Ratusan mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Tulungagung, Jawa Timur, berunjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani undang-undang yang dinilai sarat kontroversi tersebut.
Menggelar aksi serentak di depan gedung DPRD Tulungagung, massa aksi yang berasal dari lintas organisasi pergerakan mahasiswa, organisasi mahasiswa ekstra kampus dan BEM se-Tulungagung itu diwarnai aksi tabur bunga dan doa bersama sebagai simbol matinya nurani wakil rakyat.
Unjuk rasa yang berlangsung mulai pukul 08.30 WIB hingga mendekati pukul 12.00 WIB itu berlangsung damai. Ratusan aparat keamanan telah mengantisipasi aksi ratusan mahasiswa itu dengan membuat barisan pagar betis dan memasang kawat berduri di sepanjang gerbang dan pagar DPRD Tulungagung.
Hanya rombongan aksi kedua yang menyusul aliansi mahasiswa dan BEM se-Tulungagung sempat bergerak ke arah pendopo Kabupaten dan terlibat aksi dorong pagar dengan aparat keamanan yang berjaga.
Situasi kembali kondusif setelah massa aksi bergerak ke depan gedung DPRD untuk bergabun dengan massa aksi yang lebih dulu tiba.
"Aksi ini kami gelar sebagai bentuk penolakan atas pengesahan Omnibus Law, Undang-undang Cipta Kerja yang minim aspirasi rakyat," kata Mohammad Afifudin, salah satu orator unjuk rasa dari PMII Cabang Tulungagung.
Ada sejumlah pasal dalam Omnibus Law yang dinilai bermasalah dan merugikan buruh maupun pekerja dalam tatanan relasinya dengan perusahaan/pengusaha.
Di antaranya ada dalam bab IV pasal 59 UU Cipta kerja yang mengatur kontrak tanpa batas, kemudian pasal 79 tentang hari libur yang dipangkas serta perubahan sistem pengupahan yang didasarkan pada jam kerja (pasal 88).
"Banyak pasal yang kami nilai bermasalah sehingga kami meminta Pak Jokowi selaku pimpinan tertinggi pemerintahan agar tidak menandatangani UU Cipta Kerja ini," katanya.
Selain minim aspirasi dan kurang disosialisasikan kepada publik, UU Cipta Kerja dinilai berpotensi merusak lingkungan.
Sebab selama izin diberikan dan dipermudah, potensi investor menyalahgunakan aturan yang berdampak perusakan lingkungan akan semakin besar.
"Undang-undang ini lebih banyak merugikan ketimbang memberi manfaat kepada rakyat," kata Afifu.
Dua wakil pimpinan DPRD Tulungagung sempat menemui para mahasiswa yan terus berorasi meneriakkan yel-yel kecaman dan menyampaikan tuntutan atas pembatalan Omnibus Law.
Adib Makarim yang tampil di penghujung aksi dengan didampingi Kapolres Tulungagung AKBP Eva Guna Pandia menyampaikan sikap dukungan dan komitmennya untuk meneruskan aspirasi mahasiswa melalui kanal kelegislasian untuk disampaikan ke wakil rakyat di DPR pusat.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Menggelar aksi serentak di depan gedung DPRD Tulungagung, massa aksi yang berasal dari lintas organisasi pergerakan mahasiswa, organisasi mahasiswa ekstra kampus dan BEM se-Tulungagung itu diwarnai aksi tabur bunga dan doa bersama sebagai simbol matinya nurani wakil rakyat.
Unjuk rasa yang berlangsung mulai pukul 08.30 WIB hingga mendekati pukul 12.00 WIB itu berlangsung damai. Ratusan aparat keamanan telah mengantisipasi aksi ratusan mahasiswa itu dengan membuat barisan pagar betis dan memasang kawat berduri di sepanjang gerbang dan pagar DPRD Tulungagung.
Hanya rombongan aksi kedua yang menyusul aliansi mahasiswa dan BEM se-Tulungagung sempat bergerak ke arah pendopo Kabupaten dan terlibat aksi dorong pagar dengan aparat keamanan yang berjaga.
Situasi kembali kondusif setelah massa aksi bergerak ke depan gedung DPRD untuk bergabun dengan massa aksi yang lebih dulu tiba.
"Aksi ini kami gelar sebagai bentuk penolakan atas pengesahan Omnibus Law, Undang-undang Cipta Kerja yang minim aspirasi rakyat," kata Mohammad Afifudin, salah satu orator unjuk rasa dari PMII Cabang Tulungagung.
Ada sejumlah pasal dalam Omnibus Law yang dinilai bermasalah dan merugikan buruh maupun pekerja dalam tatanan relasinya dengan perusahaan/pengusaha.
Di antaranya ada dalam bab IV pasal 59 UU Cipta kerja yang mengatur kontrak tanpa batas, kemudian pasal 79 tentang hari libur yang dipangkas serta perubahan sistem pengupahan yang didasarkan pada jam kerja (pasal 88).
"Banyak pasal yang kami nilai bermasalah sehingga kami meminta Pak Jokowi selaku pimpinan tertinggi pemerintahan agar tidak menandatangani UU Cipta Kerja ini," katanya.
Selain minim aspirasi dan kurang disosialisasikan kepada publik, UU Cipta Kerja dinilai berpotensi merusak lingkungan.
Sebab selama izin diberikan dan dipermudah, potensi investor menyalahgunakan aturan yang berdampak perusakan lingkungan akan semakin besar.
"Undang-undang ini lebih banyak merugikan ketimbang memberi manfaat kepada rakyat," kata Afifu.
Dua wakil pimpinan DPRD Tulungagung sempat menemui para mahasiswa yan terus berorasi meneriakkan yel-yel kecaman dan menyampaikan tuntutan atas pembatalan Omnibus Law.
Adib Makarim yang tampil di penghujung aksi dengan didampingi Kapolres Tulungagung AKBP Eva Guna Pandia menyampaikan sikap dukungan dan komitmennya untuk meneruskan aspirasi mahasiswa melalui kanal kelegislasian untuk disampaikan ke wakil rakyat di DPR pusat.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020