Ucapan bela sungkawa datang dari berbagai lapisan masyarakat atas tragedi yang terjadi di Stadion, Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pascapertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10) malam.
Ucapan bela sungkawa yang dibalut dengan karangan bunga, spanduk serta pita hitam terkumpul di beberapa titik lokasi di areal stadion berkapasitas 42.444 tempat duduk itu.
Tiga hari pascakejadian, karangan bunga masih berdatangan di stadion yang diresmikan pada tanggal 9 Juni 2004 itu, tanpa ada yang membersihkan. Sepertinya hanya angin yang membawa beberapa bunga itu terbang berpindah dari tempat asalnya.
Karangan bunga itu tidak hanya datang dari wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), melainkan dari berbagai kota, seperti Surabaya, Probolinggo serta Pasuruan.
Karangan bunga yang menghiasi stadion di Kecamatan Kepanjen itu bertujuan satu, yakni menunjukkan empati kemanusiaan. Bahkan, karangan bunga dari Bonek Mania (suporter Persebaya) yang sejak lama menjadi rival Aremania (sebutan pendukung Arema), pun tampak terlihat menghiasi patung singa yang terletak di depan Stadion Kanjuruhan.
Bunga-bunga ucapan belasungkawa yang berjejer dari berbagai kalangan dan pendukung sepak bola itu bagaikan harmoni yang menghiasi Bumi Kanjuruhan. Sepak bola, dengan pendukungnya yang terbelah karena fanatik buta, menyatu dalam untaian bunga empati atas matinya seratusan lebih pendukung klub Arema.
Melihat sejarah ke belakang, rivalitas pendukung tim Arema yang berjuluk "Singo Edan" dengan "Bajul Ijo" untuk Persebaya, seakan tidak pernah habis. Bahkan, suporter kedua belah pihak menyebutnya sebagai "rivalitas tanpa batas".
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi V perihal rivalitas, diartikan sebagai pertentangan, permusuhan, persaingan dan rasa yang menimbulkan perkelahian.
Rivalitas berbalut sportivitas tentunya masih bisa ditoleransi, karena di dalam sportivitas ada aturan jelas untuk menjaga profesionalitas. karena itu, menang dan kalah harus dipandang sebagai hal biasa dalam suatu pertandingan.
Namun, rivalitas buta tanpa bingkai sportivitas justru akan berbahaya, sehingga menimbulkan fanatik sempit terhadap sebuah hal.
Kita semua berharap, Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang ini, menjadi pelajaran besar dan berharga, khususnya bagi mereka yang masuk dan ada dalam lingkaran rivalitas. Mereka perlu belajar bahwa ada hal yang lebih utama dari rivalitas itu sendiri, yakni kemanusiaan. Kemanusiaan harus memayungi segalanya agar harmoni selalu hadir dalam kehidupan, termasuk dalam pertandingan sepak bola.
Silaturahim
Dalam sebuah pertemuan dengan salah satu tokoh masyarakat yang biasa digelari sebagai budayawan, yakni Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), menyebut penyatuan sebuah perbedaan itu sama halnya dengan silaturahim.
Di setiap upaya silaturahim akan memunculkan keilmuan atau sesuatu yang baru. Sebut saja kata "sambal" yang terbentuk dari unsur "silaturahim" antara cabai, garam, tomat dan berbagai komponen lainnya.
Kata sambal itu sebelumnya tidak ada atau bahkan tidak dikenal, karena masing-masing unsur berdiri sendiri, seperti cabai, garam dan tomat.
Mengacu hal itu, peristiwa yang menggoreskan rasa pedih kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan ini bisa dijadikan pijakan untuk meleburkan kata rivalitas melalui metode silaturahim, sehingga akan memunculkan keilmuan baru dan menambah wawasan serta khasanah baru dalam dunia sepak bola.
Sama halnya dengan istilah harmoni yang dalam KBBI versi V digital diartikan sebagai pernyataan rasa, aksi, gagasan, minat serta keselarasan. Dalam bahasa Yunani, harmoni adalah harmonia yang artinya terikat dan bersangkut paut.
Kata itu, juga muncul dari penggabungan nada yang berbeda dan menjadi satu sentuhan musik yang enak didengar. Tragedi Kanjuruhan, diharapkan demikian, mampu menjadikan perbedaan sebagai keindahan melalui silaturahim dan harmoni.
Kerusuhan
Sementara itu, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi pascapertandingan sepak bola antara tuan rumah Arema FC yang kalah melawan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3.
