Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan ilmu titen (kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam) yang kerap menjadi pegangan nelayan ambyar akibat perubahan iklim.
Sehingga, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil melaut tidak maksimal, bahkan tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi.
Ilmu titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini sangat dinamis dan sulit ditebak, ujar Dwikorita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Kamis (7/10), Dwikorita mengatakan perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat.
Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.
Perubahan iklim adalah peristiwa global, namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara, ujar dia.
Kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di daerah-daerah pesisir pantai. Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil dan pulang dengan selamat.
SLCN, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya. Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim dan pengenalan alat-alat observasi, kata Dwikorita.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Sehingga, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil melaut tidak maksimal, bahkan tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi.
Ilmu titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini sangat dinamis dan sulit ditebak, ujar Dwikorita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Kamis (7/10), Dwikorita mengatakan perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat.
Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.
Perubahan iklim adalah peristiwa global, namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara, ujar dia.
Kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di daerah-daerah pesisir pantai. Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil dan pulang dengan selamat.
SLCN, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya. Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim dan pengenalan alat-alat observasi, kata Dwikorita.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021