Oleh Louis Rika Stevani Madiun - Nasib seorang pencipta lagu terkadang tidak sebaik karya-karyanya yang banyak dikenal oleh masyarakat umum. Adalah Sartono (75), seorang mantan guru yayasan swasta di Kota Madiun, Jawa Timur, yang berprestasi menciptakan lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, pada tahun 1980-an. Sebuah lagu wajib yang kini selalu dinyanyikan di sekolah-sekolah baik tingkat SD hingga SMA di negeri ini. Keberadaan laki-laki tersebut sungguh jauh dari mewah. Sartono tetap hidup sederhana di rumahnya yang berdinding kayu di Jalan Halmahera Nomor 98 Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun. Ia tinggal bersama sang istri tercinta, Damiyati, pensiunan guru SD setempat. "Kondisi Bapak (Sartono) saat ini sudah pikun karena usianya yang renta. Tapi kalau diajak menyanyi Hymne Guru, beliau masih ingat dan bersemangat," ujar istri Sartono, Damiyati kepada ANTARA. Meski raganya telah tua dan memori dalam kepalanya telah menurun, sosok Sartono masih menunjukkan sisa-sisa kegigihan seorang pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai seorang guru. Jiwa untuk mengenal dan belajar akan hal-hal baru, masih lekat padanya. "Bapak belajar musik secara otodidak. Beliau adalah guru seni musik yang belajar sendiri dari berbagai pengetahuan. Pada tahun 1978, Pak Sartono adalah satu-satunya guru seni musik yang bisa membaca not balok di wilayah Madiun. Itu semua ia pelajari sendiri, tanpa mengenyam pendidikan tinggi tentang musik," terang Damiyati. Bahkan karena keterbatasan alat musik yang ia punyai, lanjut Damiyati, lagu Hymne Guru yang saat ini sangat terkenal, ia ciptakan dengan bersiul sambil menorehkannya ke dalam catatan kertas. Sartono memulai karirnya sebagai guru seni musik pada tahun 1978. Ia adalah guru di sebuah yayasan swasta yang mengajar di SMP Katolik Santo Bernardus, Kota Madiun. Sartono purna tugas dari sekolah tersebut pada tahun 2002. "Selama bertugas, gajinya sangat pas-pasan, bahkan tidak banyak. Bapak pernah menerima gaji hanya Rp22 ribu per bulan waktu itu, kemudian bertahap naik hingga Rp60 ribu per bulan. Penghasilan tersebut disesuaikan dengan jam mengajar Bapak," papar Damiyati. Kecintaannya pada musik, telah membuat Sartono menciptakan beberapa buah lagu. Bertepatan dengan momentum hari Pendidikan Nasional, di tahun 1980, Sartono mengikuti lomba mencipta lagu tentang pendidikan. Dari ratusan peserta, lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, ciptaannya, berhasil menjadi pemenang. Selain mendapatkan sejumlah uang sebagai pemenang, Sartono bersama sejumlah guru teladan lainnya di seluruh Indonesia dikirim ke Jepang untuk studi banding. Meski karyanya sangat fenomenal dan dinyanyikan oleh hampir semua orang di negeri ini, namun keberadaan Sartono nyaris tak tersentuh oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bahkan yang lebih miris, Sartono tidak pernah menerima sepeserpun royalti atas hasil karyanya tersebut. Keluarga Sartono pun mulai putus asa soal royalti itu. Bagi keluarga, yang terpenting saat ini adalah kesehatan Bapak Sartono. Apalagi dengan kondisi daya ingatnya yang menurun, keluarga tidak berpikir macam-macam dan lebih berfokus untuk menjaga kesehatan Pak Sartono. Meski fisiknya terlihat sehat, Sartono membutuhkan pendamping untuk menjalani sebagian aktivitasnya. Hal inilah yang membuat istrinya Damiyati, harus ikut kemana-mana jika Sartono menerima undangan sebagai bintang tamu. Selain lagu Hymne Guru yang fenomenal itu, Sartono juga menghasilkan delapan buah lagu bertema pendidikan lainnya. Perhatiannya yang demikian serius dalam dunia pendidikan dan pengabdiannya sebagai guru, membuahkan penghargaan dari Mendikbud Yahya A. Muhaimin dan Dirjen Pendidikan, Soedardji Darmodihardjo pada saat menciptakan lagu Hymne Guru. Penghargaan dan perhatian lainnya terus mengalir, namun justru dari sejumlah universitas, lembaga, dan komunitas lainnya. Sang pahlawan tanpa tanda jasa tersebut, malah tidak menerima bantuan apapun dari pemerintah baik pusat maupun