Surabaya - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Surabaya menyatakan prihatin dengan Hari Internasional Hak untuk Tahu atau "International Right to Know Day" pada setiap tanggal 28 September, karena hak untuk tahu belum linier dengan praktik keseharian. "Hak untuk Tahu sudah dilindungi UU, tapi dalam praktiknya masih mudah ditemukan lembaga publik yang menyembunyikan informasi atau setidaknya menunda pemberian informasi," kata Direktur LBH Pers Surabaya, Athoillah SH, di Surabaya, Rabu. Dalam pernyataan sikap untuk memperingati Hari Hak untuk Tahu, ia menjelaskan penegakan hukum juga belum dijalankan untuk menjamin pelaksanaan hak untuk tahu itu akan diikuti. "Misalnya, UU Pers jelas mengatur bahwa upaya menghalang-halangi tugas jurnalistik diancam dengan sanksi hukum, namun kami mencatat belum ada satupun pihak yang melakukan tindakan menghalang-halangi tugas jurnalistik itu diproses secara pertanggungjawaban hukum," katanya. Sepanjang Januari hingga Juni 2011, LBH Pers Surabaya mencatat tujuh kasus menghalang-halangi hak untuk tahu dalam berbagai bentuk, yakni teror, pemukulan, menghalang-halangi tugas jurnalis dan sebagainya. "Dari seluruh kasus itu, tidak ada satupun kasus yang diproses hukum dan berakhir dengan suatu putusan pengadilan. Seluruhnya dibiarkan tanpa kejelasan. Salah satunya adalah kekerasan pada jurnalis yang meliput aksi damai Falun Gong. Penanganan kasusnya diambil alih Polda Jatim, namun sampai saat ini tidak jelas perkembangannya," katanya. Menurut dia, informasi mengenai perkembangan penyidikan yang harusnya diberikan oleh penyidik tanpa diminta pun tidak pernah diberikan, padahal Hak untuk Tahu itu dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan hak itu. "Hal demikian memberikan sinyal negatif yang cukup kuat bahwa perilaku dan tindakan menantang dan menghalang-halangi hak untuk tahu ini masih belum akan hilang," katanya. Di Indonesia, hak untuk tahu sebenarnya telah dijamin dalam konstitusi pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." "Hak untuk tahu juga dijamin dalam sejumlah UU, setidaknya dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU nomor Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), namun implementasinya masih bermasalah," katanya. Tawuran Wartawan-Pelajar Dalam kesempatan itu, LBH Pers Surabaya juga menyampaikan keprihatian atas kasus kekerasan yang menimpa juru kamera Trans7 Angga Oktaviardi pada 16 September 2011 ketika sedang merekam tawuran antara dua sekolah menengah atas di kawasan Blok M, Jakarta. "Kami memandang bahwa kekerasan, siapapun pelakunya, tidak dapat dibenarkan atas dasar apapun, terlebih jika korban kekerasan tersebut adalah wartawan," kata Athoillah. Dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, wartawan sebenarnya sedang melayani hak publik atas informasi, sehingga dengan demikian, maka penyerangan, penghadangan dan kekerasan terhadap wartawan adalah penyerangan secara tidak langsung kepada kepentingan masyarakat. "Untuk itu, proses hukum yang fair dan benar diperlukan selain untuk meminta pelaku kekerasan mempertanggungjawabkan perbuatannya, juga untuk memastikan bahwa kekerasan serupa tidak akan terulang pada masa mendatang," katanya. Namun demikian, dalam menangani kasus ini, LBH Pers Surabaya berharap penegak hukum juga berhati-hati karena "pelaku" tindak kekerasan tersebut, termasuk dalam kategori anak yang juga harus dilindungi, sebagaimana UU nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011