Belasan aktivis mahasiswa peduli lingkungan yang tergabung dalam aliansi Arus Bawah Masyarakat Tulungagung (ABMT), Senin, demonstrasi di Mapolres dan DPRD Tulungagung, Jawa Timur, memprotes sikap mandul aparat yang terkesan melakukan pembiaran atas kegiatan penambangan pasir liar di sepanjang bantaran Sungai Brantas setempat.
Tak sekadar melemparkan telur busuk dari jalan raya ke arah gedung DPRD, para mahasiswa pecinta lingkungan yang menempuh pendidikan di berbagai kampus di Indonesia ini sebelumnya juga menghadiahi polisi dengan pohon pisang.
Menggunakan seperangkat pengeras suara yang diangkut di atas pikap, para aktivis yang hanya belasan orang ini terus berorasi penuh semangat mengecam polisi, wakil rakyat dan birokrasi daerah yang dianggap "diam" dan "menutup mata" atas aksi penambangan pasir liar di Sungai Brantas.
Massa bergerak mulai dari Masjid Putih, Kepatihan, menuju titik aksi pertama di depan Mapolres Tulungagung, dilanjutkan ke depan kantor Pemkab dan terakhir di depan gedung DPRD Tulungagung.
"Kalau biasanya di desa jika ada jalan yang rusak lalu ditanami pohon pisang, hari ini kita tanami pohon pisang di Polres Tulungagung untuk memrotes polisi," pekik salah satu orator.
Koordinator lapangan aksi ABMT Wicaksono menyebut ada tiga poin tuntutan yang mereka suarakan dalam aksi mereka.
"Tiga poin tuntutan kami adalah penuntasan kasus-kasus kerusakan lingkungan di Tulungagung oleh aparat kepolisian, penghentian intimidasi dan berbagai bentuk teror terhadap para aktivis lingkungan serta pembersihan mafia tambang pasir," kata Wicaksono dikonfirmasi usai orasi.
Para mahasiswa ini mengancam akan menggelar aksi dengan jumlah massa yang lebih besar/banyak, jika tuntutan mereka tidak diindahkan oleh aparatur terkait.
Baik pihak kepolisian, birokrasi terkait di daerah, provinsi maupun pusat, serta DPRD Tulungagung selaku representasi wakil rakyat.
"Jadi pokok permasalahan yang kami bawa hari ini adalah kerusakan lingkungan di bantaran Sungai Brantas. Yang mana ada beberapa rumah ada yang roboh dikarenakan tambang liar," ujar Wicaksono.
Protes keras tak hanya disuarakan para mahasiswa saat di depan Mapolres Tulungagung, namun juga di sepanjang jalan saat konvoi hingga sampai di depan gedung DPRD Tulungagung.
Saat di depan kantor dewan ini, para aktivis lingkungan tersebut kembali menyuarakan berbagai tuntutan terkait kerusakan lingkungan akibat tambang pasir liar.
Mereka juga tampak kesal karena beberapa lama menggelar aksi di depan kantor dewan, namun tak satupun wakil rakyat keluar menemui.
Padahal menurut orator maupun Wicaksono, surat pemberitahuan akan digelarnya aksi pernyataan sikap ABMT sudah mereka layangkan ke Sekretariat DPRD beberapa hari sebelumnya.
Kesal tidak "dianggap" oleh dewan, para aktivis mahasiswa pecinta lingkungan ini kemudian melemparkan belasan telor busuk ke arah halaman dan gedung DPRD Tulungagung.
"Ini bentuk kekecewaan kami, karena kami sebelumnya pernah mengirimkan surat ke dewan, tapi tidak ada tanggapan," ujarnya.
Mereka juga merasa jengkel kepada para wakil rakyat, lantaran terkesan melempar tanggung jawab.
Sementara itu Ketua Komisi D DPRD Tulungagung Abdulah Ali Munib, mengaku maraknya tambang ilegal dan kerusakan lingkungan bukan wewenang dari DPRD Tulungagung maupun Pemerintah Daerah Tulungagung. Ia berdalih urusan Sungai Brantas berada di bawah kewenangan Provinsi Jawa Timur.
"Bukan kewenangan DPRD Tulungagung atau LH Tulungagung, tapi balai besar Surabaya," ucapnya.
Munib mengklaim pihaknya hanya memiliki kapasitas untuk menyerukan agar penambangan pasir ilegal ditutup. Hal itu pun pernah dilakukan, namun tidak maksimal.
