Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo menggagas kebijakannya untuk mengembalikan identitas Indonesia sebagai bangsa maritim dengan meletakkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tujuan pencanangan kebijakan tersebut selain mengembalikan marwah identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang besar, kuat dan makmur berdasarkan sejarah dulunya, juga sebagai pengaman kepentingan dan keamanan maritim, serta memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia.

Dalam kebijakannya tersebut pemerintahan Presiden Joko Widodo mengkampanyekan Indonesia poros maritim dunia sebagai kebijakan pemerintahan, dengan menjadikan sektor maritim sebagai pendulum, panduan, atau penentu, sekaligus tujuan pembangunan kabinet kerjanya.

Hal ini dapat dikatakan, pencapaian sembilan agenda kerja pemerintahannya (Nawacita) terkait dengan implementasi pentingnya sektor maritim bagi RI, untuk mencapai tujuan negara, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Artinya Nawacita atau 9 (sembilan) program yang menjadi tujuan Pemerintahan Joko Widodo, terutama, tujuan pertama dan ketiga, yakni, ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas-aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim” dan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Kemudian dari Nawacita, para menteri kabinet Joko Widodo menurunkan berbagai kebijakan pemerintah dalam program-program aksi di tingkat yang lebih rendah dan realistis.

Salah satu kebijakan dan program aksi sektor maritim yang lebih jelas tampak pada apa yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) saat itu, Susi Pudjiastuti, dengan jajaran kementeriannya. Langkahnya kemudian diikuti oleh pemangku kepentingan lainnya di pemerintahan, terutama TNI AL.

Selanjutnya pada konsep Poros Maritim Dunia dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Indonesia sebagai poros maritim dunia ditopang dengan lima pilar utama yaitu: pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim; keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan; dan kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim

Sementara itu, alasan Indonesia dengan poros maritim dunia karena memiliki posisi strategis yang terletak di antara persilangan samudra Hindia dan samudra Pasifik secara otomatis memberikan banyak potensi sumber daya  ekonomi laut yang bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk masa depan bangsa dan tulang punggung pembangunan nasional.

Namun, pemanfaatan potensi sumber daya laut secara optimal haruslah diarahkan pada pendayagunaan sumber daya alam atau ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestarian-nya guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Secara geopolitik internasional, posisi Indonesia yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat vital dalam perdagangan internasional karena dilalui oleh ribuan kapal asing yang melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan selat-selat penting, di satu sisi menunjukkan strategisnya posisi geografis tersebut, namun di sisi lain dapat menimbulkan kerawanan khususnya dari aspek pertahanan dan keamanan kemaritiman.

Kebangkitan Industri Perkapalan Nasional

Dengan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia, saat ini pemerintah memiliki komitmen kuat dalam mengembangkan industri perkapalan yang tentunya memberikan keuntungan bagi para pelaku dan pekerja di sektor industri.

Apalagi setelah Presiden Joko Widodo menargetkan untuk mengoptimalkan transportasi laut, juga mewajibkan BUMN dan instansi lain di bidang kemaritiman untuk membeli kapal dari galangan kapal dalam negeri.

Kebijakan tersebut membuka optimisme terutama bagi para pengusaha galangan dan pekerjanya. Dimana kebijakan tersebut menegaskan bahwa saat ini merupakan era terbaik terbaik bagi industri perkapalan nasional Indonesia.

Artinya pemerintah bukan hanya berwacana memberikan keberpihakan tetapi lebih dari itu, untuk memberikan prioritas kepada industri maritim dalam negeri, bahkan Presiden mengambil Langkah konkret dengan mewajibkan pembelian kapal dari domestik.

Sebagai industri strategis, perkapalan berperan vital dalam mendukung konektivitas antar wilayah di Indonesia melalui optimalisasi transportasi laut.

Untuk itu, industri perkapalan harus mampu menopang dan mendukung pengembangan armada kapal nasional baik melalui pembangunan kapal baru maupun jasa reparasi atau pemeliharaan dan perbaikan kapal.

Salah satu galangan kapal yang merupakan badan usaha milik negara yaitu PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Perusahaan ini memiliki dua unit produksi yaitu unit galangan Makassar dan Bitung, Sulawesi Utara.

Galangan Makassar mampu melayani reparasi kapal barang berukuran sampai dengan 6.500 DWT dan tongkang 100 meter x 26 meter. Sementara, Galangan Bitung dengan kemampuan dan fasilitas produksi slipway dengan kapasitas mencapai 1.500 DWT.

Sejauh ini, IKI juga telah membangun beberapa kapal besar seperti KM. Makassar yang merupakan kapal full container 4.180 DWT, Feri Ro-Ro (600 GT), Kapal Perintis yang melayani angkutan barang dan penumpang (750 DWT).

