Ambon yang dalam beberapa tahun terakhir sudah menampakkan wajah aslinya yang damai setelah dilanda konflik antarkelompok agama, kini kembali terluka. Bentrokan antarwarga terjadi dipicu kematian seorang tukang ojek Darwia Saiman di kawasan Gunung Nona pada Sabtu malam (10/9) akibat kecelakaan lalu lintas tunggal, namun diisukan tewas dianiaya. Akibatnya bentrok terjadi pada Minggu (11/9). Kita tentu berharap agar masalah Ambon ini bisa dilokalisir dan dihentikan agar tidak meluas dan terulang kembali sebagai tragedi kemanusiaan hingga merengut ribuan jiwa seperti beberapa tahun lalu. Kedua kelompok yang bertikai sama-sama mengatasnamakan Tuhan. Padahal semua agama di muka bumi ini boleh dikata membawa misi kemanusiaan yang sama. Islam dengan "rahmatan lil'alamiin"-nya atau membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam bukan hanya rahmat bagi kaum Muslim, tapi seluruh alam yang di dalamnya ada manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh makhluk. Kristen juga membawa misi cinta kasih. Lalu bagaimana kelompok dengan sebuah keyakinan agung untuk melindungi dan menyayangi sesama ini bisa menjelma menjadi sosok-sosok yang menakutkan dan haus darah? Kasus pertikaian atas nama agama yang terjadi di Ambon, Poso, dan lainnya diyakini banyak kalangan merupakan buah dari skenario politik. Meskipun demikian, hingga kini sinyalemen itu tidak pernah bisa dibuktikan, karena hukum biasanya hanya menyentuh operator-operator di lapangan. Maklum, kerja politik yang menggunakan agama ini ibarat kentut yang baunya bisa didengar tapi tak bisa dilihat. Guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Abd A'la mengatakan bahwa politisasi agama membuat ajaran agama akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama, katanya, menjadi alat kepentingan sekelompok manusia tertentu, entah itu segelintir elite penguasa, kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri. Menurut lelaki asal Guluk-Guluk, Sumenep, ini, masing-masing menjadikan agama sekadar ajaran yang bersifat reaktif guna meneguhkan ambisi, kepentingan, dan untuk memberangus perbedaan, serta melawan segala sesuatu yang dianggap bertentangan atau berbeda dengan pandangan atau dan kepentingan mereka. Untuk mengatasi masalah ini, menurut saya, adalah penguatan kebersamaan sesama antarpemeluk agama. Kita semua harus terus menerus disadarkan bahwa perbedaan keyakinan di dunia ini tidak bisa dilepaskan dari skenario Tuhan agar manusia saling mengenal satu sama lain. Kalau Tuhan berkehendak bahwa di dunia ini hanya ada satu keyakinan, maka hal itu bukan sesuatu yang sulit bagi Tuhan. Penguatan hubungan itu bisa dilakukan dengan dialog terus menerus, tidak saja di kalangan tokoh, tapi juga di kalangan masyarakat bawah. Dialog yang terus menerus akan menjadi benteng bersama ketika agama dicoba dirusak oleh kepentingan luar atau politik. Dalam dialog itu harus dilihat bahwa relasi indah hubungan antaragama tidak pernah selesai. Relasi itu selalu rentan sehingga harus selalu dijaga. Bukankah tradisi "pela gandong" atau kebersamaan di Ambon yang telah berurat akar ribuan tahun bisa terkoyak juga....

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011