Pertempuran Normandia 1944 diawali dari penaklukan pihak Jerman terhadap Perancis, namun pihak Sekutu ingin membebaskan Perancis dari pendudukan pihak Jerman. Oleh karena itu, pasukan Sekutu melakukan invasi ke Pantai Normandia pada 6 Juni 1944 pada lima titik yang diberi sandi Utah dan Omaha (Amerika Serikat), Gold dan Sword (Inggris), dan Juno (Kanada) dengan melibatkan tiga juta personel tentara darat dan 1.200 kapal perang, dan 11 ribu pesawat.
Skenario pertempuran dan pendaratan di Normandia 1944 yang direncanakan dan dipikirkan selama empat tahun lamanya dengan kode operasi “Overlord” itu merupakan sebuah invasi pasukan pendaratan terbesar dalam sejarah yang melibatkan jutaan personel tentara darat. Jenderal Dwight D. Eisenhower sebagai Panglima Sekutu berkeinginan agar invasi ke Normandia, D-Day bisa segera terlaksana, namun rencana operasinya hampir gagal karena cuaca buruk.
Akhirnya, pendaratan pasukan Sekutu di Normandia itu berhasil memenangkan invasi Normandia yang diberi sandi “Operation Overlord”. Secara garis besar gambaran operasi pendaratan di Normandia di sepanjang garis pantai utara Perancis terbagi dalam tiga skenario besar.
Pertama, pihak Sekutu menyiapkan rencana tipu muslihat besar-besaran yang dikenal dengan “Operation Fortitude” dengan tujuan agar meyakinkan pihak Jerman bahwa jumlah pasukan SHAEF (Supreme Headquarters, Allied Expeditionary Force) dua kali lipat dari jumlah aslinya. Dalam tipu muslihat ini, pihak Sekutu menyebarkan berita bohong kepada pihak Jerman bahwa lokasi pendaratan adalah pelabuhan sekitar Pas de Calais, bukan Normandia.
Sekutu menjatuhkan bom lebih banyak di Pas de Calais dari pada di Normandia, Sekutu bahkan menyebarkan isu tentang FUSAG (First U. S. Army Group), suatu grup tentara khayalan pimpinan Jenderal George S. Patton, sehingga di saat Sekutu mendarat di Normandia maka divisi-divisi Jerman tidak akan meninggalkan posisinya di Pas de Calais karena menunggu Invasi dari FUSAG, semua itu dilakukan untuk menipu Jerman.
Kedua, keunggulan operasi udara pihak Sekutu ditunjukkan pada bulan Januari 1944. Marsekal Udara Leigh-Mallory mengumumkan suatu rencana serangan udara pada sistem transportasi dan kereta api di Perancis untuk dapat mencegah pergerakan pasukan Jerman ke medan tempur.
Pertempuran Normandia dimulai dengan pendaratan oleh pasukan terjun payung di sepanjang garis pantai Perancis setelah tengah malam untuk menandai tempat pendaratan bagi batalion pasukan terjun payung berikutnya, yang kemudian mengamankan sisi daerah pendaratan pasukan Sekutu. “Operation Overlord” dimulai lewat pukul 12 malam tanggal 6 Juni 1944 dengan diterjunkannya 6.000 orang pasukan payung di wilayah Normandia.
Pasukan-pasukan payung tersebut ditugaskan untuk memutuskan jalur komunikasi Jerman, menghancurkan sarang-sarang meriam, menimbulkan kekacauan di pihak Jerman dan menguasai jembatan atau jalan-jalan raya yang dapat digunakan Jerman untuk memobilisasi tentaranya ke pantai Normandia.
