Forum Komunitas Hijau Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menyebutkan jumlah mata air yang rusak dan bahkan mati atau menghilang di daerah itu selama kurun 20 tahun terakhir mencapai 90 persen, sehingga kegiatan reboisasi harus kembali digalakkan.
"Mata air yang sudah terlanjur mati ini harus segera direstorasi dengan mengembalikan fungsi hutan yang rusak sejak 1999 hingga sekarang," kata Ketua Forum Komunitas Hijau Kabupaten Tulungagung Karsi Nero di Tulungagung, Sabtu.
Seruan itu disampaikan penggiat lingkungan yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata Telaga Buret ini menyikapi hilangnya banyak sumber air di wilayah Tulungagung selama dua dasawarsa terakhir.
Pada tahun 1999, sumber air yang ada tercatat berjumlah 2000-an titik. Namun, saat dilakukan pendataan/survei kembali pada 2018, jumlahnya menurun drastis sehingga tinggal 200-an titik.
"Jadi, ada sekitar 90 persen mata air yang mati selama 20 tahun terakhir," katanya.
Sebenarnya matinya sumber air dipengaruhi banyak faktor. Namun yang paling dominan adalah akibat ulah manusia.
Pemanfaatan lingkungan yang buruk, pembangunan infrastruktur yang masif, perluasan pemukiman dan terutama penggundulan hutan tanpa diimbangi dengan penanaman pohon dalam skala yang sama menjadi penyebab menurunnya pasokan air resapan ke dalam tanah.
Imbasnya, berbagai bencana terjadi. Mulai banjir, tanah longsor, kekeringan dan tentu saja matinya mata air
Karsi mengatakan imbas mengeringnya mata air ini akibatkan sejumlah wilayah mengalami kekeringan dan kesulitan air saat musim kemarau. Terlebih wilayah yang dulunya berupa hutan lebat.
Pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Tulungangung harus menyuplai air bersih ke wilayah yang kesulitan air saat kemarau.
Karsi menganggap hal itu bukanlah solusi dalam mengatasi krisis air bersih. "Jangka panjang penyelesaiannya, kita harus merestorasi mata air," katanya.
Restorasi yang dilakukan dengan menanami kembali pepohonan di sekitar tempat yang pernah ada mata airnya.
Karsi menyatakan wilayah yang paling banyak mengalami kerusakan mata air berada di wilayah selatan Tulungagung, seperti Kecamatan Tanggunggunung, Besuki, Pucanglaban dan Kalidawir.
Pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Pemkab Tulungagung untuk melakukan perbaikan pada mata air yang rusak.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tulungagung, Santoso tak menampik adanya kerusakan mata air di Tulungagung. Pihaknya sudah menerima laporan kerusakan ribuan mata air itu.
"Akan kita tindak lanjuti untuk merestorasi mata air yang hilang," kata Santoso.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan penanaman pohon di sekitar mata air. Tahun ini saja pihaknya berencana menanam sekitar 150 ribu pohon. "Salah satunya itu, menanam pohon," katanya.
Sedang untuk melindungi mata air yang tersisa, Santoso mengajak pegiat lingkungan dan masyarakat untuk bersama menjaga kelestarian lingkungan. "Jangan sampai mata air yang tersisa itu hilang," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Mata air yang sudah terlanjur mati ini harus segera direstorasi dengan mengembalikan fungsi hutan yang rusak sejak 1999 hingga sekarang," kata Ketua Forum Komunitas Hijau Kabupaten Tulungagung Karsi Nero di Tulungagung, Sabtu.
Seruan itu disampaikan penggiat lingkungan yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata Telaga Buret ini menyikapi hilangnya banyak sumber air di wilayah Tulungagung selama dua dasawarsa terakhir.
Pada tahun 1999, sumber air yang ada tercatat berjumlah 2000-an titik. Namun, saat dilakukan pendataan/survei kembali pada 2018, jumlahnya menurun drastis sehingga tinggal 200-an titik.
"Jadi, ada sekitar 90 persen mata air yang mati selama 20 tahun terakhir," katanya.
Sebenarnya matinya sumber air dipengaruhi banyak faktor. Namun yang paling dominan adalah akibat ulah manusia.
Pemanfaatan lingkungan yang buruk, pembangunan infrastruktur yang masif, perluasan pemukiman dan terutama penggundulan hutan tanpa diimbangi dengan penanaman pohon dalam skala yang sama menjadi penyebab menurunnya pasokan air resapan ke dalam tanah.
Imbasnya, berbagai bencana terjadi. Mulai banjir, tanah longsor, kekeringan dan tentu saja matinya mata air
Karsi mengatakan imbas mengeringnya mata air ini akibatkan sejumlah wilayah mengalami kekeringan dan kesulitan air saat musim kemarau. Terlebih wilayah yang dulunya berupa hutan lebat.
Pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Tulungangung harus menyuplai air bersih ke wilayah yang kesulitan air saat kemarau.
Karsi menganggap hal itu bukanlah solusi dalam mengatasi krisis air bersih. "Jangka panjang penyelesaiannya, kita harus merestorasi mata air," katanya.
Restorasi yang dilakukan dengan menanami kembali pepohonan di sekitar tempat yang pernah ada mata airnya.
Karsi menyatakan wilayah yang paling banyak mengalami kerusakan mata air berada di wilayah selatan Tulungagung, seperti Kecamatan Tanggunggunung, Besuki, Pucanglaban dan Kalidawir.
Pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Pemkab Tulungagung untuk melakukan perbaikan pada mata air yang rusak.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tulungagung, Santoso tak menampik adanya kerusakan mata air di Tulungagung. Pihaknya sudah menerima laporan kerusakan ribuan mata air itu.
"Akan kita tindak lanjuti untuk merestorasi mata air yang hilang," kata Santoso.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan penanaman pohon di sekitar mata air. Tahun ini saja pihaknya berencana menanam sekitar 150 ribu pohon. "Salah satunya itu, menanam pohon," katanya.
Sedang untuk melindungi mata air yang tersisa, Santoso mengajak pegiat lingkungan dan masyarakat untuk bersama menjaga kelestarian lingkungan. "Jangan sampai mata air yang tersisa itu hilang," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021