Pertempuran pada 10 November 1945 yang kemudian dikenal dengan sebutan Hari Pahlawan, selama ini seolah-olah hanya melibatkan pemuda dari Surabaya dan sekitarnya atau Arek Suroboyo. Padahal peristiwa bersejarah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang kala itu baru berumur beberapa bulan tersebut juga melibatkan pejuang dari daerah lain di Jawa Timur.
Pejuang-pejuang yang ikut berbaur bersama Arek Suroboyo dalam peperangan dengan senjata tidak seimbang antara warga Indonesia dengan tentara Sekutu bersama Belanda itu banyak yang berasal dari daerah Tapal Kuda Jatim, yakni dari Pulau Madura (Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi.
Para pejuang bukan hanya masyarakat biasa, melainkan para bajingan yang telah disadarkan secara spiritual bahwa berjuang melawan penjajah merupakan jihad atau jalan suci yang memiliki nilai mulia di hadapan Allah.
Para bajingan yang kemudian insyaf akan tanggung jawabnya pada bangsa, negara dan agama itu digerakkan oleh seorang tokoh ulama terkemuka kala itu, yaitu Kiai Haji Raden (KHR) As'ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Samsul A Hasan, penulis buku-buku sejarah tentang tokoh NU, menceritakan bagaimana Kiai As'ad terlibat dalam pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya pada 22 Oktober 1945 yang juga dihadiri Rais Akbar NU Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari yang kemudian menghasilkan "Resolusi Jihad". Resolusi Jihad itu kemudian dikenal sebagai motor spiritual penggerak semangat warga Surabaya dan sekitarnya untuk berjihad melawan penjajah.
Dikisahkan bahwa setelah pertemuan di PBNU itu, Kiai As'ad kemudian bergerak ke Madura, yang diawali dari Bangkalan, dilanjutkan ke Sampang dan Pamekasan hingga ke Sumenep. Di empat kabupaten di Madura itu, Kiai As'ad menemui para ulama dan menyampaikan bahwa Rais Akbar NU menyerukan jihad untuk melawan penjajah. Untuk itu Kiai As'ad meminta ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.
Pada saat hendak mengumpulkan massa itu, memang dilematis bagi Kiai As'ad sendiri maupun ulama yang ditemui. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren? Kalau santri, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya, jika banyak santri yang gugur. Kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka jawaban-nya tertuju pada bajingan.
Baca juga: Mensos: Tantangan besar adalah tumbuhkan kepedulian terhadap pahlawan
Baca juga: Sambut Hari Pahlawan, KAI Daop 9 Jember gratiskan guru dan tenaga kesehatan naik kereta
"Rasa-rasanya, inilah pilihan yang paling pas. Bukankah mereka (bajingan) memiliki modal keberanian? Lagi pula kalau mereka nantinya mati, berarti mengurangi jumlah orang jahat. Syukur-syukur kalau mereka nantinya insyaf," demikian tulis Samsul A Hasan dalam buku "Kisah Tiga Kiai Mengelola Bekas Bajingan; Sang Pelopor".
Karena itu, kemudian para ulama di Madura yang telah didatangi Kiai As'ad menghubungi para bajingan. Setelah kembali ke pesantren-nya di Sukorejo, Kiai As'ad kemudian menghubungi beberapa anggota Pelopor (Palopor), pasukan inti gerilya yang dibina oleh Kiai As'ad. Kelak, para bajingan itu menjadi bagian pasukan Pelopor yang legendaris itu. Anggota Pelopor ini tersebar di Situbondo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi.
Tak lama kemudian, tulis Smasul A Hasan dalam bukunya, Pesantren Sukorejo dipenuhi oleh "santri" baru, yakni para bajingan dari Madura dan beberapa wilayah di Tapal Kuda Jatim. Kiai As'ad kemudian memberi motivasi kepada mereka untuk menempuh jalan mulia, yakni berjuang melawan penjajah.
Kiai As'ad kemudian mempercayakan pelatihan olah fisik dan rohani untuk para bajingan itu kepada Mabruk dan Abdus Shomad, santrinya yang telah mendalami ilmu kanuragan. Tidak hanya dilatih fisik, mereka juga diberi amalan atau ijazah dzikir agar mereka selamat dari serangan musuh, yang di lingkungan budaya Madura dikenal sebagai "jaza'".
Bahkan, KH Syamsul Arifin, abah dari Kiai As'ad, juga turut membekali "jaza" kepada para bajingan itu. Beberapa dari mereka juga diajari ilmu menghilang yang biasa digunakan oleh anggota Pelopor untuk mencuri senjata di gudang penjajah.
