Mahasiswa rantau asal Kota Pekanbaru, Riau yang menempuh pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala, Tabitha Neema Christy memberikan pelatihan regulasi emosi bagi anak yang tinggal di pinggiran rel Kota Surabaya, Jatim.
"Saya melakukan penelitian sekaligus intervensi terhadap perilaku agresif pada anak marginal di Surabaya tepatnya di daerah pinggiran rel kereta api Wonokromo," kata Tabitha di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, kegiatan pelatihan regulasi emosi dalam menurunkan agresivitas anak marginal di kota Surabaya dilakukan secara bertahap yakni pertama, fokus pada isu perlindungan anak sejak awal merantau di Surabaya sejak 2019.
Kedua, mendirikan komunitas non-provit yaitu komunitas peduli anak Kota Surabaya yang bernama Wepose (We different but one purpose). Ketiga, studi eksperimen dan menggunakan dana pribadi dengan menggunakan duit tabungan dan sedikit mendapat bantuan dari Komisi A DPRD Surabaya.
Dari survei di lapangan dan wawancara, lanjut dia, penyebab agresivitas pada anak marginal khususnya di pinggiran rel kereta api Wonokromo disebabkan dari kondisi keadaan ekonomi dan lingkungan yang keras.
"Kemudian pengaruh lingkungan sekitar, dan juga pola asuh orangtua yang kebanyakan juga memiliki emosi yang dilampiaskan kepada anak-anak," kata dia.
Tabitha menjelaskan, tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah ingin menyadarkan bahwa agresivitas yaitu bentuk emosi negatif yang keluar ketika seseorang tidak dapat mengontrol emosi yang dirasakan dengan cara yang tepat.
Tentunya, kata dia, agresivitas pada anak akan berpengaruh pada tahapan perkembangan anak selanjutnya, juga berpengaruh akan hubungan sosial si anak kedepannya di masyarakat.
"Ini yang membuat saya tertarik dan fokus memberi pelatihan regulasi emosi pada anak usia 6-11 tahun di pinggiran rel yang kurang mendapat perhatian," kata dia.
Pada pelatihan regulasi emosi tersebut, Tabitha dibantu oleh enam fasilitator yang merupakan rekan-rekan fakultas psikologinya yakni Visi, Wilhelmina, Nuke,Lita,Cipi dan Kezia.
Baca juga: Pemkot Kediri gandeng Yayasan Widya Mandala hadirkan tes IELTS
Mereka menciptakan lagu mengenai regulasi emosi, memberi edukasi mengenal emosi, mengerti perbedaan dan jenis-jenis emosi, memberi edukasi terkait emosi positif dan negatif dan Self Affirmation yang dilakukan Tabitha.
Tabitha menggunakan cermin dan membagikannya kepada anak-anak yang berada di pinggiran rel kereta api Wonokromo, yang difokuskan agar anak-anak mengenal dirinya terlebih dahulu, memiliki paradigma yang benar akan hidup mereka, mempercayai bahwa mereka memiliki masa depan dan cita-cita yang harus digapai.
Hasilnya, empat rangkaian kegiatan pelatihan, dilaksanakan dalam waktu satu bulan penuh tetapi pendekatan sudah dilakukan sejak 2019, sehingga anak-anak sangat merasakan kedekatan, manfaat, trust (kepercayaan).
Beberapa orangtua yang diwawancarai juga berterimakasih dengan usaha yang dilakukan mereka terkait memberi ajaran, pelatihan pada anak bagaimana melatih emosi mereka sejak dini. Ada juga orangtua yang terharu dan ingin agar diadakan lagi pelatihan ini agar merata bagi anak-anak tetangga mereka.
Menurut Tabitha, kegiatan ini penting dilaksanakan, mengingat hak anak yaitu mendapatkan pendidikan, perhatian, hak tumbuh kembang, dan hak lainnya. Hal ini juga berkaitan bagaimana peran orangtua, mahasiswa, tenaga pendidik, untuk memberikan perhatian kepada anak-anak khususnya mereka yang membutuhkan perhatian khusus agar hal kecil ini harapannya berdampak besar bagi kehidupan mereka kelak.
Anak sebagai generasi penerus bangsa harus memiliki keterampilan meregulasi emosi yang baik karena dari hal krusial ini akan memberi dampak yang besar pada aspek kehidupan lainnya.
