Sejumlah warga di sekitar kaki lereng Gunung Wilis wilayah Kecamatan Sendang, Tulungagung, Jawa Timur, mengaku sempat mendeteksi keberadaan satwa liar diduga harimau di pinggiran hutan kampung mereka.
Supriyono (38), salah satu warga Desa Nyawangan, Kecamatan Sendang, Senin, mengaku sempat berjumpa/berpapasan dengan harimau di hutan Watugondok pada akhir November 2020, namun ia saat itu tidak berani melapor ke petugas ataupun aparat keamanan.
Namun, rupanya pengalaman mirisnya bertemu harimau yang disebutnya bertubuh besar dan berkulit loreng juga dialami beberapa warga lain. Mandhi (50) yang bermukim di Desa Nglurup dan Mbah Man (70) yang juga berasal dari Desa Nyawangan mengaku melihat satwa liar sejenis di titik lokasi berbeda.
"Kalau saya melihatnya dua ekor. Saat itu pagi sekitar pukul 06.00 WIB, mungkin lebih sedikit, saat saya berangkat melakukan aktivitas penyadapan di dalam hutan dan tidak sengaja melihat ada dua ekor harimau, satu besar dan satu kecil. Mungkin yang kecil ini anaknya," kata Supriyono menceritakan pengalamannya.
Dia melihat dari jauh, dan memilih segera kembali karena takut. Informasi yang diterima BKSDA Kediri, sedikitnya ada lima warga yang sempat berjumpa dengan satwa liar diduga harimau tersebut.
Namun, keterangan mengenai ciri binatang buas itu masih simpang siur. Ada yang menyebut dengan ciri kulit loreng warna kuning-hitam, ada yang menyebut warna cerah kombinasi totol-totol (tutul).
"Warga menyebut juga menemukan jejak kaki diduga harimau, tapi kondisinya saat kita periksa sudah rusak. Jadi sulit menentukan (memastikan)," kata Kepala Resort RKW BKSDA Blitar Joko Dwiyono ditemui di lokasi pemasangan camera trap atau kamera sensor gerak di kaki lereng Gunung Wilis, Desa Nyawangan.
Joko menginformasikan, berdasar laporan yang dia terima dari warga, keberadaan satwa liar diduga harimau di kaki lereng Gunung Wilis terakhir terdeteksi sekitar empat pekan lalu atau sekitar bulan Desember 2020.
Saat itu salah satu warga yang hendak melakukan aktivitas penyadapan di petak 88C Desa Nyawangan kembali berpapasan dengan seekor harimau berwarna kuning dengan motif loreng hitam-putih. Ciri ini dikenali sebagai Harimau Jawa yang sudah dinyatakan punah sejak 1970-an.
Saat itu jarak perjumpaan antara warga dengan harimau sekitar 7 meter, dengan ukuran harimau sebesar kambing betina dan ketinggian sekitar 80 centimeter, berjalan di jalanan setapak di tengah petak (jalan langsir getah).
Bekas kaki
Setelah perjumpaan itu, dalam beberapa hari kemudian dijumpai banyak bekas kaki yang mirip bekas kaki harimau terlihat di tanah petak tersebut.
Warga juga sempat menemukan usus binatang terburai di jembatan penyeberangan (atas sungai) antara petak 88c dan 87a masuk LMDH Argo Mulyo Desa Nglurup Kecamatan Sendang.
Diperkirakan bekas sisa makanan buruan satwa liar diduga harimau tadi.
Dalam kurun dua-hingga tiga pekan ke ke belakang belum ada lagi dijumpai bekas kaki harimau di sekitar lokasi yang sama maupun sekitarnya.
"Di perkirakan habitat harimau tersebut berada d hutan lindung petak 85, 86 dan 88a," kata Joko.
Perjumpaan sejumlah warga dengan binatang buas diduga harimau itu tak pelak membuat warga sekitar kaki lereng Gunung Wilis di perbatasan kecamatan Sendang menjadi resah.