Maka, kata Samsul A Hasan, ketika pecah pertempuran 10 Novermber 1945, pasukan mantan bajingan ini juga ikut ambil bagian, khususnya di wilayah Tanjung Perak, Jembatan Merah dan di wilayah Wonokromo, Surabaya. Mereka dimobilisasi dari Situbondo dan sekitarnya dengan menggunakan kereta api. Agar tidak ketahuan musuh, pasukan itu diberangkatkan secara bergelombang.
Sejarah kemudian mencatat bahwa pertempuran tidak seimbang antara pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby itu mengalami kekalahan, bahkan sang jenderal tewas di tangan Arek-Arek Suroboyo bersama kekuatan masyarakat lain di Jatim itu, termasuk mantan bajingan binaan Kiai As'ad. Peristiwa itu kemudian diabadikan oleh keputusan negara sebagai Hari Pahlawan. Pemerintah juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KHR As'ad Syamsul Arifin pada 9 November 2016.
Terkait pilihan Kiai As'ad untuk memberdayakan kaum bajingan itu, Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy mengatakan ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dimaknai oleh generasi saat ini.
Menurut ulama muda kharismatik ini, upaya Kiai As'ad memberdayakan para bajingan untuk mengusir penjajah itu memberi pelajaran tentang berprasangka baik terhadap manusia dan lebih tinggi lagi kepada Allah.
"Prasangka baik kita ini adalah energi yang luar biasa. Kita saat ini sedang krisis energi positif. Jadi, seburuk apapun tampilan orang, kita harus selalu berprasangka baik kepada Allah. Allah yang bisa membolak balikkan hati. Yang dulunya dinilai tidak bermanfaat, bisa menjadi bermanfaat, bahkan hingga akhir hayatnya," tutur cucu dari Kiai As'ad ini.
Ulama yang juga dikenal sebagai sastrawan ini menjelaskan bahwa kaum Pelopor yang dibina Kiai As'ad itu banyak memberikan manfaat dengan segala potensinya untuk membangun bangsa, kemudian di atas itu adalah agama. "Ada banyak orang yang tidak terbaca di masyarakat, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat, masyarakat marjinal atau pinggiran, kemudian bisa berubah menjadi kekuatan sumber daya dalam berjuang untuk bangsa dan agama," ujarnya.
Pahlawan Pancasila
Sementara mantan Ketua Umum PBNU almarhum KH Hasyim Muzadi dalam suatu seminar di Jember, Jawa Timur, menilai KHR As'ad Syamsul tidak hanya pantas menyandang gelar pahlawan nasional, namun juga layak disebut sebagai pahlawan Pancasila terkait peran-nya dalam penerimaan azaz tunggal Pancasila oleh organisasi kaum nahdliyin itu.
"Tidak salah kalau beliau disebut sebagai pahlawan Pancasila. Beliau lebih Pancasila dari orang-orang yang ngomong butir-butir Pancasila," katanya pada seminar bertema "Refleksi Perjuangan KHR As'ad Syamsul Arifin dalam Mempertahankan NKRI" di Pondok Pesantren Nurul Qaarnain, Baletbaru, Sukowono, Jember, Jawa Timur, Minggu, 13 November 2016.
KHR As'ad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekkah dan meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Dusun Sukorejo, Desa Sumberrejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Baca juga: Sejarawan: Pahlawan bukan hanya pegang senjata
Baca juga: Sejarawan: Pahlawan bukan hanya pegang senjata
Menurut Hasyim Muzadi, gelar pahlawan yang dianugerahkan kepada Kiai As'ad tidak lepas dari proses perjalanan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia mengatakan bahwa Kiai As'ad adalah tokoh yang memegang palu ketika NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia, meskipun konseptor-nya adalah KH Achmad Siddiq, kala itu.
Kiai As'ad, katanya, ketika itu mau meneruskan wacana mengenai penerapan asas tunggal oleh Presiden Soeharto setelah mendapatkan penjelasan bahwa Pancasila tidak akan dijadikan agama atau agama dijadikan Pancasila.
"Pak Harto kala itu menjelaskan bahwa Pancasila sebagai pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa," ujarnya.
Kini, Kiai As'ad telah meninggalkan kita semua, kepemimpinan di pesantren dan NU telah diteruskan oleh generasi selanjutnya.
Namun, nilai-nilai dari perjuangan tokoh kharismatik itu masih patut, bahkan harus dilanjutkan oleh generasi muda, khususnya kaum Muslimin, untuk berjuang merawat keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia, menjadi lebih maju dan makmur.