Kerusuhan berawal saat suporter Arema FC yang diduga kecewa dengan kekalahan timnya dan kemudian melampiaskan emosi dengan turun ke lapangan mengejar pemain serta ofisial, sehingga polisi berupaya menghalau. Setidaknya versi ini yang tersaji, khususnya lewat statemen aparat kepolisian.
Penonton yang panik berlari ke pintu keluar, sehingga terjadi penumpukan. Akibatnya, banyak penonton yang jatuh dan kemudian terinjak-injak, terhimpit dan mengalami sesak nafas.
Kerusuhan semakin membesar, karena sejumlah flare dilemparkan ke lapangan, termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut.
Petugas kemudian melakukan upaya pencegahan dengan melakukan pengalihan agar para suporter tersebut tidak masuk ke dalam lapangan dan mengejar pemain. Dalam prosesnya, akhirnya petugas menembakkan gas air mata.
Catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang terkini, korban jiwa akibat kejadian itu bertambah enam orang, yakni dari 125 orang menjadi 131 orang.
Tambahan korban meninggal dunia tersebut bukan dari pasien yang selama ini menjalani perawatan di rumah sakit, namun korban yang pada saat terjadi tragedi langsung dibawa pulang ke rumah masing-masing oleh keluarganya, sebelum dilakukan pendataan.
Kita berharap, semua insan sepak bola, khususnya para suporter, betul-betul menimba pelajaran berharga dari Tragedi Kanjuruhan, untuk menempatkan harmoni dan rasa kemanusiaan di atas segalanya. Kemenangan tim yang didukung bukanlah segala-galanya dalam suatu pertandingan. Permainan tim yang bagus dan sikap suporter yang elegan adalah suguhan pertandingan yang indah.
Pendukung Arema dan Persebaya bersumber dari akar budaya yang sama, yakni "Budaya Arek". Apalagi keduanya juga terikat dalam satu bingkai geografi pemerintahan, yakni dalam satu provinsi, Jawa Timur. Diksi "musuh bebuyutan" antara Arema dengan Persebaya atau tim-tim lain di negeri ini, kita ganti dengan slogan baru "Seduluran sak lawase" (persaudaraan selamanya).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tragedi Kanjuruhan; dari "musuh berbuyutan" ke "seduluran selawase"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Ucapan bela sungkawa yang dibalut dengan karangan bunga, spanduk serta pita hitam terkumpul di beberapa titik lokasi di areal stadion berkapasitas 42.444 tempat duduk itu.
Tiga hari pascakejadian, karangan bunga masih berdatangan di stadion yang diresmikan pada tanggal 9 Juni 2004 itu, tanpa ada yang membersihkan. Sepertinya hanya angin yang membawa beberapa bunga itu terbang berpindah dari tempat asalnya.
Karangan bunga itu tidak hanya datang dari wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), melainkan dari berbagai kota, seperti Surabaya, Probolinggo serta Pasuruan.
Karangan bunga yang menghiasi stadion di Kecamatan Kepanjen itu bertujuan satu, yakni menunjukkan empati kemanusiaan. Bahkan, karangan bunga dari Bonek Mania (suporter Persebaya) yang sejak lama menjadi rival Aremania (sebutan pendukung Arema), pun tampak terlihat menghiasi patung singa yang terletak di depan Stadion Kanjuruhan.
Bunga-bunga ucapan belasungkawa yang berjejer dari berbagai kalangan dan pendukung sepak bola itu bagaikan harmoni yang menghiasi Bumi Kanjuruhan. Sepak bola, dengan pendukungnya yang terbelah karena fanatik buta, menyatu dalam untaian bunga empati atas matinya seratusan lebih pendukung klub Arema.
Melihat sejarah ke belakang, rivalitas pendukung tim Arema yang berjuluk "Singo Edan" dengan "Bajul Ijo" untuk Persebaya, seakan tidak pernah habis. Bahkan, suporter kedua belah pihak menyebutnya sebagai "rivalitas tanpa batas".
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi V perihal rivalitas, diartikan sebagai pertentangan, permusuhan, persaingan dan rasa yang menimbulkan perkelahian.
Rivalitas berbalut sportivitas tentunya masih bisa ditoleransi, karena di dalam sportivitas ada aturan jelas untuk menjaga profesionalitas. karena itu, menang dan kalah harus dipandang sebagai hal biasa dalam suatu pertandingan.
