Mengutip weather-atlas.com, temperatur rata-rata Kota Manaus di negara bagian Amazonas, Brazil, sepanjang Mei adalah antara 23,3 - 30,6 derajat Celcius, sedangkan kelembaban udaranya 87 persen.
Amazonas berada agak di bawah garis khatulistiwa sebagaimana dengan hampir tiga perempat wilayah daratan Indonesia, termasuk Jawa dan separuh Sumatera, dua pulau paling banyak dihuni manusia di Nusantara.
Masih mengutip laman yang sama, Jakarta yang menjadi hotspot utama penyebaran virus corona di Indonesia memiliki rata-rata suhu sepanjang Mei antara 25,4 sampai dengan 32,5 derajat Celcius, dengan kelembaban 82 persen.
Dalam kata lain, keadaan suhu dan kelembaban udara di Amazonas dan sebagian besar wilayah Indonesia, dalam contoh ini Jakarta, nyaris sama.
Brazil dan Indonesia memang sama-sama negara tropis dan berada di belahan Bumi selatan.
Beberapa waktu lalu berkembang teori bahwa negara dengan suhu dan kelembaban tinggi seperti Brazil dan Indonesia tak akan mengalami serangan pandemi virus corona sedahsyat mereka yang berada di belahan utara seperti China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Italia, Iran, Spanyol dan sebagian besar Eropa termasuk kini Rusia yang bergantian menjadi episentrum pandemi virus corona.
Masih percayakah Anda dengan teori itu?
Memang hak Anda untuk terus berkeyakinan bahwa panas dan kelembaban tinggi bisa menghentikan invasi virus corona baru atau SARS-CoV-2 yang menciptakan penyakit COVID-19 itu. Tetapi apa yang terjadi di Brazil, termasuk Manaus di Amazonas, mungkin bisa memberi perspektif lain kepada Anda.
Selasa 19 Mei 2020, Reuters mengisahkan para dokter Brazil yang bergegas mengevakuasi warga-warga suku asli Brazil di pedalaman Amazonas ke kota Manaus.
Rupanya pandemi itu sudah demikian cepat menjalar ke wilayah pedalaman di Brazil utara yang lebih jarang penduduknya dan minim transportasi sehingga pesawat terbang menjadi tumpuan.
"Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah banyak. Kami harus lebih sering lagi menerbangkan pesawat, ini peluang terakhir menyelamatkan nyawa mereka," kata Edson Santos Rodrigues, dokter spesialis anak yang bekerja pada pesawat evakuasi medis (medevac) untuk negara bagian Amazonas.
Senin waktu setempat dinas pelayanan kesehatan suku asli pemerintah Brazil yang biasa disebut Sesai melaporkan 23 warga suku asli meninggal dunia akibat COVID-19.
Kebanyakan dari yang meninggal dunia dan terpapar COVID-19 adalah warga asli yang pindah ke daerah urban yang kemudian kembali ke komunitasnya ketika mereka tak menyadari telah terpapar virus corona.
Mereka tak tahu telah terpapar karena amat rendahnya tes COVID-19 dan penelusuran kontak di negeri ini, apalagi Presiden Jair Bolsonaro ngotot menganggap pandemi itu utopia.
Di ambang malapetaka
Bahkan tatkala jumlah terpapar dan yang meninggal dunia kian banyak, Bolsonaro tetap tak peduli sampai menteri kesehatannya sendiri Nelson Teich mundur karena tak tahan berjalan sendiri tanpa dukungan presidennya.
Teich cuma bisa bertahan 29 hari di jabatan itu setelah menggantikan pendahulunya Luiz Henrique Mandetta April lalu karena yang satu ini ngotot mewajibkan social distancing yang ditolak habis-habisan Bolsonaro.
Kurva infeksi virus corona Brazil sendiri kini menjadi salah satu yang paling buruk di dunia karena bergerak cepat dari buruk satu ke buruk lainnya.
Laman Coronaviurs Resource Center dari Johns Hopskins University, Amerika Serikat, yang menjadi acuan universal untuk data infeksi COVID-19 di seluruh dunia, Kamis 21 Mei pukul 18.30 WIB menunjukkan posisi Brazil berada di atas Inggris, Spanyol dan Italia pada posisi ketiga infeksi terbanyak di dunia.
