Tumpukan kaset pita terpampang di salah satu sudut ruangan gedung Radio Republik Indonesia (RRI) di Jalan Pemuda, Kota Pahlawan.

Tepatnya di ruang stasiun digital. Di situ juga terlihat seorang pria yang tengah merapikan beberapa kaset pita di atas meja yang ada di Ruangan Stasiun Digital.

Pria itu bernama Pataka Swahara Sanja, Music Director RRI Surabaya.

Kaset pita yang ada di ruangan stasiun digital baru saja direlokasi dari gudang. Tujuannya untuk restorasi, sekitar 1.100 kaset pita jumlahnya.

Ribuan kaset memang didominasi bintang panggung nasional hasil label musik terkenal, salah satunya Lokananta.

Dulu, koleksi rilisan fisik didapatkan RRI ketika ada seorang penyanyi yang datang melakukan promosi karya terbarunya.

Namun, ada juga arsip hasil produksi atau arsip RRI, seperti rekaman program siaran, pidato pejabat, maupun produk kesenian tradisional.

Baru awal tahun proses restorasi dilakukan, sekitar Januari 2023 lalu. Itu sudah termasuk relokasi maupun memilah mana kaset pita yang bisa diselamatkan dan mana yang tidak.

"Dulu itu namanya diskotek. Jadi ruang kaset maupun ruang vinil itu namanya diskotek. Jadi setiap radio ada ruangan itu," kata Pataka kepada ANTARA, Kamis.

Jumlah kaset yang direstorasi baru memasuki seperempat dari total keseluruhan yang mencapai 1.100. Prosesnya memakan banyak waktu, karena melihat pada durasi rekaman pada setiap kasetnya.

Belum lagi jika kasetnya memiliki konsep berseri, seperti pertunjukan wayang maupun ludruk. Hal itu bakal memakan waktu yang lebih lama lagi.

Menurutnya, proses restorasi memang butuh kesabaran, supaya hasilnya bisa maksimal. Sekaligus mengecek keadaan pita kaset yang akan diperbaiki, karena itu barang lama. Sudah tersimpan puluhan tahun di gudang.

Kerusakan bisa saja muncul, seperti pada bagian spon. Jika rusak, spon harus diganti. Itu yang memakan waktu tidak sebentar. Apalagi jika pita pada kaset ikut rusak.

"Soalnya harus nunggu, misalnya 60 menit ya 60 menit.  Ada yang berseri, jadi total sampai tiga jam. Mungkin bisa cepat, tetapi tidak dalam jangka waktu 3-5 tahun. Kedua teknologi terbaru tidak seperti dulu," ujarnya.

Namun, menurut Pataka hal itu tak jadi masalah, sebab tujuannya adalah menyelamatkan arsip RRI yang juga arsip negara.

Selain itu, arsip yang tersimpan pada tumpukan kaset juga sebagai sarana memperkenalkan teknologi analog maupun karya musisi lawas hingga kebijakan pemerintah terdahulu kepada generasi muda.

"Ujungnya memang untuk pajangan, tetapi kan yang terpenting juga dapat arsipnya," katanya.

Di sisi lain, restorasi kaset dilakukannya lantaran barang yang populer sekitar tahun 1970-1990 itu punya sisi nostalgia untuknya.

Pataka mengaku, dulu untuk membeli satu kaset pita saja dia harus menabung. Kemudian berburu ke beberapa lokasi di Kota Surabaya.

Tak peduli itu barang baru atau bekas yang penting rilisan musisi lokal maupun dunia, yang penting bisa dikantongi dan dibawa pulang.

Apalagi itu akan terasa spesial ketika hanya segelintir orang saja yang memiliki edisi atau album khusus.

"Saya mengalami masa harus menabung dan datang ke pelapak barang bekas, seperti di Gembong. Saya mengutip Ahmad Dhani, melakukan hal itu (berburu kaset) karena memang bisa mendengarkan rekaman dari Eminem, Limp Bizkit melalui digital. Tetapi, yang tidak bisa didapatkan itu huntingnya," katanya.

Dia menganggap produk analog, berupa kaset pita sebagai hal spesial. Itu tak bisa digantikan dengan hasil rilisan musisi di platform digital.

Sekalipun bisa berlangganan, namun konsep berburu barang analog tak akan bisa digantikan oleh pundi-pundi rupiah.

Menurut Pataka konsep perputaran era juga berlaku pada produk musik. Sebab, band-band era modern juga ada yang mengeluarkan rilisan berbentuk kaset pita maupun vinil.

Namun, keduanya punya perbandingan dari segi harga. Produksi vinil jauh lebih memakan banyak biaya ketimbang kaset pita.

"Kalau di digital kan semua orang bisa dapat, tetapi kalau saya punya rekaman fisik yang orang lain tidak punya itu hal prestise. Itu tidak ternilai dengan uang," ucap Pataka.

Tak hanya kaset pita saja, jauh sebelumnya Pataka juga memutuskan melakukan restorasi vinil atau piringan hitam milik RRI.

Sekitar 10 tahun lalu restorasi pada piringan hitam yang tersimpan di gudang kantor RRI, mulai dikerjakannya.

Proses kini hampir selesai, diperkirakan hanya ada 3.000 dari 8.000 vinil yang bisa direstorasi. Penyebabnya karena usia, kemudian juga suhu ruang yang berpengaruh pada kondisi cakram.

Menurutnya, vinil juga punya nilai prestisius. Alasannya, karena suara yang terakam pada kepingan cakram merupakan suara original yang diambil saat proses rekaman berlangsung atau biasa disebut master.

"Jadi tidak mungkin, kalau beli rilisan bentuk vinil Guns N Roses tidak asli, itu justru aslinya. Lebih original," ucapnya.

"Kalau mendengarkan kaset mencari kehangatan, mp3 cari mudahnya, tetapi vinil itu seseorang ingin mendengarkan suara aslinya," ucap dia lagi.

Vinil juga dirasanya lebih sulit dirawat, tidak boleh ditumpuk. Penempatannya harus dalam posisi berdiri. Jika tidak begitu, piringan hitam akan rusak.

"Karena pantulan jarum dengan vinil itu yang menimbulkan suara. Jarumnya tumpul, suara tidak keluar, ganti jarum," ujarnya.

Pataka sekali lagi menyebut restorasi sengaja dilakukan demi keawetan arsip RRI, sekaligus menjadi wadah edukasi konsep teknologi digital pada dunia musik bagi masyarakat, khususnya generasi muda.

"Kalau vinil ada program khusus "Pustaka Piringan Hitam", hari Sabtu jam 22.00 malam," katanya.

Dia menambahkan vinil punya segmen pasar tersendiri. Bahkan cenderung lebih fanatik.

"Penggemarnya gila, bahkan ada yang datang ingin beli. Tetapi tidak bisa karena ini arsip negara," ucap dia.

Pewarta: Ananto Pradana

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023