Ketiga, gelombang pertama D-Day telah ditetapkan tanggal 5 Juni sejak bulan Mei 1944 dan sehari sebelum tanggal penyerangan terjadi badai yang sangat besar di Selat Channel. Seorang meteorologis sekaligus perwira RAF asal Skotlandia Kapten J. M. Stagg, dipanggil Eisenhower untuk menganalisis keadaan cuaca pada awal bulan Juni 1944 dan Stagg mengatakan bahwa dini hari tanggal 6 Juni 1944 cuaca akan membaik untuk jangka waktu yang singkat.
Eisenhower kemudian memerintahkan penyerangan ke Normandia yang akan dilaksanakan pada tanggal tersebut dan “D-Day Operation Overlord” ditetapkan menjadi tanggal 6 Juni 1944. Pada gelombang pertama, Sekutu mengerahkan kurang lebih 5.300 kapal pengangkut dari berbagai jenis, 23 kapal penjelajah, 104 kapal perusak dan 71 kapal induk besar.
Sekutu juga menerbangkan 12.000 pesawat dan mendaratkan 107.000 tentara, 14.000 kendaraan dan 14.500 ton logistik pada D-Day. Dikarenakan cuaca yang buruk dan pasang air yang naik lebih tinggi, pendaratan di Pantai Omaha merupakan operasi pendaratan yang paling banyak memakan korban sekitar 2.400 personel pada jam-jam pertama.
Sekitar pukul 5.30 pagi, armada kapal perusak Sekutu mulai membombardir pantai Normandia untuk menghancurkan sarang-sarang meriam musuh yang dapat membahayakan tentara-tentara infantri Sekutu yang mendarat di tepi pantai. Preliminary bombing ini hanya dilakukan selama setengah jam agar tentara Jerman tidak sempat mengumpulkan divisi-divisinya yang tersebar di wilayah Normandia untuk mempertahankan wilayah pantai dari infantri Sekutu. Selama setengah jam tersebut, Jerman hanya mengerahkan armada lautnya yang terdiri dari 5 kapal perusak, 10 kapal torpedo, 50-60 E-Boot dan jumlah ini tidak berhasil menggagalkan pendaratan Sekutu di Normandia.
Pengaruh Meteorologi Maritim
Waktu pendaratan di Pantai “Omaha”, Sekutu tidak memperkirakan tentang cuaca dan pasang air yang naik lebih tinggi di Selat Channel, sehingga kebanyakan kapal pendarat tenggelam terkena ombak sebelum berhasil mendekati pantai. Tentunya pada saat terjadinya pertempuran Normandia 1944, masih didukung dengan alat observasi Meteorologi Maritim yang sangat konvensional.
Hal ini membuat hasil observasi prakiraan cuaca menjadi tidak akurat dan tepat, sehingga hari penyerangan D-Day terpaksa diundur dan adanya keragu-raguan seorang pemimpin militer dalam mengerahkan kapal perang dan jutaan personel tentara darat.
Perencanaan prakiraan informasi cuaca maritim invasi pendaratan di Normandia dimulai pada tanggal 1 Juni 1944. Jenderal Eisenhower mengadakan sebuah rapat dengan para Jenderal dan Laksamana di Southwick House kediaman Laksamana Sir Bertram Ramsey.
Presentasi informasi cuaca maritim dipaparkan oleh seorang meteorologis sekaligus perwira RAF asal Skotlandia Kapten J.M. Stagg. Kapten Stagg memiliki tiga Stasiun Pengamatan cuaca di Inggris yang memproduksi forecast atau prakiraan cuaca pada hari D-Day yaitu pada tanggal 5 Juni (J.M. Stagg, 1971). Pada briefing tanggal 3 Juni, prakiraan cuaca memperkirakan cuaca buruk untuk tanggal 5 Juni. Prakiraan cuaca memprediksi bahwa kondisi angin dan gelombang laut akan menyusahkan pasukan Sekutu. Namun, Jenderal Eisenhower tetap memerintahkan pasukan Sekutu untuk mendarat pada 5 Juni.
