Ponorogo - Pihak pengelola Radio Majelis Tafsir Al Quran (MTA) atau "Idza'tul Al-Khoir", Ponorogo, Jawa Timur, menyatakan bersedia melakukan diolog dengan kalangan Nahdliyin setempat, guna menghindari konflik horizontal berbau SARA. "Pada prinsipnya kami bersedia melakukan dialog, asalkan difasilitasi oleh pihak berwenang," ujar salah seorang pengurus radio sekaligus pengelola Islamic Center Abdulloh Ghohim Assam'il, Ustad Muklis, dikonfirmasi usai unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan sejumlah ormas Nahdliyin, Kamis. Ia tetap berkeyakinan bahwa materi siaran radio yang mereka unggah melalui berbagai program siaran tidak menyalahi ajaran agama Islam, karena menurutnya semua bersumber pada al Quran. Namun, jika menilik resistensi dari sebagian besar kalangan Nahdliyin, pihaknya selaku pengelola Radio MTA memastikan bersedia melakukan dialog. Ustad Muklis berharap, perbedaan pemahaman mengenai ajaran Islam maupun materi siaran radio yang dipersoalkan warga tidak terus berlarut-larut, apalagi menyebabkan terjadinya konflik sosial. "Ya, kami lebih mengutamakan dialog yang lebih ilmiah dan terbuka," ujarnya. Mengenai desakan atas penutupan ataupun pemberhentian aktivitas siaran Radio MTA, ia tak serta-merta menanggapinya dengan alasan telah memiliki izin siar. Kalaupun keberadaan radio komunitas berlatar belakang Islam tersebut dipersoalkan, Ustad Muklis hanya mengisyaratkan untuk "berkompromi" demi meminimalisasi potensi maupun risiko terjadinya kesalahpahaman dengan kalangan Nahdliyin. "Terkait desakan memberhentikan aktivitas radio, kami akan mempertimbangkan dulu sesuai prosedur yang ada," jawabnya pendek. Protes besar-besaran yang dilakukan sejumlah ormas NU, seperti banser, GP Ansor, PMII, IPNU, dan IPPNU, berlangsung pada Kamis pagi, yakni mulai pukul 09.00 hingga pukul 12.00 WIB. Massa yang berjumlah ribuan orang itu pertama kali menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD setempat, sebelum kemudian melakukan arak-arakan menggunakan ratusan sepeda motor, mobil, dan truk menuju kantor Radio MTA di jalan Seokarno-Hatta, Kota Ponorogo. Informasi dari beberapa narasumber kelompok demonstran, aksi tersebut mereka lakukan karena dipicu oleh materi siaran Radio MTA yang dinilai mengajarkan paham wahabi. Ajaran Islam aliran wahabi selama ini cenderung ditentang oleh sebagian kalangan umat Islam di Ponorogo karena dinilai bertentangan dengan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Beberapa materi siaran yang dinilai provokatif dan bisa memicu konflik horizontal tersebut, antara lain adalah seruan yang disampaikan melalui Radio MTA yang mengharamkan sejumlah tradisi lokal, seperti kenduri untuk acara selamatan, tradisi reog, seni barongsai, serta sejumlah budaya peninggalan Hindu-Budha lain yang berasimilasi dengan ajaran/budaya Islam. Sejauh ini belum ada konfirmasi ataupun kepastian mengenai kemungkinan digelarnya dialog demi menyelesaikan konflik keyakinan tersebut. Namun, beberapa sumber di kalangan ormas Nadhliyin sejak awal sudah mengancam bahwa mereka akan mengerahkan massa yang lebih besar apabila Radio MTA tidak segera ditutup, apalagi tetap beraktivitas dan melakukan provokasi agama. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011