Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memilih cara berbeda dan tidak biasa dalam mengukuhkan guru besarnya di tengah pandemi COVID-19, yakni diselenggarakan di tengah jembatan menuju gedung kuliah bersama (GKB) I kampus setempat, Kamis.
Pengukuhan yang biasanya diselenggarakan di Dom UMM, kali ini Guru Besar Akuntansi Prof Dr Ihyaul Ulum dikukuhkan di tengah jembatan (outdoor) dengan tujuan agar ada sirkulasi udara yang bagus. Jumlah tamu undangan juga sangat terbatas, yakni hanya 50 orang, termasuk keluarga dan Senat UMM serta menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Dalam pidato ilmiah pengukuhannya, Prof Ihyaul Ulum mengemukakan saat ini banyak usaha yang tidak memiliki aset berwujud atau bermodalkan intelektual (intellectual capital).
"Kita sekarang hidup pada era dimana perusahaan taksi terbesar di dunia, tidak memiliki satupun armada taksi (uber, grab, gojek). Kita hidup pada era dimana perusahaan ritel terbesar tidak memiliki satu pun toko maupun gudang (amazon, tokopedia, sophie, dll). Mereka inilah yang disebut start-up," katanya.
Start-up bukanlah usaha kecil. Ini adalah usaha baru dan baru dimulai. Akhir 2019, valuasi aset Gojek mencapai 10 miliar USD, atau setara Rp 142 triliun. Angka ini berarti 14 kali dari valuasi aset Garuda Indonesia yang ‘hanya’ Rp 11,07 triliun.
Valuasi aset tokopedia (berumur 10 tahun) mencapai 7 miliar USD, setara Rp98 triliun, 15 kali dari valuasi aset Ramayana (berusia 40 tahun) yang ‘hanya’ Rp5 sekian triliun.
Aset terpenting yang mereka miliki adalah intangible assets, aset tak berwujud. Aset ini berbeda dengan aset yang dimiliki oleh Garuda misalnya, yang lebih dominan tangible assets. Intangible assets bentuknya seperti brand, skill, inovasi, dan keterampilan. Aset-aset tak berwujud ini tidak dapat dilaporkan dalam laporan keuangan, karena tidak memenuhi kriteria sebagai aset.
Pada perusahaan ‘konvensional’, sambung Ulum, karena tidak dilaporkan, seringkali aset-aset tak berwujud ini diabaikan dan tidak dikelola dengan baik. Sementara pada perusahaan start-up, justru aset inilah yang dibentuk, dimunculkan, dikelola, dan dihargai sangat tinggi.
Di sejumlah negara Eropa, selain harus menyusun laporan keuangan, perusahaan publik harus juga menyajikan laporan tentang pengelolaan aset tak berwujud mereka. Bahkan, universitas dan organisasi-organisasi non-profit, belakangan juga mulai rajin mengungkapkan pengelolaan aset takberwujud yang mereka miliki.
Intangible assets ini biasa juga disebut dengan istilah intellectual capital (IC) atau modal intelektual. "IC adalah aset tak berwujud. IC dapat berbentuk kepercayaan pelanggan, brand image, pengendalian distribusi, budaya organisasi, keterampilan manajemen, dan sebagainya," paparnya.
Ulum mengaku selama beberapa tahun terakhir ini ia fokus pada dampak pengelolaan modal intelektual dan pelaporannya melalui sejumlah media, misalnya financial report, annual report, sustainability report, maupun official website organisasi.
Berbasis laporan keuangan misalnya, Ulum menawarkan suatu model untuk mengukur kinerja modal intelektual (intellectual capital performance) yang ia beri label MVAIC (modified value added intellectual coefficient).
Model ini cocok hanya untuk perusahaan konvensional. Sedangkan untuk perbankan syariah, ia memberi label Ib-MVAIC, selain itu Ulum juga menawarkan suatu framework untuk pengungkapan modal intelektual perusahaan publik di Indonesia, yakni intellectual capital disclosure framework Indonesia (ICD-In).
Ulum juga berusaha memetakan komponen modal intelektual yang dituntutkan oleh instrumen akreditasi program studi (IAPS) 4.0.
Sementara itu, Rektor UMM Dr Fauzan mengutip pernyataan yang kerap disampaikan Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMM almarhum Prof Dr Abdul Malik Fadjar bahwa menjadi guru besar pada hakikatnya adalah meninggikan antena.
Tetapi, tinggi saja tidak cukup. Harus membangun antena yang sinyalnya full, yang bisa memberikan resonansi. Resonansi dalam radius lokal maupun internasional.
"Prof Ulum adalah antena yang sinyalnya kuat, diharapkan juga bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan UMM. Kami ingin, seluruh guru besar di UMM jangan merasa lelah. Semua harus pasang antena yang tinggi sesuai dengan kepakaran yang dimiliki. Karena satu hal yang ingin kita capai, kebermanfaatan," kata Fauzan.
