"Semua tangan di atas!" teriak sejumlah petugas kepolisian berpakaian preman kala menggerebek ruangan berisi puluhan pekerja di sebuah gedung berlantai tiga di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Belasan pekerja di dalamnya adalah muda-mudi yang masing-masing mengenakan pakaian batik.
Mendengar perintah aparat, mereka langsung mengangkat tangan sembari menghadap layar komputer yang masih menyala. Selain masih muda, tidak ada tampang kriminal yang melekat.
Merekalah para pekerja di balik layanan pinjaman online (pinjol) ilegal yang acap kali meluncurkan kalimat tak manusiawi kala menagih nasabah pinjol yang menunggak membayar utang.
Pada salah satu layar komputer karyawan yang masih menyala, tampak kalimat bernada ancaman yang hendak dikirimkan kepada pihak peminjam. Ringkasnya, jika utang tidak segera dilunasi, foto serta data pribadi peminjam hendak diviralkan di media sosial dengan dilabeli sebagai "Si Raja Utang".
Demikian tangkapan visual dari video dokumentasi penggerebekan kantor pinjol ilegal oleh tim gabungan Polda Jabar dan Polda DIY di Jalan Prof. Herman Yohanes, Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman, Kamis (14/10) malam.
Sebanyak 86 orang diamankan. Mereka yang berposisi sebagai operator atau debt collector, HRD, dan manajer kemudian dibawa ke Polda Jabar pada Jumat (15/10) dini hari bersama sejumlah barang bukti untuk menjalani pemeriksaan.
Dari 86 orang yang diperiksa, sebanyak 79 dipulangkan ke Yogyakarta. Sisanya, tujuh orang yang berperan mulai dari asisten manajer, pemimpin tim, HRD, dan beberapa debt collector masih menjalani pemeriksaan.
Pada hari Sabtu (16/10) Ditreskrimsus Polda Jawa Barat kemudian menetapkan seorang tersangka dari kasus pinjol ilegal yang terungkap beroperasi di Yogyakarta itu.
Dalam kasus ini, polisi menerapkan Pasal 48 juncto Pasal 32 ayat (2) dan/atau Pasal 45 jo. Pasal 29 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dan/atau Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tak hanya di Yogyakarta, aparat kepolisian juga melakukan hal serupa di sejumlah wilayah, seperti Tangerang, Banten, Jakarta Utara, hingga Jakarta Barat.
Penggerebekan dalam waktu hampir bersamaan itu berlangsung setelah Presiden Joko Widodo menyoroti pinjol ilegal yang dinilai makin meresahkan masyarakat di tengah situasi pandemi COVID-19.
Dalam OJK Virtual Innovation Day di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/10), Presiden mengaku mendengar keresahan masyarakat lapisan bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi dari perusahaan pinjol. Para peminjam juga ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan utang.
Ucapan Presiden itu selaras dengan laporan yang diterima Ditreskrimsus Polda Jabar. Seorang berinisial TM melapor lantaran mendapatkan teror dari penagih pinjol. Akibat ancaman hingga caci maki yang terus diterima, TM mengalami tekanan dan depresi sampai harus dilarikan ke rumah sakit
Selain itu, di awal Oktober 2021, seorang ibu rumah tangga berinisial WPS (38) di Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri nekat bunuh diri di teras rumahnya. Diduga karena terlilit utang sejumlah pinjaman online sekaligus tak kuat dihujani teror debt collector pinjol.
Muda-mudi di Balik Pinjol Ilegal
Para pekerja pinjol ilegal yang sebagian memiliki peran sebagai penagih atau debt collector rata-rata memiliki usia yang masih terbilang muda.
Mengacu hasil penggerebekan kantor pinjol di Kabupaten Sleman, Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol. Yulianto menyebutkan rata-rata dari puluhan pekerja yang diamankan masih muda.
Para karyawan yang direkrut merupakan warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa lainnya berasal dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan beberapa daerah lain di Indonesia timur.
Mereka mendaftar sebagai penagih berdasarkan lowongan pekerjaan yang ditawarkan perusahaan pinjol ilegal tersebut.
Ada yang sudah bekerja selama 1 bulan dan lainnya baru 2 hari dengan digaji sesuai dengan UMR Yogyakarta mulai Rp2,1 juta dan beberapa lainnya malah belum menerima gaji.
Saat malam penggerebekan kantor pinjol tersebut, Suga Pradana, salah satu teman dari seorang karyawan pinjol ilegal berada di lokasi. Kepada awak media, dia mengaku hendak menjemput temannya yang berinisial RP.
Kepadanya, RP bilang bakal rampung kerja pukul 19.00 WIB. Namun, hingga pukul 21.00 WIB tak kunjung pulang.