Namun, rivalitas buta tanpa bingkai sportivitas justru akan berbahaya, sehingga menimbulkan fanatik sempit terhadap sebuah hal.
Kita semua berharap, Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang ini, menjadi pelajaran besar dan berharga, khususnya bagi mereka yang masuk dan ada dalam lingkaran rivalitas. Mereka perlu belajar bahwa ada hal yang lebih utama dari rivalitas itu sendiri, yakni kemanusiaan. Kemanusiaan harus memayungi segalanya agar harmoni selalu hadir dalam kehidupan, termasuk dalam pertandingan sepak bola.
Silaturahim
Dalam sebuah pertemuan dengan salah satu tokoh masyarakat yang biasa digelari sebagai budayawan, yakni Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), menyebut penyatuan sebuah perbedaan itu sama halnya dengan silaturahim.
Di setiap upaya silaturahim akan memunculkan keilmuan atau sesuatu yang baru. Sebut saja kata "sambal" yang terbentuk dari unsur "silaturahim" antara cabai, garam, tomat dan berbagai komponen lainnya.
Kata sambal itu sebelumnya tidak ada atau bahkan tidak dikenal, karena masing-masing unsur berdiri sendiri, seperti cabai, garam dan tomat.
Mengacu hal itu, peristiwa yang menggoreskan rasa pedih kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan ini bisa dijadikan pijakan untuk meleburkan kata rivalitas melalui metode silaturahim, sehingga akan memunculkan keilmuan baru dan menambah wawasan serta khasanah baru dalam dunia sepak bola.
Sama halnya dengan istilah harmoni yang dalam KBBI versi V digital diartikan sebagai pernyataan rasa, aksi, gagasan, minat serta keselarasan. Dalam bahasa Yunani, harmoni adalah harmonia yang artinya terikat dan bersangkut paut.
Kata itu, juga muncul dari penggabungan nada yang berbeda dan menjadi satu sentuhan musik yang enak didengar. Tragedi Kanjuruhan, diharapkan demikian, mampu menjadikan perbedaan sebagai keindahan melalui silaturahim dan harmoni.
Kerusuhan
Sementara itu, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi pascapertandingan sepak bola antara tuan rumah Arema FC yang kalah melawan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3.
Kerusuhan berawal saat suporter Arema FC yang diduga kecewa dengan kekalahan timnya dan kemudian melampiaskan emosi dengan turun ke lapangan mengejar pemain serta ofisial, sehingga polisi berupaya menghalau. Setidaknya versi ini yang tersaji, khususnya lewat statemen aparat kepolisian.
Penonton yang panik berlari ke pintu keluar, sehingga terjadi penumpukan. Akibatnya, banyak penonton yang jatuh dan kemudian terinjak-injak, terhimpit dan mengalami sesak nafas.
Kerusuhan semakin membesar, karena sejumlah flare dilemparkan ke lapangan, termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut.
Petugas kemudian melakukan upaya pencegahan dengan melakukan pengalihan agar para suporter tersebut tidak masuk ke dalam lapangan dan mengejar pemain. Dalam prosesnya, akhirnya petugas menembakkan gas air mata.
Catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang terkini, korban jiwa akibat kejadian itu bertambah enam orang, yakni dari 125 orang menjadi 131 orang.
Tambahan korban meninggal dunia tersebut bukan dari pasien yang selama ini menjalani perawatan di rumah sakit, namun korban yang pada saat terjadi tragedi langsung dibawa pulang ke rumah masing-masing oleh keluarganya, sebelum dilakukan pendataan.
Kita berharap, semua insan sepak bola, khususnya para suporter, betul-betul menimba pelajaran berharga dari Tragedi Kanjuruhan, untuk menempatkan harmoni dan rasa kemanusiaan di atas segalanya. Kemenangan tim yang didukung bukanlah segala-galanya dalam suatu pertandingan. Permainan tim yang bagus dan sikap suporter yang elegan adalah suguhan pertandingan yang indah.
Pendukung Arema dan Persebaya bersumber dari akar budaya yang sama, yakni "Budaya Arek". Apalagi keduanya juga terikat dalam satu bingkai geografi pemerintahan, yakni dalam satu provinsi, Jawa Timur. Diksi "musuh bebuyutan" antara Arema dengan Persebaya atau tim-tim lain di negeri ini, kita ganti dengan slogan baru "Seduluran sak lawase" (persaudaraan selamanya).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tragedi Kanjuruhan; dari "musuh berbuyutan" ke "seduluran selawase"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022