Pada briefing tanggal 4 Juni, keadaan semakin memburuk. Prospek prakiraan cuaca maritim untuk tanggal 5 Juni memprediksi bahwa akan ada gelombang tinggi yang dapat menghempaskan kapal landing craft dan menyulitkan kapal tersebut untuk mendarat. Prakiraan kecepatan angin dapat mencapai 25 sampai 30 miles per jam. Atas pertimbangan tersebut, Jenderal Eisenhower memerintahkan untuk menunda invasi sampai tanggal 6 Juni.
Namun pada briefing kedua tanggal 4 Juni pukul 21.30, Kapten J.M. Stagg melakukan prediksi cuaca yang memberitahukan bahwa terdapat celah cuaca tenang pada tanggal 6 Juni. Hal ini mengakibatkan Angkatan Laut Sekutu memerintahkan armadanya untuk kembali berlayar agar dapat sampai di Normandia pada tanggal 6 Juni.
Tanggal 5 Juni merupakan tanggal yang menyulitkan armada Sekutu yang berada di laut dan menunggu untuk melakukan pendaratan. Observasi cuaca maritim dari pantai terdekat menghasilkan adanya hujan deras serta gelombang tinggi, hal ini menimbulkan kecemasan dari para petinggi Sekutu.
Namun berita baiknya adalah cold front tersebut bergerak ke arah Timur sehingga menyebabkan cuaca di bagian Barat menjadi cerah, dan kondisi cuaca maritim menjadi tenang. Kapten J.M. Stagg memprediksi ada celah cuaca selama 2 hari yang dimulai pada pagi hari tanggal 6 Juni dengan kondisi angin mengarah ke arah Tenggara dengan kecepatan angin tidak akan lebih dari 17 sampai 21 knots. Atas pertimbangan ini, Jenderal Eisenhower memutuskan untuk melaksanakan invasi pada hari esoknya yaitu tanggal 6 Juni 1944 dan invasi Sekutu ini akhirnya berhasil dilaksanakan dan mengalahkan pihak Jerman.
Berbeda dengan pihak Sekutu, tentara Jerman tidak mengandalkan prakiraan cuaca, khususnya cuaca maritim. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa Jerman tidak dapat mengantisipasi pendaratan Sekutu di Normandia. Para Jenderal petinggi Jerman hanya mengandalkan observasi dari cuaca buruk yang terjadi pada tanggal 4 Juni, karena tidak adanya stasiun pengamat cuaca maritim di wilayah Jerman.
Tentara Jerman tidak dapat memprediksi cuaca tenang yang akan terjadi menyusul frontal system setelah terjadinya cuaca buruk tersebut. Personil pengamat cuaca di Greenland telah dievakuasi dari awal bulan Juni, serta Jerman sudah tidak memiliki kapal selam U-Boat pengamat cuaca maritim di laut untuk mendeteksi tekanan atmosfer. Dari data yang tidak lengkap ini, Generalfeld-Marschall Erwin Rommel menjadi sangat yakin bahwa tidak akan ada invasi Sekutu pada rentang tanggal 5 sampai 8 Juni karena "gelombang pasang sedang tidak bagus".
Peran BMKG dalam Informasi Meteorologi Maritim
Dari kejadian bersejarah Invasi Normandia oleh Sekutu pada tahun 1944 tersebut, dapat dilihat bahwa informasi cuaca khususnya cuaca maritim memiliki peran yang sangat krusial dalam peperangan. Mulai dari perencanaan invasi, penentuan tanggal, pemberangkatan armada laut, darat maupun udara, sampai akhirnya membalikkan gelombang perang yang dapat menjadikan Sekutu berhasil merebut pantai Normandia.
Sebagai pembelajaran di kemudian hari, guna menunjang operasi pendaratan perlu memberdayakan kekuatan-kekuatan laut yang ada untuk meningkatkan keamanan suatu negara, dan apabila kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan berakibat kerugian bagi negara tersebut. Maka dari itu, TNI khususnya TNI AL wajib untuk memperhitungkan cuaca, khususnya cuaca maritim dalam operasi di laut maupun pendaratan.
