Bojonegoro - BP Migas menolak menyepakati harga ganti rugi pohon jati di atas tanah "solo vallei werken" (SVW) seluas 4,9 hektare di Desa Bonorejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim), sebesar Rp200 ribu/pohon.
"BP Migas tidak menyetujui besarnya harga ganti rugi pohon jati yang ditawarkan petani penggarap, sebab terlalu mahal," kata Camat Ngasem, Bambang Waluyo, Sabtu.
Apalagi, lanjutnya, jumlah pohon jati yang ditanam di atas tanah SVW itu, jumlahnya ribuan dengan jarak tanam berkisar 0,50 meter. Dengan demikian, biaya pembebasan tanah SVW tersebut, terlalu besar untuk ukuran harga tanah yang sewajarnya.
"Kalau jumlah pohonnya ya ribuan, masih kecil-kecil dengan jarak tanam pohon cukup rapat," katanya mengambarkan.
Ia menjelaskan, sebanyak 15 petani penggarap tanah SVW tersebut, sebenarnya sudah tidak berhak atas pengelolaan tanah SVW di Desa Bonorejo seluas 4,9 hektare itu. Sebab, izin pengelolaan atas tanah yang dikeluarkan Dinas Pengarian Provinsi Jatim, sudah mati sejak 2008 lalu.
Hanya saja, lanjutnya, setelah para petani penggarap tahu tanah tersebut, akan dimanfaatkan proyek migas Blok Cepu, akhirnya tanah ditanami pohon jati. Bersamaan dengan itu, mereka mengajukan perpanjangan izin kembali atas pengelolaan tanah.
"Izin perpanjangan tidak turun, sebab tanah tersebut akan dimanfatkan proyek migas Blok Cepu," jelasnya.
Meski demikian, lanjutnya, petani penggarap tersebut, tetap akan mendapatkan ganti rugi atas tanaman pohon jati yang ditanam di atas tanah SVW."Besarnya masih proses negosiasi, tapi tidak sebesar yang ditawarkan petani penggarap," katanya.
Menurut dia, dengan masih tersendatnya pembebasan tanah SVW itu, pembangunan fasilitas produksi minyak Blok Cepu, menjadi terhambat. Sebab, dalam pembangunan fasiltias produksi puncak minyak Blok Cepu, kebutuhan tanahnya seluas 400 hektare.
Sementara ini, lanjutnya, masih ada tanah seluas 39 hektare yang masih sulit dibebaskan, di Desa Mojodelik dan Brabowan, termasuk tanah SVW seluas 4,9 hektare itu. Tanah lain yang belum bisa dibebaskan tersebut, karena masih proses negosiasi dengan pemilik tanah.
"Karena ada kesulitan dalam pembebasan tanah, pembangunan fasilitas produksi terhambat," katanya mengungkapkan. ***5***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011