Selamat Hari Pahlawan, mari kita rawat NKRI dan Pancasila sebagaimana pesan dari Kiai As'ad.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Pejuang-pejuang yang ikut berbaur bersama Arek Suroboyo dalam peperangan dengan senjata tidak seimbang antara warga Indonesia dengan tentara Sekutu bersama Belanda itu banyak yang berasal dari daerah Tapal Kuda Jatim, yakni dari Pulau Madura (Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi.
Para pejuang bukan hanya masyarakat biasa, melainkan para bajingan yang telah disadarkan secara spiritual bahwa berjuang melawan penjajah merupakan jihad atau jalan suci yang memiliki nilai mulia di hadapan Allah.
Para bajingan yang kemudian insyaf akan tanggung jawabnya pada bangsa, negara dan agama itu digerakkan oleh seorang tokoh ulama terkemuka kala itu, yaitu Kiai Haji Raden (KHR) As'ad Syamsul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Samsul A Hasan, penulis buku-buku sejarah tentang tokoh NU, menceritakan bagaimana Kiai As'ad terlibat dalam pertemuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya pada 22 Oktober 1945 yang juga dihadiri Rais Akbar NU Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari yang kemudian menghasilkan "Resolusi Jihad". Resolusi Jihad itu kemudian dikenal sebagai motor spiritual penggerak semangat warga Surabaya dan sekitarnya untuk berjihad melawan penjajah.
Dikisahkan bahwa setelah pertemuan di PBNU itu, Kiai As'ad kemudian bergerak ke Madura, yang diawali dari Bangkalan, dilanjutkan ke Sampang dan Pamekasan hingga ke Sumenep. Di empat kabupaten di Madura itu, Kiai As'ad menemui para ulama dan menyampaikan bahwa Rais Akbar NU menyerukan jihad untuk melawan penjajah. Untuk itu Kiai As'ad meminta ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.
Pada saat hendak mengumpulkan massa itu, memang dilematis bagi Kiai As'ad sendiri maupun ulama yang ditemui. Kalau memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama, khususnya di pesantren? Kalau santri, siapa yang akan meneruskan dakwah Islam di masyarakat nantinya, jika banyak santri yang gugur. Kalau wali santri, siapa yang akan membiayai santri dalam menuntut ilmu agama? Maka jawaban-nya tertuju pada bajingan.
Baca juga: Mensos: Tantangan besar adalah tumbuhkan kepedulian terhadap pahlawan
Baca juga: Sambut Hari Pahlawan, KAI Daop 9 Jember gratiskan guru dan tenaga kesehatan naik kereta
"Rasa-rasanya, inilah pilihan yang paling pas. Bukankah mereka (bajingan) memiliki modal keberanian? Lagi pula kalau mereka nantinya mati, berarti mengurangi jumlah orang jahat. Syukur-syukur kalau mereka nantinya insyaf," demikian tulis Samsul A Hasan dalam buku "Kisah Tiga Kiai Mengelola Bekas Bajingan; Sang Pelopor".
Karena itu, kemudian para ulama di Madura yang telah didatangi Kiai As'ad menghubungi para bajingan. Setelah kembali ke pesantren-nya di Sukorejo, Kiai As'ad kemudian menghubungi beberapa anggota Pelopor (Palopor), pasukan inti gerilya yang dibina oleh Kiai As'ad. Kelak, para bajingan itu menjadi bagian pasukan Pelopor yang legendaris itu. Anggota Pelopor ini tersebar di Situbondo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi.
Tak lama kemudian, tulis Smasul A Hasan dalam bukunya, Pesantren Sukorejo dipenuhi oleh "santri" baru, yakni para bajingan dari Madura dan beberapa wilayah di Tapal Kuda Jatim. Kiai As'ad kemudian memberi motivasi kepada mereka untuk menempuh jalan mulia, yakni berjuang melawan penjajah.
Kiai As'ad kemudian mempercayakan pelatihan olah fisik dan rohani untuk para bajingan itu kepada Mabruk dan Abdus Shomad, santrinya yang telah mendalami ilmu kanuragan. Tidak hanya dilatih fisik, mereka juga diberi amalan atau ijazah dzikir agar mereka selamat dari serangan musuh, yang di lingkungan budaya Madura dikenal sebagai "jaza'".
Bahkan, KH Syamsul Arifin, abah dari Kiai As'ad, juga turut membekali "jaza" kepada para bajingan itu. Beberapa dari mereka juga diajari ilmu menghilang yang biasa digunakan oleh anggota Pelopor untuk mencuri senjata di gudang penjajah.