Hal ini sangat penting karena cuaca maritim dapat mengurangi korban jiwa maupun korban alutsista. TNI atau TNI AL perlu melakukan Kerjasama Sipil Militer (KSM) dengan BMKG untuk mendapatkan informasi dan data terkait Meteorologi Maritim.
Cuaca maritim yang disediakan oleh BMKG adalah dalam bentuk website InaWIS. InaWIS (Indonesia Weather Information for Shipping) merupakan sistem prediksi cuaca maritim berbasis model numerik yang terintegrasi sebagai dukungan BMKG terhadap sektor kemaritiman.
Sistem ini terintegrasi dengan sistem navigasi kapal laut dan terhubung dengan model prediksi laut BMKG - Ocean Forecasting System (BMKG - OFS) dengan data navigasi pelayaran Automatic Identification System (AIS) dan sistem observasi cuaca real time. Cuaca maritim yang disediakan oleh BMKG merupakan Impact - based forecast atau cuaca maritim berbasis dampak yang dimana artinya prediksi cuaca yang dapat mengeluarkan informasi dampak cuaca terhadap kapal yang berlayar secara otomatis.
Informasi ini akan mengeluarkan peta berbasis dampak, di mana akan memberi warna yang menandakan status risiko cuaca maritim berdasarkan tipe kapal. Hal ini akan mempermudah alutsista TNI AL untuk melakukan navigasi di laut agar menghindari wilayah yang berpotensi terjadi cuaca ekstrem. Selain itu, terdapat juga informasi AIS (Automatic Identification System) kapal yang dapat mengidentifikasi risiko kapal terhadap cuaca maritim, hal ini sangat bermanfaat bagi alutsista TNI AL untuk memperkirakan risiko alutsista-nya pada saat berlayar di wilayah teritorial laut.
*) Penulis adalah Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG dan mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI. Penulis merumuskan tulisan setelah berdiskusi dengan Anang Prasetia Adi (Kepala Bagian Infolahta Seskoal/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI) dan Syaiful Anwar (Dosen Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Skenario pertempuran dan pendaratan di Normandia 1944 yang direncanakan dan dipikirkan selama empat tahun lamanya dengan kode operasi “Overlord” itu merupakan sebuah invasi pasukan pendaratan terbesar dalam sejarah yang melibatkan jutaan personel tentara darat. Jenderal Dwight D. Eisenhower sebagai Panglima Sekutu berkeinginan agar invasi ke Normandia, D-Day bisa segera terlaksana, namun rencana operasinya hampir gagal karena cuaca buruk.
Akhirnya, pendaratan pasukan Sekutu di Normandia itu berhasil memenangkan invasi Normandia yang diberi sandi “Operation Overlord”. Secara garis besar gambaran operasi pendaratan di Normandia di sepanjang garis pantai utara Perancis terbagi dalam tiga skenario besar.
Pertama, pihak Sekutu menyiapkan rencana tipu muslihat besar-besaran yang dikenal dengan “Operation Fortitude” dengan tujuan agar meyakinkan pihak Jerman bahwa jumlah pasukan SHAEF (Supreme Headquarters, Allied Expeditionary Force) dua kali lipat dari jumlah aslinya. Dalam tipu muslihat ini, pihak Sekutu menyebarkan berita bohong kepada pihak Jerman bahwa lokasi pendaratan adalah pelabuhan sekitar Pas de Calais, bukan Normandia.
Sekutu menjatuhkan bom lebih banyak di Pas de Calais dari pada di Normandia, Sekutu bahkan menyebarkan isu tentang FUSAG (First U. S. Army Group), suatu grup tentara khayalan pimpinan Jenderal George S. Patton, sehingga di saat Sekutu mendarat di Normandia maka divisi-divisi Jerman tidak akan meninggalkan posisinya di Pas de Calais karena menunggu Invasi dari FUSAG, semua itu dilakukan untuk menipu Jerman.