Terutama warga sekitar hutan dan selama ini beraktivitas di dalam hutan untuk menyadap maupun mencari rumput untuk pakan ternak. Mereka takut sewaktu-waktu bertemu lagi dengan binatang buas diduga harimau itu.
"Semoga tidak sampai ada serangan (harimau) kepada penduduk desa ataupun ternak di lingkungan kami. Jangan sampai, karena kami juga tidak pernah mengganggu habitat mereka (harimau)," kata Kepala Dusun Bantengan, Desa Nyawangan Sukadi.
Upaya penyelamatan
Wikipedia mencatat harimau jawa (Panthera tigris sondaica) adalah subspesies harimau yang hidup terbatas (endemik) di Pulau Jawa. Harimau ini telah dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis.
Dibandingkan dengan jenis-jenis harimau di Benua Asia, harimau jawa terhitung bertubuh kecil. Namun, harimau ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar daripada harimau bali dan kurang lebih sama besar dengan harimau sumatera.
Harimau jawa jantan mempunyai berat 100-140 kg, sementara yang betina berbobot lebih ringan, antara 75–115 kg. Panjang kepala dan tubuh hewan jantan sekitar 200-245 cm; hewan betina sedikit lebih kecil..
Harimau jawa tercatat menghuni hutan-hutan dataran rendah, hutan belukar, dan mungkin pula berkeliaran hingga ke kebun-kebun wanatani di sekitar perdesaan, karena pernah pada masanya hewan ini dianggap sebagai hama sehingga banyak diburu atau diracun orang. Wilayah jelajahnya tidak melebihi ketinggian 1.200 m dpl.
Macan ini biasa memangsa babi hutan, rusa jawa, banteng, dan kadang-kadang juga reptil serta burung air.
Harimau jawa diketahui hanya didapati di Pulau Jawa.
Pada awal abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di Pulau Jawa. Pada tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil.
Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit.
Pada tahun 1950-an, ketika populasi harimau jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri.
Ada kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah pada tahun 1972.
Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa. Kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Pada tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.
Meskipun demikian banyak laporan penampakan harimau jawa di hutan Jateng dan Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Supriyono (38), salah satu warga Desa Nyawangan, Kecamatan Sendang, Senin, mengaku sempat berjumpa/berpapasan dengan harimau di hutan Watugondok pada akhir November 2020, namun ia saat itu tidak berani melapor ke petugas ataupun aparat keamanan.
Namun, rupanya pengalaman mirisnya bertemu harimau yang disebutnya bertubuh besar dan berkulit loreng juga dialami beberapa warga lain. Mandhi (50) yang bermukim di Desa Nglurup dan Mbah Man (70) yang juga berasal dari Desa Nyawangan mengaku melihat satwa liar sejenis di titik lokasi berbeda.
"Kalau saya melihatnya dua ekor. Saat itu pagi sekitar pukul 06.00 WIB, mungkin lebih sedikit, saat saya berangkat melakukan aktivitas penyadapan di dalam hutan dan tidak sengaja melihat ada dua ekor harimau, satu besar dan satu kecil. Mungkin yang kecil ini anaknya," kata Supriyono menceritakan pengalamannya.
Dia melihat dari jauh, dan memilih segera kembali karena takut. Informasi yang diterima BKSDA Kediri, sedikitnya ada lima warga yang sempat berjumpa dengan satwa liar diduga harimau tersebut.
Namun, keterangan mengenai ciri binatang buas itu masih simpang siur. Ada yang menyebut dengan ciri kulit loreng warna kuning-hitam, ada yang menyebut warna cerah kombinasi totol-totol (tutul).
"Warga menyebut juga menemukan jejak kaki diduga harimau, tapi kondisinya saat kita periksa sudah rusak. Jadi sulit menentukan (memastikan)," kata Kepala Resort RKW BKSDA Blitar Joko Dwiyono ditemui di lokasi pemasangan camera trap atau kamera sensor gerak di kaki lereng Gunung Wilis, Desa Nyawangan.
