Surabaya - Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Kadispendukcapil) Kota Surabaya Kartika Indrayana tidak mau berkomentar soal dugaan korupsi proyek pemutakhiran data kependudukan 2010 sekitar Rp3,5 miliar yang kini ditangani Polda Jatim. Saat dikonfirmasi soal dugaan korupsi tersebut, Kartika tidak memberikan tanggapan apapun. Namun tersirat ia menyatakan bahwa kasus ini memang ada karena saat ditanyai tentang pemeriksaan di Polda Jatim, ia sudah tanggap dengan pertanyaan ini. "Kalau itu, saya tidak comment," kata Kartika saat dihubungi melalui ponselnya, Kamis. Bahkan saat ditanya dana yang dipakai itu dana apa? ia tetap menjawab sebanyak empat kali "tidak mau komentar". Termasuk ketika ditanya apakah benar sudah ada pegawainya yang diperiksa di Polda Jatim, Kartika juga mengatakan hal sama. "Eee, ndak comment," katanya lagi. Informasi yang dihimpun ANTARA menyebutkan sedikitnya delapan pegawai Dispenduk Capil telah dimintai keterangan oleh Unit Tipikor Polda Jatim sejak Selasa (9/8) lalu. Para pegawai yang sudah diperiksa itu di antaranya adalah M Taufik, Sumarto dan Agus Tri Laksono. Ketiganya adalah pegawai di Bidang Catatan Sipil Dispendukcapil. Selain itu adalah Mochammad Nur yakni pegawai di Bidang Data dan Informasi Dispendukcapil yang diperiksa pada Kamis (11/8) ini. Informasi masih banyak lagi pegawai yang akan diperiksa. Turunnya aparat Polda Jatim ini berkaitan dengan proyek pemutakhiran data kependudukan tahun 2010. Anggaran untuk proyek ini sekitar Rp3,5 miliar yang merupakan dana hibah dari APBN yang disalurkan melalui Pemerintah Provinsi Jatim. Dana ini juga merupakan "sharing" dengan APBD Kota Surabaya. Ketua tim Pemutakhiran Data ini adalah langsung dikomandani Kepala Dispenduk Capil Kartika Indrayana. Namun dalam pelaksanaan penggunaan anggaran, ada ketidakberesan di antaranya honor pegawai yang diduga dikorupsi. "Honor yang semestinya antara Rp15-16 juta, hanya diberikan Rp2,250 juta," ucap sumber orang dalam di Dispendukcapil yang enggan namanya ditulis. Honor ini dicairkan dalam dua termin yakni tahap pertama cair Rp500 ribu, pencairan kedua Rp1,750 juta. Padahal tim pemutakhiran data itu tidak hanya satu atau dua orang melainkan jumlahnya puluhan. Bahkan tim ini juga melibatkan pegawai dari kelurahan dan kecamatan yang bisa ratusan orang. Mereka mendapatkan honor berdasarkan pemutakhiran data per lembar yang telah dikerjakan. "Siapa yang tidak jengkel kalau uangnya disunat (dipotong), Itu hak pegawai," katanya. Selain itu, penyunatan ini dilakukan hampir menyeluruh. Jumlah pemotongan honor yang mestinya menjadi hak pegawai tidak sama. Pegawai diberikan honor bervariasi antara Rp500 ribu sampai Rp2 juta, padahal honor aslinya bisa puluhan juta rupiah. Infonya ada honor yang mencapai Rp21 juta, tapi cairnya juga berkisar Rp2 jutaan. Begitu kasus ini terungkap, Kartika sendiri terlihat kebingungan dan berusaha mendekati para pegawainya agar dalam pemeriksaan mengatakan bahwa mereka telah menerima honor sesuai dengan kuitansi. Padahal kuitansi yang ditandatangani para pegawai dengan nominal yang diterimanya hasilnya berbeda. "Para pegawai kompak menolak keinginan Kartika," kata sumber tersebut.

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011