Cukai yang dikenakan kepada produk plastik dinilai berpotensi membenani sektor industri karena dari sisi pengemasan masih banyak pelaku usaha yang tergantung pada penggunaan produk plastik di Indonesia.

Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, Selasa, mengatakan pihaknya akan kembali memastikan dampak cukai produk plastik yang dianggap memberatkan dan membebani pelaku usaha.
 
“Untuk itu, kami berkomunikasi dengan Kemenkeu dan menyampaikan dampak besar yang signifikan terhadap industri kita jika itu diberlakukan untuk produk plastik,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Surabaya.

Ia menyampaikan draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Cukai Kantong Plastik sebetulnya sudah final, namun saat dibawa ke DPR, mereka meminta agar namanya diubah menjadi RPP Cukai Produk Plastik.

“Kami akan tetap mengakomodir penamaan oleh DPR, namun subtansinya tetap kami kembali ke kantong plastik yang hitam, sehingga nanti tidak terlalu banyak mengganggu industri nasional,” katanya.

Data Kemenperin mencatat, selain karet, industri plastik menunjukkan kinerja yang positif secara konsisten.

Sepanjang 2018, industri plastik dan karet tumbuh sebesar 6,92 persen, meningkat dari tahun 2017 yang mencapai 2,47 persen.

Industri plastik dan karet juga memberikan kontribusi siginifkan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas.

Pada tahun 2018, keduanya menyumbang sebesar Rp92,6 triliun atau 3,5 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2017, dan kondisi tersebut terus meningkat selama lima tahun terakhir.

Sumbangsihnya terhadap devisa terlihat dari nilai investasi industri karet dan plastik yang menyentuh Rp9,40 triliun pada tahun 2018, dan di periode sama nilai ekspornya menembus hingga 7,57 miliar dolar AS.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat menyebutkan aturan ini akan mempengaruhi kondisi industri berbahan kantong plastik termasuk perdagangan di pasar tradisional. 

Jika cukai pada produk plastik juga diterapkan maka berdampak pada kenaikan harga jual yang bisa memicu penurunan permintaan dan menekan industri makanan dan minuman maka berdampak pada penerimaan pajak yang turut menurun.

Berdasarkan kajian Apindo beberapa tahun lalu, dengan menerapkan cukai pada plastik kemasan minuman, pemerintah memang akan mendapatkan penerimaan cukai sebesar Rp1,9 triliun, tetapi akan mengalami penurunan PPN 10 persen sekitar Rp1 triliun dan penurunan PPh badan Rp1,42 triliun.

"Jadi pemerintah tekor Rp500 miliar per tahun bila cukai dipaksakan ke kemasan minuman waktu itu. Pemerintah akhirnya tak menerapkan itu, tetapi sekarang pemerintah kembali akan mengenakan cukai plastik dan dibidik adalah kantong plastik," katanya.

Pengurus Bidang Pemerintahan dan Peraturan  Asosiasi Industri Aromatik, Olefin dan Plastik (Inaplas) Riana Erni meminta agar kebijakan pengembangan industri dilaksanakan secara komprehensif dan konsisten.

“Kami di industri hulu dikejar-kejar harus investasi. Tapi setelah dilakukan dan sekarang ini beberapa dari kami sudah menambahkan produksinya, kok justru industri hilirnya diganggu. Penggunaan kantong plastik di beberapa daerah dilarang, kemudian mulai tahun depan Menkeu akan mengenakan cukai plastik. Nah, ini bagaimana kebijakannya, industri hulunya dikejar-kejar disuruh investasi, tapi industri hilirnya dilakukan pencekalan,” tukasnya. 

Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi), Justin Wiganda menilai akan ada dampak efek domino jika cukai plastik diberlakukan.

Untuk industri, kata dia, yakni turunnya permintaan dan akan berpengaruh business competition pada industri plastik yang dinilai cukup padat karya. 

"Efek terparah dari penerapan cukai plastik terhadap masyarakat karena kantong plastik itu dijualnya business to business dan sangat jarang sekali masyarakat awam sengaja membeli kantong plastik. Ini jelas memberatkan masyarakat,” keluh Justin. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020