Seberapa hebat kampus itu, kata Fauzan, jika radius kebermanfaatannya tidak banyak, maka misi kampus belum dicapai. "UMM dibangun dalam rangka untuk menebarkan kebermanfaatan untuk semua umat. Inilah sebabnya, maka slogan yang selalu diusung adalah 'UMM dari Muhammadiyah untuk Bangsa'," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Pengukuhan yang biasanya diselenggarakan di Dom UMM, kali ini Guru Besar Akuntansi Prof Dr Ihyaul Ulum dikukuhkan di tengah jembatan (outdoor) dengan tujuan agar ada sirkulasi udara yang bagus. Jumlah tamu undangan juga sangat terbatas, yakni hanya 50 orang, termasuk keluarga dan Senat UMM serta menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Dalam pidato ilmiah pengukuhannya, Prof Ihyaul Ulum mengemukakan saat ini banyak usaha yang tidak memiliki aset berwujud atau bermodalkan intelektual (intellectual capital).
"Kita sekarang hidup pada era dimana perusahaan taksi terbesar di dunia, tidak memiliki satupun armada taksi (uber, grab, gojek). Kita hidup pada era dimana perusahaan ritel terbesar tidak memiliki satu pun toko maupun gudang (amazon, tokopedia, sophie, dll). Mereka inilah yang disebut start-up," katanya.
Start-up bukanlah usaha kecil. Ini adalah usaha baru dan baru dimulai. Akhir 2019, valuasi aset Gojek mencapai 10 miliar USD, atau setara Rp 142 triliun. Angka ini berarti 14 kali dari valuasi aset Garuda Indonesia yang ‘hanya’ Rp 11,07 triliun.
Valuasi aset tokopedia (berumur 10 tahun) mencapai 7 miliar USD, setara Rp98 triliun, 15 kali dari valuasi aset Ramayana (berusia 40 tahun) yang ‘hanya’ Rp5 sekian triliun.
Aset terpenting yang mereka miliki adalah intangible assets, aset tak berwujud. Aset ini berbeda dengan aset yang dimiliki oleh Garuda misalnya, yang lebih dominan tangible assets. Intangible assets bentuknya seperti brand, skill, inovasi, dan keterampilan. Aset-aset tak berwujud ini tidak dapat dilaporkan dalam laporan keuangan, karena tidak memenuhi kriteria sebagai aset.
Pada perusahaan ‘konvensional’, sambung Ulum, karena tidak dilaporkan, seringkali aset-aset tak berwujud ini diabaikan dan tidak dikelola dengan baik. Sementara pada perusahaan start-up, justru aset inilah yang dibentuk, dimunculkan, dikelola, dan dihargai sangat tinggi.
Di sejumlah negara Eropa, selain harus menyusun laporan keuangan, perusahaan publik harus juga menyajikan laporan tentang pengelolaan aset tak berwujud mereka. Bahkan, universitas dan organisasi-organisasi non-profit, belakangan juga mulai rajin mengungkapkan pengelolaan aset takberwujud yang mereka miliki.
Intangible assets ini biasa juga disebut dengan istilah intellectual capital (IC) atau modal intelektual. "IC adalah aset tak berwujud. IC dapat berbentuk kepercayaan pelanggan, brand image, pengendalian distribusi, budaya organisasi, keterampilan manajemen, dan sebagainya," paparnya.
Ulum mengaku selama beberapa tahun terakhir ini ia fokus pada dampak pengelolaan modal intelektual dan pelaporannya melalui sejumlah media, misalnya financial report, annual report, sustainability report, maupun official website organisasi.
Berbasis laporan keuangan misalnya, Ulum menawarkan suatu model untuk mengukur kinerja modal intelektual (intellectual capital performance) yang ia beri label MVAIC (modified value added intellectual coefficient).
Model ini cocok hanya untuk perusahaan konvensional. Sedangkan untuk perbankan syariah, ia memberi label Ib-MVAIC, selain itu Ulum juga menawarkan suatu framework untuk pengungkapan modal intelektual perusahaan publik di Indonesia, yakni intellectual capital disclosure framework Indonesia (ICD-In).
Ulum juga berusaha memetakan komponen modal intelektual yang dituntutkan oleh instrumen akreditasi program studi (IAPS) 4.0.
Sementara itu, Rektor UMM Dr Fauzan mengutip pernyataan yang kerap disampaikan Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMM almarhum Prof Dr Abdul Malik Fadjar bahwa menjadi guru besar pada hakikatnya adalah meninggikan antena.
Tetapi, tinggi saja tidak cukup. Harus membangun antena yang sinyalnya full, yang bisa memberikan resonansi. Resonansi dalam radius lokal maupun internasional.
"Prof Ulum adalah antena yang sinyalnya kuat, diharapkan juga bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan UMM. Kami ingin, seluruh guru besar di UMM jangan merasa lelah. Semua harus pasang antena yang tinggi sesuai dengan kepakaran yang dimiliki. Karena satu hal yang ingin kita capai, kebermanfaatan," kata Fauzan.
Seberapa hebat kampus itu, kata Fauzan, jika radius kebermanfaatannya tidak banyak, maka misi kampus belum dicapai. "UMM dibangun dalam rangka untuk menebarkan kebermanfaatan untuk semua umat. Inilah sebabnya, maka slogan yang selalu diusung adalah 'UMM dari Muhammadiyah untuk Bangsa'," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020