Kedua, keunggulan operasi udara pihak Sekutu ditunjukkan pada bulan Januari 1944. Marsekal Udara Leigh-Mallory mengumumkan suatu rencana serangan udara pada sistem transportasi dan kereta api di Perancis untuk dapat mencegah pergerakan pasukan Jerman ke medan tempur.
Pertempuran Normandia dimulai dengan pendaratan oleh pasukan terjun payung di sepanjang garis pantai Perancis setelah tengah malam untuk menandai tempat pendaratan bagi batalion pasukan terjun payung berikutnya, yang kemudian mengamankan sisi daerah pendaratan pasukan Sekutu. “Operation Overlord” dimulai lewat pukul 12 malam tanggal 6 Juni 1944 dengan diterjunkannya 6.000 orang pasukan payung di wilayah Normandia.
Pasukan-pasukan payung tersebut ditugaskan untuk memutuskan jalur komunikasi Jerman, menghancurkan sarang-sarang meriam, menimbulkan kekacauan di pihak Jerman dan menguasai jembatan atau jalan-jalan raya yang dapat digunakan Jerman untuk memobilisasi tentaranya ke pantai Normandia.
Ketiga, gelombang pertama D-Day telah ditetapkan tanggal 5 Juni sejak bulan Mei 1944 dan sehari sebelum tanggal penyerangan terjadi badai yang sangat besar di Selat Channel. Seorang meteorologis sekaligus perwira RAF asal Skotlandia Kapten J. M. Stagg, dipanggil Eisenhower untuk menganalisis keadaan cuaca pada awal bulan Juni 1944 dan Stagg mengatakan bahwa dini hari tanggal 6 Juni 1944 cuaca akan membaik untuk jangka waktu yang singkat.
Eisenhower kemudian memerintahkan penyerangan ke Normandia yang akan dilaksanakan pada tanggal tersebut dan “D-Day Operation Overlord” ditetapkan menjadi tanggal 6 Juni 1944. Pada gelombang pertama, Sekutu mengerahkan kurang lebih 5.300 kapal pengangkut dari berbagai jenis, 23 kapal penjelajah, 104 kapal perusak dan 71 kapal induk besar.
Sekutu juga menerbangkan 12.000 pesawat dan mendaratkan 107.000 tentara, 14.000 kendaraan dan 14.500 ton logistik pada D-Day. Dikarenakan cuaca yang buruk dan pasang air yang naik lebih tinggi, pendaratan di Pantai Omaha merupakan operasi pendaratan yang paling banyak memakan korban sekitar 2.400 personel pada jam-jam pertama.
Sekitar pukul 5.30 pagi, armada kapal perusak Sekutu mulai membombardir pantai Normandia untuk menghancurkan sarang-sarang meriam musuh yang dapat membahayakan tentara-tentara infantri Sekutu yang mendarat di tepi pantai. Preliminary bombing ini hanya dilakukan selama setengah jam agar tentara Jerman tidak sempat mengumpulkan divisi-divisinya yang tersebar di wilayah Normandia untuk mempertahankan wilayah pantai dari infantri Sekutu. Selama setengah jam tersebut, Jerman hanya mengerahkan armada lautnya yang terdiri dari 5 kapal perusak, 10 kapal torpedo, 50-60 E-Boot dan jumlah ini tidak berhasil menggagalkan pendaratan Sekutu di Normandia.
Pengaruh Meteorologi Maritim
Waktu pendaratan di Pantai “Omaha”, Sekutu tidak memperkirakan tentang cuaca dan pasang air yang naik lebih tinggi di Selat Channel, sehingga kebanyakan kapal pendarat tenggelam terkena ombak sebelum berhasil mendekati pantai. Tentunya pada saat terjadinya pertempuran Normandia 1944, masih didukung dengan alat observasi Meteorologi Maritim yang sangat konvensional.
