Majelis Sastra Urban siap menampilkan puisi-puisi karya Mahmoud Darwish yang sarat propaganda menggelorakan perjuangan demi kemerdekaan bangsa Palestina. 

Koordinator Majelis Sastra Urban Ribut Wijoto menjadwalkan kegiatan bertema "Mahmoud Darwish dan Tradisi Puisi Kita" itu berlangsung Sabtu malam, 25 Juni besok, di pelataran Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali Surabaya.

"Ini merupakan perhelatan Majelis Sastra Urban yang ke- 15, sekaligus yang perdana setelah sempat terhenti selama pandemi virus corona atau COVID-19," katanya saat dikonfirmasi di Surabaya, Jumat. 

Brah Muhammad, penerjemah buku puisi "Surat dari Penjara" karya Mahmoud Darwish, dihadirkan sebagai narasumber. 

Selain itu juga mengundang narasumber Fahruddin Al-Mustofa, kritikus sastra lulusan Université Hassan II Casablanca, Maroko. Jalannya diskusi akan dipandu oleh penyair wanita asal Surabaya Nanda A Rahmah. 

Menurut Ribut, puisi-puisi karya Mahmoud Darwish layak untuk dibahas karena mengandung dua aspek penting. 

Pertama dari aspek puitik, puisi Mahmoud Darwish yang lahir di Palestina telah memberi kontribusi terhadap tradisi sastra Arab modern. 

Kedua dari aspek ketajaman pandangan atas tema, Mahmoud Darwish secara konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Perjuangan yang membuat dia terusir dari negerinya (eksil) sampai ajal menjemput.

"Saya membaca buku puisi Mahmoud Darwish 'Surat dari Penjara' terjemahan Brah Muhammad. Saya rasakan puisi-puisinya memiliki gelora untuk memperjuangkan sesuatu. Suara dari suatu wilayah, suara dari suatu kultur, suara dari suatu kaum, suara dari gejolak sosial politik. Juga suara dari kesepian, senyap, dan impian-impian personal," ujarnya. 

Menurut Ribut, puisi-puisi Mahmoud Darwis mengandung ideologis atau propaganda tapi tetap hadir sebagai sebuah puisi.

Anggota Tim Kreatif Majelis Sastra Urban Alfian Bahri menambahkan, Mahmoud Darwish telah menerapkan perlawanan melalui puisi. Sebuah perlawanan yang dimulai dari perenungan dan kesedihan. 

Selain itu mempunyai kekuatan dasar yang kuat dengan ungkapan berapi-api tanpa melawan menggunakan fisik. 

"Darwish tidak hanya mengajak pembaca melakukan perlawanan tetapi juga untuk dengan bijak menyalurkan perlawanan lewat perenungan, penyesalan, hasrat perjuangan, dan kekalahan," katanya. 

Menurut Alfian, propaganda dalam puisi-puisi Mahmoud Darwish berbeda dengan konsep perlawanan yang selama ini dikenal dalam perspektif umum. 

"Cara pandang Darwish justru lebih mengedepankan keintiman dan keontetikan yang mendasar," kata guru di SMP Kawung 1 Surabaya ini. 

Rencananya, di sela diskusi, Majelis Sastra Urban juga menampilkan beragam pertunjukan seni. Mulai dari pembacaan puisi oleh Regina Jawa dari Teater Gapus Universitas Airlangga (Unair) dan Nanang Prastyawan dari Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya. 

Selain itu musikalisasi puisi dari Teater KU Universitas Dr Soetomo (Unitomo) , monolog berjudul Buram Bahagia oleh Cece Fransiska Putri dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, serta pertunjukan musik oleh musisi Arul Lamandau.

Pewarta: Hanif Nasrullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022