Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menjelaskan persoalan izin penggunaan darurat vaksin COVID-19 dari Sinovac.
Dalam keterangan pers Satuan Tugas di Jakarta, Jumat, Wiku menjelaskan bahwa Emergency Use Listing (EUL) dan Emergency Use Authorization (EUA) merupakan bentuk izin penggunaan secara terbatas untuk vaksin, obat, dan alat kesehatan.
"Saya hendak mempertegas, bahwa baik EUL dan EUA, adalah dua bentuk izin penggunaan terbatas untuk vaksin, obat-obatan, dan alat diagnostik in vitro atas dasar beberapa pertimbangan yang intinya sama," katanya.
Vaksin buatan Sinovac yang digunakan dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia, ia mengatakan, sudah mendapat EUA dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sinovac, menurut dia, juga telah menjalani prosedur pengurusan EUL untuk produk vaksinnya dan menurut perkiraan bisa mendapat EUL dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada akhir Mei 2021. Vaksin COVID-19 dari AstraZeneca sudah lebih dulu mendapat EUL.
Wiku menjelaskan, hal yang dipertimbangkan dalam memberikan izin penggunaan terbatas vaksin, antara lain bahwa penyakit yang harus ditanggulangi serius, mematikan, dan berpeluang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, serta belum ada produk farmasi yang bisa digunakan untuk menghilangkan dan mencegah wabah.
Pertimbangan selanjutnya, menurut dia, produk farmasi yang diajukan untuk mendapat izin penggunaan tahapan produksinya dilakukan berdasarkan kaidah ilmiah dan sesuai dengan standar yang berlaku dalam praktik laboratorium, praktik produksi, dan uji klinis.
Wiku mengatakan bahwa EUL dan EUA hanya berbeda dalam hal otoritas yang mengeluarkan izin. EUL dikeluarkan oleh WHO, sedangkan EUA dikeluarkan otoritas pengawasan obat dan makanan di dalam negeri.
Menurut Wiku, EUL dijadikan sebagai prasyarat dalam penyediaan vaksin dalam kerangka COVID-19 Vaccines Global Access (COVAX).
Namun, suatu negara juga bisa memutuskan kelayakan penggunaan serta proses produksi atau impor vaksin dan memberikan EUA, yang merupakan izin edar terbatas pada suatu negara.
Wiku mengatakan bahwa pada prinsipnya WHO memberikan otoritas penuh kepada otoritas nasional seperti BPOM untuk mengeluarkan EUA mengacu kepada standar global berdasarkan data dari penilaian yang transparan.
Meski demikian, kata dia, WHO mengharapkan vaksin yang telah mendapatkan EUA di tingkat nasional tetap diajukan untuk mendapat EUL dari WHO.
Wiku juga mengatakan bahwa vaksin COVID-19 adalah produk farmasi yang tergolong baru dan dikembangkan dalam waktu yang relatif singkat, namun kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) yang terjadi setelah penggunaan vaksin tersebut selama ini tidak signifikan.
"Sekali lagi saya tekankan, kemunculan tersebut pun tidak signifikan jumlahnya dan terjadi hanya pada beberapa orang dengan kondisi kesehatan khusus. Vaksin diperuntukkan bagi masyarakat dalam keadaan sehat. Karenanya masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan terbaik," kata Wiku.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Dalam keterangan pers Satuan Tugas di Jakarta, Jumat, Wiku menjelaskan bahwa Emergency Use Listing (EUL) dan Emergency Use Authorization (EUA) merupakan bentuk izin penggunaan secara terbatas untuk vaksin, obat, dan alat kesehatan.
"Saya hendak mempertegas, bahwa baik EUL dan EUA, adalah dua bentuk izin penggunaan terbatas untuk vaksin, obat-obatan, dan alat diagnostik in vitro atas dasar beberapa pertimbangan yang intinya sama," katanya.
Vaksin buatan Sinovac yang digunakan dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia, ia mengatakan, sudah mendapat EUA dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sinovac, menurut dia, juga telah menjalani prosedur pengurusan EUL untuk produk vaksinnya dan menurut perkiraan bisa mendapat EUL dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada akhir Mei 2021. Vaksin COVID-19 dari AstraZeneca sudah lebih dulu mendapat EUL.
Wiku menjelaskan, hal yang dipertimbangkan dalam memberikan izin penggunaan terbatas vaksin, antara lain bahwa penyakit yang harus ditanggulangi serius, mematikan, dan berpeluang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, serta belum ada produk farmasi yang bisa digunakan untuk menghilangkan dan mencegah wabah.
Pertimbangan selanjutnya, menurut dia, produk farmasi yang diajukan untuk mendapat izin penggunaan tahapan produksinya dilakukan berdasarkan kaidah ilmiah dan sesuai dengan standar yang berlaku dalam praktik laboratorium, praktik produksi, dan uji klinis.
Wiku mengatakan bahwa EUL dan EUA hanya berbeda dalam hal otoritas yang mengeluarkan izin. EUL dikeluarkan oleh WHO, sedangkan EUA dikeluarkan otoritas pengawasan obat dan makanan di dalam negeri.
Menurut Wiku, EUL dijadikan sebagai prasyarat dalam penyediaan vaksin dalam kerangka COVID-19 Vaccines Global Access (COVAX).
Namun, suatu negara juga bisa memutuskan kelayakan penggunaan serta proses produksi atau impor vaksin dan memberikan EUA, yang merupakan izin edar terbatas pada suatu negara.
Wiku mengatakan bahwa pada prinsipnya WHO memberikan otoritas penuh kepada otoritas nasional seperti BPOM untuk mengeluarkan EUA mengacu kepada standar global berdasarkan data dari penilaian yang transparan.
Meski demikian, kata dia, WHO mengharapkan vaksin yang telah mendapatkan EUA di tingkat nasional tetap diajukan untuk mendapat EUL dari WHO.
Wiku juga mengatakan bahwa vaksin COVID-19 adalah produk farmasi yang tergolong baru dan dikembangkan dalam waktu yang relatif singkat, namun kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) yang terjadi setelah penggunaan vaksin tersebut selama ini tidak signifikan.
"Sekali lagi saya tekankan, kemunculan tersebut pun tidak signifikan jumlahnya dan terjadi hanya pada beberapa orang dengan kondisi kesehatan khusus. Vaksin diperuntukkan bagi masyarakat dalam keadaan sehat. Karenanya masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan terbaik," kata Wiku.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021