Lokasi dua unit galangan IKI juga strategis, dimana Galangan di Makassar sebagai poros lalu lintas komoditas, logistik dan penumpang Indonesia Barat–-Timur dan Galangan di Bitung yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik.

Menurut pandangan Menteri Perindustrian, Industri perkapalan sangat berkontribusi dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Di mana, industri ini memiliki beberapa karakter khusus antara lain yaitu padat karya, padat modal, padat teknologi serta proses produksi yang komplek dan simultan berdasarkan pesanan, struktur organisasi jaringan dengan mengandalkan outsourcing atau alih daya untuk penyediaan komponen dan tenaga kerja, serta aktivitas utamanya adalah pembangunan kapal baru dan reparasi.

Dari karakter-karakter tersebut, dapat disimpulkan bahwa stakeholder atau pemangku kepentingan industri perkapalan terdiri dari berbagai pihak, di antaranya industri pelayaran, industri komponen, pemerintah, biro klasifikasi, perbankan dan asuransi.

Sejak diterapkan-nya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang azas cabotage, terjadi peningkatan jumlah armada kapal berbendera Indonesia dari 6.041 unit pada Juni 2005 menjadi 32.587 pada 2019.

Peningkatan jumlah armada kapal nasional tersebut berdampak pada peningkatan utilisasi fasilitas reparasi kapal.

Saat ini jumlah galangan kapal di Indonesia mencapai 250 perusahaan, terdapat lima perusahaan berstatus BUMN. Selanjutnya, galangan kapal nasional tersebut saat ini telah mampu membangun berbagai jenis dan ukuran kapal sampai dengan 50.000 DWT dan mereparasi kapal sampai dengan kapasitas 150.000 DWT.

Namun demikian, dari 250 galangan kapal nasional, hanya sekitar 10 perusahaan yang memiliki kapasitas produksi di atas 10.000 DWT dengan fasilitas graving dock terbesar yaitu 300.000 DWT yang berlokasi di Batam dan Banten. 

Sesuai dengan roadmap atau peta jalan industri perkapalan yang telah disusun oleh Kementerian Perindustrian pada tahun 2012, diharapkan pada tahun 2025 industri perkapalan nasional ditargetkan akan mampu membangun berbagai jenis kapal sampai dengan ukuran 200.000 DWT dan didukung dengan industri komponen kapal yang tangguh dan berdaya saing tinggi.

Strategi yang dilakukan Kementerian Perindustrian dalam mencapai peta jalan tersebut, antara lain dengan peningkatan daya saing industri perkapalan nasional, melalui pemberian insentif fiskal, peningkatan kemampuan desain dan rekayasa kapal melalui pemberdayaan Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN).

Lalu, penguatan struktur industri perkapalan melalui program bimbingan teknis dan sertifikasi untuk industri komponen kapal, pengembangan kemampuan SDM perkapalan melalui pelatihan dan sertifikasi serta peningkatan kapasitas produksi melalui pengembangan kawasan khusus industri maritim.

Kalangan industri galangan kapal di Indonesia telah memberikan apresiasi yang positif terhadap komitmen pemerintah untuk mendorong penggunaan kapal produksi dalam negeri.

Industri kapal dalam negeri telah mampu memproduksi berbagai jenis kapal mulai dari kapal penumpang, kapal tanker, kapal kargo, Ro-ro sampai jenis kapal perang bahkan kapal selam sendiri dengan mekanisme alih teknologi dari negara partner pertahanan.

Kapal perang produksi dalam negeri

Sebagai institusi pertahanan negara, TNI AL memberikan prioritas perhatian pada pembangunan kekuatan dan kemampuan Alutsista baik secara kualitas maupun kuantitas. Pembangunan dan pengadaan Alutsista sangat terkait dengan perangkat teknologi canggih yang tidak mudah untuk diproduksi, dibeli dan dioperasikan serta biaya yang tidak murah.

Sebagai produk yang sarat dengan teknologi tinggi tentunya proses pengadaan-nya sangat memiliki kompleksitas dan kendala baik faktor eksternal dan internal.

Upaya pengadaan Alutsista bukanlah hal baru dalam memperkuat kemampuan gelar kekuatan TNI AL. Penggunaan Alutsista produksi dalam negeri merupakan langkah strategis yang mampu meningkatkan kemampuan operasional TNI.

Hal tersebut tentunya sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam Indonesia sebagai poros maritim dunia yang muaranya pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui industri perkapalan dalam negeri.