Suga tak menyangka perusahaan yang baru sehari menjadi tempat kerja temannya itu adalah penyedia jasa pinjol ilegal. Pasalnya, RP sempat bercerita kepadanya bahwa ia bekerja sebagai call center sebuah perusahaan pembiayaan kredit kendaraan bermotor dan telepon genggam yang legal.
Menurut dia, RP mengaku tak pernah melamar bekerja di perusahaan tersebut. Namun, tiba-tiba mendapat panggilan interviu dari perusahaan itu. Tanpa berpikir panjang pekerjaan itu diambil mengingat RP baru lulus kuliah sehingga menganggap tawaran pekerjaan itu sebagai kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Kepadanya pula, RP sempat bercerita bahwa dalam sehari harus mampu memenuhi target penagihan utang Rp10 juta dari nasabah. Dari perusahaan itu, Suga menyampaikan RP dibekali dua kartu perdana telepon seluler. Salah satunya untuk mengancam nasabah jika menunggak membayar utang.
Sosiolog Kriminalitas dari Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto berharap masyarakat tidak serta-merta memojokkan para pekerja yang direkrut perusahaan pinjol ilegal. Sebagian dari mereka hanyalah korban ketidaktahuan dari proses kerja serta legalitas perusahaan.
Soeprapto pernah mewawancarai tujuh orang debt collector berusia 25 hingga 35 tahun di Yogyakarta untuk penelitian. Dua di antaranya bekerja di perusahaan pinjol.
Berdasarkan penelitian selama 3 tahun terakhir, dia menyimpulkan setidaknya ada tiga faktor yang memicu generasi muda berusia produktif terjebak pekerjaan pinjol ilegal.
Pertama, mereka menganggap bahwa pekerjaan pinjol sekadar sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan utama, terlebih proses seleksi yang tidak rumit. Kedua, enggan melakukan pengecekan aspek legalitas perusahaan saat hendak melamar, dan terakhir adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, khususnya di tengah pandemi COVID-19.
Para pekerja pinjol tak semua merasa nyaman dengan metode penagihan menggunakan kalimat kasar atau ancaman. Meski demikian, mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti proses kerja yang telah "didoktrinkan" oleh pimpinan perusahaan.
Pimpinan perusahaan pinjol ilegal menanamkan pemahaman bahwa penagihan menggunakan kalimat bernada ancaman serta intimidasi tak lain ialah untuk mendisiplinkan atau memberikan efek jera kepada para peminjam yang nunggak cicilan utang.
Cara semacam itu dinilai efektif mengingat penagihan secara online tidak mudah.
Kendati demikian, salah satu karyawan pinjol yang diwawancarai mengaku enggan menuruti kehendak perusahaan dan menempuh cara yang santun. Karyawan itu memilih meminta tolong kepada peminjam dan membeberkan bahwa ia dalam tekanan pimpinan jika sampai gagal menagih.
Penyedia jasa pinjol ilegal terus menjamur seiring tingginya minat masyarakat yang ingin meminjam uang dengan langkah instan.
Banyak masyarakat yang tertarik menggunakan pinjol karena syarat dan ketentuan pinjaman yang mudah disertai iming-iming yang menggiurkan. Cukup dengan KTP dan nomor ponsel pribadi, uang pun bisa cair tanpa melalui proses survei yang panjang.
Selektif Pilih Pekerjaan
Generasi muda diharapkan lebih selektif memilih pekerjaan. Meski lapangan pekerjaan kian menyempit, tak ada alasan untuk tidak kritis terhadap setiap tawaran lowongan pekerjaan.
Menurut Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kerja Disnakertrans DIY Elly Supriyanti, para calon pekerja perlu tahu profil perusahaan pemberi lowongan kerja beserta hak dan kewajiban kerja yang ditawarkan.
Selain aspek legalitas perusahaan, masyarakat juga perlu menelisik lebih jauh perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan pekerjanya. Selain itu, juga perlu dipastikan apakah pengupahan serta jam kerja yang ditawarkan sesuai dengan regulasi atau tidak.
Untuk memastikan legalitas perusahaan, Elly menyarankan pencari kerja langsung menanyakan ke disnakertrans, baik di level provinsi maupun kabupaten. Pasalnya, setiap lowongan pekerjaan dari perusahaan yang legal dipastikan tercatat di instansi tersebut.
Berkaca dari peristiwa itu, fenomena pinjol ilegal seyogianya perlu dilihat dari dua sisi.
Selain perlu diberantas karena merugikan masyarakat dengan bujuk rayu pinjaman yang instan hingga berujung ancaman, di sisi lain para pekerjanya yang tak sedikit merupakan generasi muda usia produktif perlu mendapat edukasi agar tak terjebak di tempat yang sama. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Belasan pekerja di dalamnya adalah muda-mudi yang masing-masing mengenakan pakaian batik.