Hal ini membuat hasil observasi prakiraan cuaca menjadi tidak akurat dan tepat, sehingga hari penyerangan D-Day terpaksa diundur dan adanya keragu-raguan seorang pemimpin militer dalam mengerahkan kapal perang dan jutaan personel tentara darat.
Perencanaan prakiraan informasi cuaca maritim invasi pendaratan di Normandia dimulai pada tanggal 1 Juni 1944. Jenderal Eisenhower mengadakan sebuah rapat dengan para Jenderal dan Laksamana di Southwick House kediaman Laksamana Sir Bertram Ramsey.
Presentasi informasi cuaca maritim dipaparkan oleh seorang meteorologis sekaligus perwira RAF asal Skotlandia Kapten J.M. Stagg. Kapten Stagg memiliki tiga Stasiun Pengamatan cuaca di Inggris yang memproduksi forecast atau prakiraan cuaca pada hari D-Day yaitu pada tanggal 5 Juni (J.M. Stagg, 1971). Pada briefing tanggal 3 Juni, prakiraan cuaca memperkirakan cuaca buruk untuk tanggal 5 Juni. Prakiraan cuaca memprediksi bahwa kondisi angin dan gelombang laut akan menyusahkan pasukan Sekutu. Namun, Jenderal Eisenhower tetap memerintahkan pasukan Sekutu untuk mendarat pada 5 Juni.
Pada briefing tanggal 4 Juni, keadaan semakin memburuk. Prospek prakiraan cuaca maritim untuk tanggal 5 Juni memprediksi bahwa akan ada gelombang tinggi yang dapat menghempaskan kapal landing craft dan menyulitkan kapal tersebut untuk mendarat. Prakiraan kecepatan angin dapat mencapai 25 sampai 30 miles per jam. Atas pertimbangan tersebut, Jenderal Eisenhower memerintahkan untuk menunda invasi sampai tanggal 6 Juni.
Namun pada briefing kedua tanggal 4 Juni pukul 21.30, Kapten J.M. Stagg melakukan prediksi cuaca yang memberitahukan bahwa terdapat celah cuaca tenang pada tanggal 6 Juni. Hal ini mengakibatkan Angkatan Laut Sekutu memerintahkan armadanya untuk kembali berlayar agar dapat sampai di Normandia pada tanggal 6 Juni.
Tanggal 5 Juni merupakan tanggal yang menyulitkan armada Sekutu yang berada di laut dan menunggu untuk melakukan pendaratan. Observasi cuaca maritim dari pantai terdekat menghasilkan adanya hujan deras serta gelombang tinggi, hal ini menimbulkan kecemasan dari para petinggi Sekutu.
Namun berita baiknya adalah cold front tersebut bergerak ke arah Timur sehingga menyebabkan cuaca di bagian Barat menjadi cerah, dan kondisi cuaca maritim menjadi tenang. Kapten J.M. Stagg memprediksi ada celah cuaca selama 2 hari yang dimulai pada pagi hari tanggal 6 Juni dengan kondisi angin mengarah ke arah Tenggara dengan kecepatan angin tidak akan lebih dari 17 sampai 21 knots. Atas pertimbangan ini, Jenderal Eisenhower memutuskan untuk melaksanakan invasi pada hari esoknya yaitu tanggal 6 Juni 1944 dan invasi Sekutu ini akhirnya berhasil dilaksanakan dan mengalahkan pihak Jerman.
Berbeda dengan pihak Sekutu, tentara Jerman tidak mengandalkan prakiraan cuaca, khususnya cuaca maritim. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa Jerman tidak dapat mengantisipasi pendaratan Sekutu di Normandia. Para Jenderal petinggi Jerman hanya mengandalkan observasi dari cuaca buruk yang terjadi pada tanggal 4 Juni, karena tidak adanya stasiun pengamat cuaca maritim di wilayah Jerman.
