Jakarta - Indonesia dinilai belum siap melakukan perdagangan karbon karena belum memiliki aturan pendukung untuk memanfaatkan mekanisme pasar yang dibuat untuk membatasi emisi karbon dioksida tersebut, kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan,Kemhut. "Sebetulnya kita belum siap karena meskipun skema restorasi ekosistem hutan sudah ada, belum diatur seperti apa perdagangannya nanti," kata Direktur jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan R. Iman Santoso dalam diskusi tentang ekonomi rendah karbon di Jakarta, Selasa. Aturan perdagangan karbon, menurut Iman Santoso , sangat diperlukan karena karbon merupakan komoditas khusus yang transaksinya memiliki implikasi politik dan moral. "Pilihan untuk menjual ke pihak tertentu akan berimplikasi politik. Selain itu ada tanggung jawab moral untuk menetapkan harga. Kalau kita menjualnya dengan harga murah, bagaimana tanggung jawab moral kita untuk mengurangi emisi?" kata Iman. Menurut dia, penetapan harga terendah dalam melakukan perdagangan karbon perlu diatur untuk memastikan nilai kompensasi layak yang bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan upaya pengurangan emisi. "Harga terendah harus hati-hati ditetapkan, karena kalau terlalu rendah kita membiarkan orang melakukan eksploitasi," kata Iman Santoso. Peluang Meski menurut Deputi I Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Heru Prasetyo ,pemerintah membuat komitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen pada 2020 bukan semata untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan karbon maupun bantuan donor. "Lebih untuk kelestarian lingkungan dalam jangka panjang," kata Heru Prasetyo. Namun, menurut Chandra Kirana dari Climate Policy Initiative (CPI), Indonesia mengambil keuntungan dari upaya pengurangan emisi yang dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon. Beberapa negara, kata dia, sudah mulai memanfaatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan melalui mekanisme penyediaan kompensasi bagi upaya pengurangan emisi karbon tersebut. "China menangkap peluang itu, mereka berencana menerapkan sistem perdagangan karbon di enam wilayahnya tahun 2013 dan secara nasional pada 2015," kata dia. Negara-negara anggota Uni Eropa sudah memiliki skema perdagangan karbon (Emission Trading Scheme/ETS). Menurut dia, ETS merupakan skema perdagangan emisi multinasional terbesar di dunia yang mengharuskan pengemisi besar menghasilkan emisi tidak lebih dari standar yang ditetapkan dan jika tidak mereka harus membayar kelebihan emisi penghasil karbon yang lain atau mendapat sanksi berat. India, dia menjelaskan, juga sudah menetapkan tingkat emisi bagi penyumbang emisi karbon terbesar seperti pembangkit listrik, industri baja dan pabrik semen dan berencana memulai perdagangan karbon tahun 2014. Pelaku bisnis yang menggunakan banyak energi di negara itu nantinya bisa membeli sertifikat karbon dari pelaku usaha yang hanya menggunakan sedikit energi.

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011