"Kami menyerukan, saat itu memang ditutup, tapi beberapa hari kemudian buka lagi. Jika sesuatu hal yang ilegal dijalankan, di balik itu pasti ada sesuatu," ujarnya berkilah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Tak sekadar melemparkan telur busuk dari jalan raya ke arah gedung DPRD, para mahasiswa pecinta lingkungan yang menempuh pendidikan di berbagai kampus di Indonesia ini sebelumnya juga menghadiahi polisi dengan pohon pisang.
Menggunakan seperangkat pengeras suara yang diangkut di atas pikap, para aktivis yang hanya belasan orang ini terus berorasi penuh semangat mengecam polisi, wakil rakyat dan birokrasi daerah yang dianggap "diam" dan "menutup mata" atas aksi penambangan pasir liar di Sungai Brantas.
Massa bergerak mulai dari Masjid Putih, Kepatihan, menuju titik aksi pertama di depan Mapolres Tulungagung, dilanjutkan ke depan kantor Pemkab dan terakhir di depan gedung DPRD Tulungagung.
"Kalau biasanya di desa jika ada jalan yang rusak lalu ditanami pohon pisang, hari ini kita tanami pohon pisang di Polres Tulungagung untuk memrotes polisi," pekik salah satu orator.
Koordinator lapangan aksi ABMT Wicaksono menyebut ada tiga poin tuntutan yang mereka suarakan dalam aksi mereka.
"Tiga poin tuntutan kami adalah penuntasan kasus-kasus kerusakan lingkungan di Tulungagung oleh aparat kepolisian, penghentian intimidasi dan berbagai bentuk teror terhadap para aktivis lingkungan serta pembersihan mafia tambang pasir," kata Wicaksono dikonfirmasi usai orasi.
Para mahasiswa ini mengancam akan menggelar aksi dengan jumlah massa yang lebih besar/banyak, jika tuntutan mereka tidak diindahkan oleh aparatur terkait.
Baik pihak kepolisian, birokrasi terkait di daerah, provinsi maupun pusat, serta DPRD Tulungagung selaku representasi wakil rakyat.
"Jadi pokok permasalahan yang kami bawa hari ini adalah kerusakan lingkungan di bantaran Sungai Brantas. Yang mana ada beberapa rumah ada yang roboh dikarenakan tambang liar," ujar Wicaksono.
Protes keras tak hanya disuarakan para mahasiswa saat di depan Mapolres Tulungagung, namun juga di sepanjang jalan saat konvoi hingga sampai di depan gedung DPRD Tulungagung.
Saat di depan kantor dewan ini, para aktivis lingkungan tersebut kembali menyuarakan berbagai tuntutan terkait kerusakan lingkungan akibat tambang pasir liar.
Mereka juga tampak kesal karena beberapa lama menggelar aksi di depan kantor dewan, namun tak satupun wakil rakyat keluar menemui.
Padahal menurut orator maupun Wicaksono, surat pemberitahuan akan digelarnya aksi pernyataan sikap ABMT sudah mereka layangkan ke Sekretariat DPRD beberapa hari sebelumnya.
Kesal tidak "dianggap" oleh dewan, para aktivis mahasiswa pecinta lingkungan ini kemudian melemparkan belasan telor busuk ke arah halaman dan gedung DPRD Tulungagung.
"Ini bentuk kekecewaan kami, karena kami sebelumnya pernah mengirimkan surat ke dewan, tapi tidak ada tanggapan," ujarnya.
Mereka juga merasa jengkel kepada para wakil rakyat, lantaran terkesan melempar tanggung jawab.
Sementara itu Ketua Komisi D DPRD Tulungagung Abdulah Ali Munib, mengaku maraknya tambang ilegal dan kerusakan lingkungan bukan wewenang dari DPRD Tulungagung maupun Pemerintah Daerah Tulungagung. Ia berdalih urusan Sungai Brantas berada di bawah kewenangan Provinsi Jawa Timur.
"Bukan kewenangan DPRD Tulungagung atau LH Tulungagung, tapi balai besar Surabaya," ucapnya.
Munib mengklaim pihaknya hanya memiliki kapasitas untuk menyerukan agar penambangan pasir ilegal ditutup. Hal itu pun pernah dilakukan, namun tidak maksimal.
"Kami menyerukan, saat itu memang ditutup, tapi beberapa hari kemudian buka lagi. Jika sesuatu hal yang ilegal dijalankan, di balik itu pasti ada sesuatu," ujarnya berkilah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020