Tentara Jerman tidak dapat memprediksi cuaca tenang yang akan terjadi menyusul frontal system setelah terjadinya cuaca buruk tersebut. Personil pengamat cuaca di Greenland telah dievakuasi dari awal bulan Juni, serta Jerman sudah tidak memiliki kapal selam U-Boat pengamat cuaca maritim di laut untuk mendeteksi tekanan atmosfer. Dari data yang tidak lengkap ini, Generalfeld-Marschall Erwin Rommel menjadi sangat yakin bahwa tidak akan ada invasi Sekutu pada rentang tanggal 5 sampai 8 Juni karena "gelombang pasang sedang tidak bagus".
Peran BMKG dalam Informasi Meteorologi Maritim
Dari kejadian bersejarah Invasi Normandia oleh Sekutu pada tahun 1944 tersebut, dapat dilihat bahwa informasi cuaca khususnya cuaca maritim memiliki peran yang sangat krusial dalam peperangan. Mulai dari perencanaan invasi, penentuan tanggal, pemberangkatan armada laut, darat maupun udara, sampai akhirnya membalikkan gelombang perang yang dapat menjadikan Sekutu berhasil merebut pantai Normandia.
Sebagai pembelajaran di kemudian hari, guna menunjang operasi pendaratan perlu memberdayakan kekuatan-kekuatan laut yang ada untuk meningkatkan keamanan suatu negara, dan apabila kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan berakibat kerugian bagi negara tersebut. Maka dari itu, TNI khususnya TNI AL wajib untuk memperhitungkan cuaca, khususnya cuaca maritim dalam operasi di laut maupun pendaratan.
Hal ini sangat penting karena cuaca maritim dapat mengurangi korban jiwa maupun korban alutsista. TNI atau TNI AL perlu melakukan Kerjasama Sipil Militer (KSM) dengan BMKG untuk mendapatkan informasi dan data terkait Meteorologi Maritim.
Cuaca maritim yang disediakan oleh BMKG adalah dalam bentuk website InaWIS. InaWIS (Indonesia Weather Information for Shipping) merupakan sistem prediksi cuaca maritim berbasis model numerik yang terintegrasi sebagai dukungan BMKG terhadap sektor kemaritiman.
Sistem ini terintegrasi dengan sistem navigasi kapal laut dan terhubung dengan model prediksi laut BMKG - Ocean Forecasting System (BMKG - OFS) dengan data navigasi pelayaran Automatic Identification System (AIS) dan sistem observasi cuaca real time. Cuaca maritim yang disediakan oleh BMKG merupakan Impact - based forecast atau cuaca maritim berbasis dampak yang dimana artinya prediksi cuaca yang dapat mengeluarkan informasi dampak cuaca terhadap kapal yang berlayar secara otomatis.
Informasi ini akan mengeluarkan peta berbasis dampak, di mana akan memberi warna yang menandakan status risiko cuaca maritim berdasarkan tipe kapal. Hal ini akan mempermudah alutsista TNI AL untuk melakukan navigasi di laut agar menghindari wilayah yang berpotensi terjadi cuaca ekstrem. Selain itu, terdapat juga informasi AIS (Automatic Identification System) kapal yang dapat mengidentifikasi risiko kapal terhadap cuaca maritim, hal ini sangat bermanfaat bagi alutsista TNI AL untuk memperkirakan risiko alutsista-nya pada saat berlayar di wilayah teritorial laut.
*) Penulis adalah Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG dan mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI. Penulis merumuskan tulisan setelah berdiskusi dengan Anang Prasetia Adi (Kepala Bagian Infolahta Seskoal/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI) dan Syaiful Anwar (Dosen Program Doktoral Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan RI).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023