Mendengar perintah aparat, mereka langsung mengangkat tangan sembari menghadap layar komputer yang masih menyala. Selain masih muda, tidak ada tampang kriminal yang melekat.
Merekalah para pekerja di balik layanan pinjaman online (pinjol) ilegal yang acap kali meluncurkan kalimat tak manusiawi kala menagih nasabah pinjol yang menunggak membayar utang.
Pada salah satu layar komputer karyawan yang masih menyala, tampak kalimat bernada ancaman yang hendak dikirimkan kepada pihak peminjam. Ringkasnya, jika utang tidak segera dilunasi, foto serta data pribadi peminjam hendak diviralkan di media sosial dengan dilabeli sebagai "Si Raja Utang".
Demikian tangkapan visual dari video dokumentasi penggerebekan kantor pinjol ilegal oleh tim gabungan Polda Jabar dan Polda DIY di Jalan Prof. Herman Yohanes, Samirono, Caturtunggal, Depok, Sleman, Kamis (14/10) malam.
Sebanyak 86 orang diamankan. Mereka yang berposisi sebagai operator atau debt collector, HRD, dan manajer kemudian dibawa ke Polda Jabar pada Jumat (15/10) dini hari bersama sejumlah barang bukti untuk menjalani pemeriksaan.
Dari 86 orang yang diperiksa, sebanyak 79 dipulangkan ke Yogyakarta. Sisanya, tujuh orang yang berperan mulai dari asisten manajer, pemimpin tim, HRD, dan beberapa debt collector masih menjalani pemeriksaan.
Pada hari Sabtu (16/10) Ditreskrimsus Polda Jawa Barat kemudian menetapkan seorang tersangka dari kasus pinjol ilegal yang terungkap beroperasi di Yogyakarta itu.
Dalam kasus ini, polisi menerapkan Pasal 48 juncto Pasal 32 ayat (2) dan/atau Pasal 45 jo. Pasal 29 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dan/atau Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tak hanya di Yogyakarta, aparat kepolisian juga melakukan hal serupa di sejumlah wilayah, seperti Tangerang, Banten, Jakarta Utara, hingga Jakarta Barat.
Penggerebekan dalam waktu hampir bersamaan itu berlangsung setelah Presiden Joko Widodo menyoroti pinjol ilegal yang dinilai makin meresahkan masyarakat di tengah situasi pandemi COVID-19.
Dalam OJK Virtual Innovation Day di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/10), Presiden mengaku mendengar keresahan masyarakat lapisan bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi dari perusahaan pinjol. Para peminjam juga ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan utang.
Ucapan Presiden itu selaras dengan laporan yang diterima Ditreskrimsus Polda Jabar. Seorang berinisial TM melapor lantaran mendapatkan teror dari penagih pinjol. Akibat ancaman hingga caci maki yang terus diterima, TM mengalami tekanan dan depresi sampai harus dilarikan ke rumah sakit
Selain itu, di awal Oktober 2021, seorang ibu rumah tangga berinisial WPS (38) di Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri nekat bunuh diri di teras rumahnya. Diduga karena terlilit utang sejumlah pinjaman online sekaligus tak kuat dihujani teror debt collector pinjol.
Muda-mudi di Balik Pinjol Ilegal
Para pekerja pinjol ilegal yang sebagian memiliki peran sebagai penagih atau debt collector rata-rata memiliki usia yang masih terbilang muda.
Mengacu hasil penggerebekan kantor pinjol di Kabupaten Sleman, Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol. Yulianto menyebutkan rata-rata dari puluhan pekerja yang diamankan masih muda.
Para karyawan yang direkrut merupakan warga Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa lainnya berasal dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan beberapa daerah lain di Indonesia timur.
Mereka mendaftar sebagai penagih berdasarkan lowongan pekerjaan yang ditawarkan perusahaan pinjol ilegal tersebut.
Ada yang sudah bekerja selama 1 bulan dan lainnya baru 2 hari dengan digaji sesuai dengan UMR Yogyakarta mulai Rp2,1 juta dan beberapa lainnya malah belum menerima gaji.
Saat malam penggerebekan kantor pinjol tersebut, Suga Pradana, salah satu teman dari seorang karyawan pinjol ilegal berada di lokasi. Kepada awak media, dia mengaku hendak menjemput temannya yang berinisial RP.
Kepadanya, RP bilang bakal rampung kerja pukul 19.00 WIB. Namun, hingga pukul 21.00 WIB tak kunjung pulang.
