Agama sejatinya mengajarkan kebaikan. Hanya, tafsir terhadap agama tidak jarang membawa pemeluknya berbeda dengan ajaran dasar agama yang penuh damai. Agama kemudian terseret pada konflik, baik antaragama maupun dalam satu agama.
Saat ini, 34 titik di dunia terlibat konflik, 26 di antaranya konflik agama, sehingga PBB perlu mengirim pasukan perdamaian ke lokasi-lokasi tersebut.
Fenomena hari ini agama tidak lagi menduduki posisi sentral dalam konsolidasi politik global yang seharusnya menciptakan rasa damai.
Kondisi ini berbeda dengan di masa lalu yang ketika mau melakukan konsolidasi politik justru berpijak di atas dasar agama.
Konflik agama ini memperlihatkan adanya pertarungan nilai untuk konsolidasi politik global. Pertarungan nilai itu saling bersaing di level gerakan sosial untuk mempromosikan nilai sesuai dengan gagasannya masing-masing.
Jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya kelompok yang memiliki pengaruh itu menadopsi gagasan atau nilai-nilai yang bersumber dari luar agama-agama.
Agama, baik yang samawi maupun nonsamawi, membawa nilai kebersamaan dan seharusnya menjadi modalam sebagai konstruksi dalam konsolidasi politik global, namun saat ini sedang disibukkan oleh munculnya berbagai macam konflik sehingga membuat nilai-nilai luhur nan agung itu seakan terpinggirkan.
ASEAN IIDC
Melihat fenomena tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) untuk mengingat kembali pengalaman sejarah yang juga menjadi warisan peradaban bersama di lingkup kawasan Asia Pasifik.
Organisasi yang didirikin oleh Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari ini menggagas acara tersebut sebagai bagian dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang akan dilaksanakan September 2023.
PBNU yang kini dipimpin oleh Ketua Umum KH Yahya Chokil Staquf ini telah meminta izin Presiden Joko Widodo untuk menggelar acara tersebut dan presiden pun telah memberikan izin.
Rupanya NU tengah gusar melihat fenomena konflik yang seolah-olah bersumber dari nilai agama. Selama ini organisasi yang didirikan di Kota Surabaya itu memang memberikan perhatian besar pada isu-isu yang merobek jalinan kemanusiaan.
Salah seorang tokoh besar NU yang juga bapak bangsa, yakni KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tersohor dengan sepak terjangnya sebagai pejuang kemanusiaan.
Melalui ASEAN IIDC, PBNU berkeyakinan bahwa kalau agama ingin punya peran, maka agama harus mampu memecahkan masalah di antara mereka sendiri.
Sebab, bagi NU, kalau Sunni dan Syi'ah masih terus bertengkar, lantas siapa yang percaya Islam adalah agama yang memperjuangkan perdamaian? Padahal ajaran dasar Islam itu menjadi rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil 'alamin.
Karena itu, ormas yang telah berusia 100 tahun atau satu abad itu mengajak kembali semua pihak untuk mengingat sejarah kepimpinan Kerajaan Sriwijaya yang pusatnya di tepian Sungai Musi, Palembang, dan juga Kerajaan Majapahit yang berhasil menyatukan Nusantara, melalui Sumpah Palapa dari Patih Gajah Mada.
Peradaban Asoka
Dalam ASEAN IIDC, PBNU menawarkan Pendekatan Asoka atau Asoka Approach dengan kampanye dan konsolidasi nilai-nilai peradaban, mencakup kawasan Indo-Pasifik atau Asia-Pasifik, yang isi subtansi dan nilai-nilai peradabannya adalah toleransi dan harmoni.
Asoka adalah seorang penguasa Kekaisaran Maurya Gupta yang berkuasa dari 273 SM sampai 232 SM. Asoka merupakan penganut agama Buddha dan memimpin sebagian besar anak Benua India, dari apa yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore.
Nama "Asoka" berarti "tanpa duka", diambil dari Bahasa Sanskerta.
Pada awal kepemimpinannya, Asoka dikenal sebagai raja yang kejam. Menurut sejarah, Raja Asoka pernah menusukkan pedang dan memotong kepala 500 menterinya.
Namun, akhirnya, ia berubah menjadi pribadi yang bijaksana dan membangun dinastinya menjadi pemerintahan yang penuh toleransi dan tanpa kekerasan, dengan berpijak pada ajaran Agama Buddha.
Ada keterikatan erat antara Kekaisaran Maurya Gupta yang dipimpin oleh Raja Asoka dan kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa lampau, yakni sama-sama menganut Hindu-Buddha.
Salah satu warisan Peradaban Asoka adalah semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tumbuh dan dipelihara selama zaman Kerajaan Sriwijaya, sehingga bekasnya masih kental sekali pada masa Kerajaan Majapahit.
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda, tetapi tetap satu, ditulis dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Kerajaan Sriwijaya bertahan hingga 7 abad karena mengedepankan nilai-nilai toleransi dan harmoni. Hal yang sama juga terjadi dengan Kerajaan Majapahit. Keduanya tidak pernah memproklamirkan diri sebagai kerajaan yang berbasis agama, karena di dalamnya banyak rumpun agama.
Sebagai contoh, raja-raja Majapahit yang menganut agama Hindu, rela menikahkan putri-putrinya dengan ulama-ulama Islam. Pada masa kejayaannya, yakni era Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal Gajah Mada, lazim jika antara raja dan jajarannya beda agama.
Dari catatan sejarah itu, kemudian para bapak pendiri bangsa ini mendiskusikan serta menjadikannya sebagai referensi bagi ideologi Indonesia.
Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf menyatakan kalau saat ini kita punya Bhinneka Tunggal Ika dan juga punya Pancasila, ini bisa ditelusuri dengan sangat jelas dari akar yang sama, yaitu peradaban Asoka.
Untuk itu, PBNU mendorong kelompok-kelompok yang sedang berseteru untuk mengingat kembali tentang peradaban Asoka, karena warisan tersebut sangat berharga dan dibutuhkan oleh masyarakat global seluruhnya.
Gagasan Pendekatan Asoka dari PBNU ini merupakan ruh dasar dari keinginan tokoh-tokoh agama untuk memeragakan nilai-nilai dasar agama di muka Bumi serta menjadi sumbangsih Bangsa Indonesia untuk ambil bagian dalam ikhtiar mewujudkan dunia yang sejahtera dan damai.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023