Maka, kata Samsul A Hasan, ketika pecah pertempuran 10 Novermber 1945, pasukan mantan bajingan ini juga ikut ambil bagian, khususnya di wilayah Tanjung Perak, Jembatan Merah dan di wilayah Wonokromo, Surabaya. Mereka dimobilisasi dari Situbondo dan sekitarnya dengan menggunakan kereta api. Agar tidak ketahuan musuh, pasukan itu diberangkatkan secara bergelombang.
Sejarah kemudian mencatat bahwa pertempuran tidak seimbang antara pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby itu mengalami kekalahan, bahkan sang jenderal tewas di tangan Arek-Arek Suroboyo bersama kekuatan masyarakat lain di Jatim itu, termasuk mantan bajingan binaan Kiai As'ad. Peristiwa itu kemudian diabadikan oleh keputusan negara sebagai Hari Pahlawan. Pemerintah juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KHR As'ad Syamsul Arifin pada 9 November 2016.
Terkait pilihan Kiai As'ad untuk memberdayakan kaum bajingan itu, Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy mengatakan ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dimaknai oleh generasi saat ini.
Menurut ulama muda kharismatik ini, upaya Kiai As'ad memberdayakan para bajingan untuk mengusir penjajah itu memberi pelajaran tentang berprasangka baik terhadap manusia dan lebih tinggi lagi kepada Allah.
"Prasangka baik kita ini adalah energi yang luar biasa. Kita saat ini sedang krisis energi positif. Jadi, seburuk apapun tampilan orang, kita harus selalu berprasangka baik kepada Allah. Allah yang bisa membolak balikkan hati. Yang dulunya dinilai tidak bermanfaat, bisa menjadi bermanfaat, bahkan hingga akhir hayatnya," tutur cucu dari Kiai As'ad ini.
Ulama yang juga dikenal sebagai sastrawan ini menjelaskan bahwa kaum Pelopor yang dibina Kiai As'ad itu banyak memberikan manfaat dengan segala potensinya untuk membangun bangsa, kemudian di atas itu adalah agama. "Ada banyak orang yang tidak terbaca di masyarakat, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat, masyarakat marjinal atau pinggiran, kemudian bisa berubah menjadi kekuatan sumber daya dalam berjuang untuk bangsa dan agama," ujarnya.
Pahlawan Pancasila
Sementara mantan Ketua Umum PBNU almarhum KH Hasyim Muzadi dalam suatu seminar di Jember, Jawa Timur, menilai KHR As'ad Syamsul tidak hanya pantas menyandang gelar pahlawan nasional, namun juga layak disebut sebagai pahlawan Pancasila terkait peran-nya dalam penerimaan azaz tunggal Pancasila oleh organisasi kaum nahdliyin itu.
"Tidak salah kalau beliau disebut sebagai pahlawan Pancasila. Beliau lebih Pancasila dari orang-orang yang ngomong butir-butir Pancasila," katanya pada seminar bertema "Refleksi Perjuangan KHR As'ad Syamsul Arifin dalam Mempertahankan NKRI" di Pondok Pesantren Nurul Qaarnain, Baletbaru, Sukowono, Jember, Jawa Timur, Minggu, 13 November 2016.
KHR As'ad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekkah dan meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Dusun Sukorejo, Desa Sumberrejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Baca juga: Sejarawan: Pahlawan bukan hanya pegang senjata
Baca juga: Sejarawan: Pahlawan bukan hanya pegang senjata
Menurut Hasyim Muzadi, gelar pahlawan yang dianugerahkan kepada Kiai As'ad tidak lepas dari proses perjalanan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia mengatakan bahwa Kiai As'ad adalah tokoh yang memegang palu ketika NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas di Indonesia, meskipun konseptor-nya adalah KH Achmad Siddiq, kala itu.
Kiai As'ad, katanya, ketika itu mau meneruskan wacana mengenai penerapan asas tunggal oleh Presiden Soeharto setelah mendapatkan penjelasan bahwa Pancasila tidak akan dijadikan agama atau agama dijadikan Pancasila.
"Pak Harto kala itu menjelaskan bahwa Pancasila sebagai pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa untuk bersama-sama membangun bangsa," ujarnya.
Kini, Kiai As'ad telah meninggalkan kita semua, kepemimpinan di pesantren dan NU telah diteruskan oleh generasi selanjutnya.
Namun, nilai-nilai dari perjuangan tokoh kharismatik itu masih patut, bahkan harus dilanjutkan oleh generasi muda, khususnya kaum Muslimin, untuk berjuang merawat keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia, menjadi lebih maju dan makmur.
Selamat Hari Pahlawan, mari kita rawat NKRI dan Pancasila sebagaimana pesan dari Kiai As'ad.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020