Suga tak menyangka perusahaan yang baru sehari menjadi tempat kerja temannya itu adalah penyedia jasa pinjol ilegal. Pasalnya, RP sempat bercerita kepadanya bahwa ia bekerja sebagai call center sebuah perusahaan pembiayaan kredit kendaraan bermotor dan telepon genggam yang legal.
Menurut dia, RP mengaku tak pernah melamar bekerja di perusahaan tersebut. Namun, tiba-tiba mendapat panggilan interviu dari perusahaan itu. Tanpa berpikir panjang pekerjaan itu diambil mengingat RP baru lulus kuliah sehingga menganggap tawaran pekerjaan itu sebagai kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Kepadanya pula, RP sempat bercerita bahwa dalam sehari harus mampu memenuhi target penagihan utang Rp10 juta dari nasabah. Dari perusahaan itu, Suga menyampaikan RP dibekali dua kartu perdana telepon seluler. Salah satunya untuk mengancam nasabah jika menunggak membayar utang.
Sosiolog Kriminalitas dari Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto berharap masyarakat tidak serta-merta memojokkan para pekerja yang direkrut perusahaan pinjol ilegal. Sebagian dari mereka hanyalah korban ketidaktahuan dari proses kerja serta legalitas perusahaan.
Soeprapto pernah mewawancarai tujuh orang debt collector berusia 25 hingga 35 tahun di Yogyakarta untuk penelitian. Dua di antaranya bekerja di perusahaan pinjol.
Berdasarkan penelitian selama 3 tahun terakhir, dia menyimpulkan setidaknya ada tiga faktor yang memicu generasi muda berusia produktif terjebak pekerjaan pinjol ilegal.
Pertama, mereka menganggap bahwa pekerjaan pinjol sekadar sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan utama, terlebih proses seleksi yang tidak rumit. Kedua, enggan melakukan pengecekan aspek legalitas perusahaan saat hendak melamar, dan terakhir adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, khususnya di tengah pandemi COVID-19.
Para pekerja pinjol tak semua merasa nyaman dengan metode penagihan menggunakan kalimat kasar atau ancaman. Meski demikian, mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti proses kerja yang telah "didoktrinkan" oleh pimpinan perusahaan.
Pimpinan perusahaan pinjol ilegal menanamkan pemahaman bahwa penagihan menggunakan kalimat bernada ancaman serta intimidasi tak lain ialah untuk mendisiplinkan atau memberikan efek jera kepada para peminjam yang nunggak cicilan utang.
Cara semacam itu dinilai efektif mengingat penagihan secara online tidak mudah.
Kendati demikian, salah satu karyawan pinjol yang diwawancarai mengaku enggan menuruti kehendak perusahaan dan menempuh cara yang santun. Karyawan itu memilih meminta tolong kepada peminjam dan membeberkan bahwa ia dalam tekanan pimpinan jika sampai gagal menagih.
Penyedia jasa pinjol ilegal terus menjamur seiring tingginya minat masyarakat yang ingin meminjam uang dengan langkah instan.
Banyak masyarakat yang tertarik menggunakan pinjol karena syarat dan ketentuan pinjaman yang mudah disertai iming-iming yang menggiurkan. Cukup dengan KTP dan nomor ponsel pribadi, uang pun bisa cair tanpa melalui proses survei yang panjang.
Selektif Pilih Pekerjaan
Generasi muda diharapkan lebih selektif memilih pekerjaan. Meski lapangan pekerjaan kian menyempit, tak ada alasan untuk tidak kritis terhadap setiap tawaran lowongan pekerjaan.
Menurut Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kerja Disnakertrans DIY Elly Supriyanti, para calon pekerja perlu tahu profil perusahaan pemberi lowongan kerja beserta hak dan kewajiban kerja yang ditawarkan.
Selain aspek legalitas perusahaan, masyarakat juga perlu menelisik lebih jauh perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan pekerjanya. Selain itu, juga perlu dipastikan apakah pengupahan serta jam kerja yang ditawarkan sesuai dengan regulasi atau tidak.
Untuk memastikan legalitas perusahaan, Elly menyarankan pencari kerja langsung menanyakan ke disnakertrans, baik di level provinsi maupun kabupaten. Pasalnya, setiap lowongan pekerjaan dari perusahaan yang legal dipastikan tercatat di instansi tersebut.
Berkaca dari peristiwa itu, fenomena pinjol ilegal seyogianya perlu dilihat dari dua sisi.
Selain perlu diberantas karena merugikan masyarakat dengan bujuk rayu pinjaman yang instan hingga berujung ancaman, di sisi lain para pekerjanya yang tak sedikit merupakan generasi muda usia produktif perlu mendapat edukasi agar tak terjebak di tempat yang sama. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021