Joko menginformasikan, berdasar laporan yang dia terima dari warga, keberadaan satwa liar diduga harimau di kaki lereng Gunung Wilis terakhir terdeteksi sekitar empat pekan lalu atau sekitar bulan Desember 2020.
Saat itu salah satu warga yang hendak melakukan aktivitas penyadapan di petak 88C Desa Nyawangan kembali berpapasan dengan seekor harimau berwarna kuning dengan motif loreng hitam-putih. Ciri ini dikenali sebagai Harimau Jawa yang sudah dinyatakan punah sejak 1970-an.
Saat itu jarak perjumpaan antara warga dengan harimau sekitar 7 meter, dengan ukuran harimau sebesar kambing betina dan ketinggian sekitar 80 centimeter, berjalan di jalanan setapak di tengah petak (jalan langsir getah).
Bekas kaki
Setelah perjumpaan itu, dalam beberapa hari kemudian dijumpai banyak bekas kaki yang mirip bekas kaki harimau terlihat di tanah petak tersebut.
Warga juga sempat menemukan usus binatang terburai di jembatan penyeberangan (atas sungai) antara petak 88c dan 87a masuk LMDH Argo Mulyo Desa Nglurup Kecamatan Sendang.
Diperkirakan bekas sisa makanan buruan satwa liar diduga harimau tadi.
Dalam kurun dua-hingga tiga pekan ke ke belakang belum ada lagi dijumpai bekas kaki harimau di sekitar lokasi yang sama maupun sekitarnya.
"Di perkirakan habitat harimau tersebut berada d hutan lindung petak 85, 86 dan 88a," kata Joko.
Perjumpaan sejumlah warga dengan binatang buas diduga harimau itu tak pelak membuat warga sekitar kaki lereng Gunung Wilis di perbatasan kecamatan Sendang menjadi resah.
Terutama warga sekitar hutan dan selama ini beraktivitas di dalam hutan untuk menyadap maupun mencari rumput untuk pakan ternak. Mereka takut sewaktu-waktu bertemu lagi dengan binatang buas diduga harimau itu.
"Semoga tidak sampai ada serangan (harimau) kepada penduduk desa ataupun ternak di lingkungan kami. Jangan sampai, karena kami juga tidak pernah mengganggu habitat mereka (harimau)," kata Kepala Dusun Bantengan, Desa Nyawangan Sukadi.
Upaya penyelamatan
Wikipedia mencatat harimau jawa (Panthera tigris sondaica) adalah subspesies harimau yang hidup terbatas (endemik) di Pulau Jawa. Harimau ini telah dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis.
Dibandingkan dengan jenis-jenis harimau di Benua Asia, harimau jawa terhitung bertubuh kecil. Namun, harimau ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar daripada harimau bali dan kurang lebih sama besar dengan harimau sumatera.
Harimau jawa jantan mempunyai berat 100-140 kg, sementara yang betina berbobot lebih ringan, antara 75–115 kg. Panjang kepala dan tubuh hewan jantan sekitar 200-245 cm; hewan betina sedikit lebih kecil..
Harimau jawa tercatat menghuni hutan-hutan dataran rendah, hutan belukar, dan mungkin pula berkeliaran hingga ke kebun-kebun wanatani di sekitar perdesaan, karena pernah pada masanya hewan ini dianggap sebagai hama sehingga banyak diburu atau diracun orang. Wilayah jelajahnya tidak melebihi ketinggian 1.200 m dpl.
Macan ini biasa memangsa babi hutan, rusa jawa, banteng, dan kadang-kadang juga reptil serta burung air.
Harimau jawa diketahui hanya didapati di Pulau Jawa.
Pada awal abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di Pulau Jawa. Pada tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil.
Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit.
Pada tahun 1950-an, ketika populasi harimau jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri.
Ada kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah pada tahun 1972.
Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa. Kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Pada tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.
Meskipun demikian banyak laporan penampakan harimau jawa di hutan Jateng dan Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021