Sebagai implementasi dari upaya tersebut, TNI AL dan industri strategis pertahanan nasional telah menjalin kerja sama pertahanan dengan negara-negara industri maju untuk memproduksi Alutsista di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu proses dari alih teknologi atau transfer of technology (ToT).

Sebagai langkah awal dalam membangun kemandirian Alutsista, TNI AL bersama PT PAL Indonesia bekerja sama Lurssen Werf, Jerman, dengan kerangka alih teknologi dalam memproduksi kapal perang jenis FPB-57 dengan lima varian mulai dari Nav I hingga Nav V.

Selanjutnya dengan galangan kapal Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME), Korea Selatan berhasil membangun kapal perang jenis LPD yang diproduksi PT PAL Indonesia diantaranya KRI Banjarmasin-592 dan KRI Banda Aceh-593, bahkan PT PAL Indonesia berhasil membangun 2 unit kapal LPD jenis Special Sealift Vessel (SSV) yang merupakan pesanan negara Filipina.

Lebih lanjut PT PAL Indonesia juga bekerja sama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS), Belanda dalam membangun 2 kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) jenis 10514 yaitu KRI RE Martadinata-331 dan KRI I Gusti Ngurah Rai-332, lalu yang paling akhir PT PAL Indonesia berhasil merampungkan pembangunan Kapal Selam Diesel Elektrik (KSDE) U209/1400 yang merupakan hasil kerja sama dan alih teknologi dengan DSME, Korea Selatan.

Dengan keberhasilan pembangunan kapal selam dalam negeri tersebut, menjadikan PT PAL Indonesia sebagai satu-satunya galangan dalam negeri di Asia Tenggara yang mampu membangun kapal selam sendiri. 

Dalam pembangunan kemandirian Alutsista, untuk mendorong revitalisasi industri pertahanan dalam negeri baik swasta maupun BUMN sesuai dengan kebijakan pemerintah guna menunjang kebangkitan industri dalam negeri khususnya bidang industri pertahanan, TNI AL secara berkelanjutan turut berkontribusi dalam merancang Alutsista kapal-kapal jenis patroli, kapal bantu dan Landing Ship Tank (LST) oleh produksi dalam negeri putra bangsa Indonesia.

Beberapa unsur kekuatan TNI AL yang ada saat ini telah diperkuat dengan kapal-kapal produksi BUMN seperti PT PAL, PT. Industri Kapal Indonesia (IKI), PT. Kodja Bahari, serta beberapa galangan kapal BUMS seperti PT Palindo Marine, PT Citra Shipyard, PT Batamec Shipyard, PT Daya Radar Utama, PT Caputra Mitra Sejati dan PT Lundin berhasil membangun beberapa Alutsista.

Kapal produksi dalam negeri tersebut di antaranya kapal perang jenis patroli cepat rudal (KCR) di antaranya KRI kelas Clurit-641 produksi PT Palindo Marine dan telah dilengkapi dengan persenjataan rudal permukaan ke permukaan serta kapal patroli kelas KRI Sembilang-850.

Sedangkan, PT Citra Shipyard Batam memproduksi kapal patroli kelas KRI Sidat-851, PT PAL Indonesia juga telah memproduksi kapal cepat rudal kelas KRI Sampari-628 yang saat ini sudah terdapat enam unit.

PT Kodja Bahari juga berhasil memproduksi kapal perang jenis BCM KRI Tarakan-905, bersamaan dengan itu PT Batamec Shipyard berhasil pula memproduksi kapal perang jenis BCM pula kelas KRI Bontang-907.

Selain itu, juga terdapat PT Daya Radar Utama yang berhasil memproduksi jenis LST KRI Teluk Bintuni- 520 serta empat unit lainnya, serta PT Caputra Mitra Sejati yang berhasil memproduksi kapal patroli jenis KRI Posepa-870.

Serta yang baru-baru ini diresmikan adalah kapal perang jenis trimaran KRI Golok-688 buatan PT Lundin Banyuwangi yang dipopulerkan sebagai modern warship karena menerapkan teknologi futuristik desain, carbon fiber hull dan low radar visibility. 

Sejalan dengan penambahan kekuatan unsur kapal perang TNI AL di masa mendatang, diharapkan industri maritim nasional bidang pertahanan mampu membangun Alutsista sesuai dengan kebutuhan TNI AL dengan didukung perangkat teknologi yang mutakhir.

Dengan demikian maka ketergantungan pada produk luar negeri dapat diminimalkan serta mampu bersinergi dengan upaya pemerintah dalam memajukan industri perkapalan khususnya di bidang industri pertahanan.


*)  Darmawan Wijaksono, Mahasiswa Magister Administrasi Publik  Universitas Hang Tuah Surabaya.

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022