"Memang masih sedikit yang peduli, bahkan mungkin jarang. Tetapi saya sebagai anak rantau yang sudah diberi kepercayaan untuk berada di kota ini, akan terus berkomitmen dan konsisten untuk peduli terhadap mereka," kata Tabitha.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
"Saya melakukan penelitian sekaligus intervensi terhadap perilaku agresif pada anak marginal di Surabaya tepatnya di daerah pinggiran rel kereta api Wonokromo," kata Tabitha di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, kegiatan pelatihan regulasi emosi dalam menurunkan agresivitas anak marginal di kota Surabaya dilakukan secara bertahap yakni pertama, fokus pada isu perlindungan anak sejak awal merantau di Surabaya sejak 2019.
Kedua, mendirikan komunitas non-provit yaitu komunitas peduli anak Kota Surabaya yang bernama Wepose (We different but one purpose). Ketiga, studi eksperimen dan menggunakan dana pribadi dengan menggunakan duit tabungan dan sedikit mendapat bantuan dari Komisi A DPRD Surabaya.
Dari survei di lapangan dan wawancara, lanjut dia, penyebab agresivitas pada anak marginal khususnya di pinggiran rel kereta api Wonokromo disebabkan dari kondisi keadaan ekonomi dan lingkungan yang keras.
"Kemudian pengaruh lingkungan sekitar, dan juga pola asuh orangtua yang kebanyakan juga memiliki emosi yang dilampiaskan kepada anak-anak," kata dia.
Tabitha menjelaskan, tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah ingin menyadarkan bahwa agresivitas yaitu bentuk emosi negatif yang keluar ketika seseorang tidak dapat mengontrol emosi yang dirasakan dengan cara yang tepat.
Tentunya, kata dia, agresivitas pada anak akan berpengaruh pada tahapan perkembangan anak selanjutnya, juga berpengaruh akan hubungan sosial si anak kedepannya di masyarakat.
"Ini yang membuat saya tertarik dan fokus memberi pelatihan regulasi emosi pada anak usia 6-11 tahun di pinggiran rel yang kurang mendapat perhatian," kata dia.
Pada pelatihan regulasi emosi tersebut, Tabitha dibantu oleh enam fasilitator yang merupakan rekan-rekan fakultas psikologinya yakni Visi, Wilhelmina, Nuke,Lita,Cipi dan Kezia.
Baca juga: Pemkot Kediri gandeng Yayasan Widya Mandala hadirkan tes IELTS
Mereka menciptakan lagu mengenai regulasi emosi, memberi edukasi mengenal emosi, mengerti perbedaan dan jenis-jenis emosi, memberi edukasi terkait emosi positif dan negatif dan Self Affirmation yang dilakukan Tabitha.
Tabitha menggunakan cermin dan membagikannya kepada anak-anak yang berada di pinggiran rel kereta api Wonokromo, yang difokuskan agar anak-anak mengenal dirinya terlebih dahulu, memiliki paradigma yang benar akan hidup mereka, mempercayai bahwa mereka memiliki masa depan dan cita-cita yang harus digapai.
Hasilnya, empat rangkaian kegiatan pelatihan, dilaksanakan dalam waktu satu bulan penuh tetapi pendekatan sudah dilakukan sejak 2019, sehingga anak-anak sangat merasakan kedekatan, manfaat, trust (kepercayaan).
Beberapa orangtua yang diwawancarai juga berterimakasih dengan usaha yang dilakukan mereka terkait memberi ajaran, pelatihan pada anak bagaimana melatih emosi mereka sejak dini. Ada juga orangtua yang terharu dan ingin agar diadakan lagi pelatihan ini agar merata bagi anak-anak tetangga mereka.
Menurut Tabitha, kegiatan ini penting dilaksanakan, mengingat hak anak yaitu mendapatkan pendidikan, perhatian, hak tumbuh kembang, dan hak lainnya. Hal ini juga berkaitan bagaimana peran orangtua, mahasiswa, tenaga pendidik, untuk memberikan perhatian kepada anak-anak khususnya mereka yang membutuhkan perhatian khusus agar hal kecil ini harapannya berdampak besar bagi kehidupan mereka kelak.
Anak sebagai generasi penerus bangsa harus memiliki keterampilan meregulasi emosi yang baik karena dari hal krusial ini akan memberi dampak yang besar pada aspek kehidupan lainnya.
"Memang masih sedikit yang peduli, bahkan mungkin jarang. Tetapi saya sebagai anak rantau yang sudah diberi kepercayaan untuk berada di kota ini, akan terus berkomitmen dan konsisten untuk peduli terhadap mereka," kata Tabitha.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022