itu pulau kecil yang dipilih adalah pulau Sumba.
Prinsipnya, pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara optimal dengan perencanaan terintegrasi dan berkelanjutan. Tentu harus sesuai peraturan perundangan yang berlaku agar upaya pelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud secara legal, sekaligus semakin mempererat persatuan bangsa.
Terakhir, pulau-pulau kecil harus mendatangkan manfaat agar tak hanya kebanggaan di peta, seperti pernah diungkap Proklamator, Mohammad Hatta, "Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta".
*) Dr. drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc adalah Dokter Hewan pada Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Sumatera Selatan, Kementan dan Prof. Dr. Muladno, M.S.A., S.Pt., IPU adalah Guru Besar Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023