daerah. "Seingat kami, perhatian sekali pernah diberikan oleh Wali Kota Madiun yang saat itu menjabat, yakni Bapak Kokok Raya. Beliau memberikan bantuan berupa satu unit sepeda motor Garuda pada tahun 2006. selain itu, tidak ada," tegas Damiyati. Untuk bertahan hidup, pasangan ini mengandalkan gaji dari Damiyati yang merupakan PNS guru dan mengajar di SDN Klegen V kota Madiun. Saat ini ia telah pensiun per Januari 2011. Isu Sakit Meski tidak mendapat perhatian, Sartono tidak berambisi meminta bantuan dan simpati masyarakat. Jiwanya yang selalu bersyukur kepada Tuhan YME telah membuat ia hidup sederhana dan terus mengabdi tanpa pamrih. Di usianya yang telah senja, Sartono masih sering diminta sebagai bintang tamu atas komunitas tertentu, untuk menularkan "virus-virus" positifnya kepada generasi muda. Bahkan pria ini pernah diminta oleh TNI Angakatan Darat ke Aceh pascabencana tsunami pada tahun 2004 untuk menghibur dan memberi semangat para guru di Bumi Rencong tersebut, agar tidak patah semangat. Menurut pria berkelahiran Madiun pada 29 Mei 1936 itu, menjadi guru di sebuah yayasan dengan penghasilan yang pas-pasan adalah panggilan hidup yang harus dihadapi dengan sabar. Meski demikian, melalui istrinya, Sartono pernah berharap agar pemerintah terus berupaya untuk meningkatan kesejahteraan guru di Tanah Air ini. Sikap yang sabar dan sederhana tersebut justru menarik simpati semua insan. Bahkan Sartono sering kali menerima bantuan atas sebuah acara penggalangan dana yang sengaja diselenggarakan untuknya. "Acara tersebut diselenggarakan oleh sejumlah komunitas, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur, Paguyuban Warga Madiun di Jakarta, komunitas motor, dan sejumlah komunitas lainnya," ujar Damiyati. Bahkan untuk masalah kesehatan, Sartono tidak perlu bingung lagi, karena ada IDI Jatim yang selalu siap kapanpun dibutuhkan. Baik dari segi biaya, tenaga medis, maupun lainnya. "Hal inilah yang membuat kami bingung beberapa waktu lalu saat Bapak diisukan sakit dan membutuhkan bantuan atau sumbangan. Padahal kondisi kesehatan Bapak sangat stabil dan kami malah tidak tahu-menahu soal rekening bank untuk menyetor sejumlah uang bantuan," kata adik ipar Sartono, Tiwi. Saat diisukan sakit keras tersebut, Sartono sedang dalam perjalanan ke Jakarta untuk menghadiri undangan acara paguyuban warga Madiun dan sekitarnya di Jakarta. "Jadi itu tidak benar. Dan keluarga Sartono sama sekali tidak pernah meminta bantuan untuk menyumbangkan sejumlah dana tertentu melalui nomor rekening bank tertentu. Kami malah baru tahu hal tersebut saat sejumlah wartawan datang ke rumah untuk mengomfirmasi hal ini," terang Tiwi. Pihak keluarga menilai, bisa saja hal tersebut adalah ulah dari oknum yang tidak betanggung jawab dan ingin memanfaatkan kondisi Pak Sartono yang telah sakit-sakitan karena tua. Kapolres Madiun Kota AKBP Adi Deriyan Jayamarta saat dikonfirmasi terkait hal ini menyatakan hingga kini pihaknya belum menerima laporan masyarakat tentang adanya penyalahgunaan rekening bank. "Saya malah baru dengar kali ini. Menindaklanjuti hal itu, kami akan berkoordinasi dengan Satuan Reskrim untuk mengecek keberadaan yang bersangkutan," ucap AKBP Adi. Ketua Dewan Pendidikan Kota Madiun, Parji, juga enggan berkomentar saat dimintai tanggapan terkait minimnya perhatian pemerintah kepada Sartono. Pihaknya merasa tidak memiliki kepentingan untuk menanggapi hal tersebut. "Saya tidak berani berkomentar karena hal tersebut bukan kapasitas saya. Saya yakin Pak Sartono menerima banyak penghargaan atas prestasi yang ia lakukan. Ia memang layak untuk itu," ujar Parji. Demikianlah Sartono. Meski nasibnya lebih mirip seperti lagu gubahannya sendiri, yakni sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang terlupakan dan tak dikenal, ia tetap hidup bersahaja. Hingga akhir masa jabatannya dan sampai saat ini, Sartono tetap hidup sederhana dengan istrinya. Pasangan ini tetap hidup bahagia meski tidak memiliki keturunan

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011