Dengan jumlah infeksi 291.579 orang, Brazil kini hanya kalah dari Amerika Serikat dan Rusia. Mungkin beberapa jam lagi bisa menyalip Rusia pada posisi kedua.
Brazil juga dengan cepat menyalip Iran, Jerman dan China pada posisi keenam negara dengan jumlah korban meninggal terbanyak di dunia dengan 18.859 nyawa melayang.
Para pakar kesehatan yakin jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat, mengingat sangat minimnya tes COVID-19 di negara berpenduduk 210 juta orang ini.
Menurut Bloomberg, selama satu pekan lalu saja, Brazil mengambil porsi 13 persen dari total infeksi baru di seluruh dunia.
Selasa pekan lalu, negeri ini menyalip Jerman pada peringkat ketujuh negara yang memiliki kasus terkonfirmasi terbanyak. Hanya dalam tempo tujuh hari negara Amerika Latin ini menyalip lagi Prancis, Italia, Spanyol dan Inggris.
Tak lama lagi Brazil bakal menyisihkan Rusia pada posisi kedua atau hanya kalah dari Amerika Serikat yang sama-sama memiliki presiden yang menolak keumuman dalam kaitannya dengan pandemi COVID-19.
Stasiun penyiaran global asal Jerman, Deutsche Welle (DW), sampai menyebut "Brasil di ambang malapetaka".
Manaus adalah salah satu petunjuk malapetaka itu.
Kota ini baru-baru ini harus menguburkan secara massal korban COVID-19. Sedangkan di Sao Paulo, yang merupakan negara bagian paling parah tertimpa pamdemi ini, kapasitas rawat rumah sakit-rumah sakit sudah mencapai 90 persen.
Itu artinya hanya soal waktu saja, sistem pelayanan kesehatan Sao Paulo ambruk seperti Guayaquil di Ekuador, meskipun belakangan Brazil memohon bantuan Kuba untuk mengirimkan dokter-dokternya.
Memperlambat, tidak menghentikan
Keadaan geografis Brazil tak jauh beda dari beberapa tetangganya, termasuk Argentina dan Bolivia.
Namun berbeda dari Bolsonaro, para pemimpin Argentina dan Bolivia mengambil langkah cepat nan radikal begitu ada petunjuk virus corona bakal menyebar cepat.
President Bolivia Jeanine Anez dan Presiden Argentina Alberto Fernández sama-sama menerapkan lockdown yang keras, termasuk menutup seketika semua akses udara, laut dan darat, serta wajib karantina untuk mereka yang terpapar.
Hasilnya, ketika belasan ribu orang meninggal dunia di Brazil, sampai 30 April lalu "hanya" ada 55 korban meninggal dunia dan 1.053 kasus infeksi di Bolivia.
Sedangkan di Argentina angkanya 373 korban meninggal dunia sampai 19 Mei lalu. Argentina menerapkan lockdown skala nasional sejak 19 Maret begitu kasus ke-100 terjadi.
Bolivia dan Brazil adalah negara-negara tropis bercuaca dan berkelambaban hampir sama dengan Indonesia.
Keduanya bisa mengalami nasib yang sama, tetapi perlakuan kebijakan telah membedakan mereka menikmati hasil kebijakan yang bagai bumi dan langit, dalam memerangi pandemi COVID-19.
Yang jelas apa yang terjadi di Brazil, Bolivia dan Argentina, menunjukkan COVID-19 tak mengenal barikade cuaca dan alam, apalagi lembaga-lembaga riset ilmiah di seluruh dunia termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia menyimpulkan bahwa virus corona telah bermutasi sedemikian rupa sehingga karakter virus antara satu wilayah dengan wilayah lainnya bisa saling berbeda.
Penelitian terbaru Universitas Princeton dan Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Senin 18 Mei 2020, menyimpulkan bahwa kelembaban dan suhu tinggi hanya memperlambat, bukan menghentikan penyebar virus corona.
Penelitian ini juga menyebutkan bahwa korelasi antara kondisi cuaca lokal dan penularan virus adalah lemah.
Selain itu, tanpa imunitas dan kecepatan patogen, faktor cuaca cuma memainkan peran kecil dalam mengendalikan penularan virus corona.
"Sepertinya untuk saat ini iklim tidaklah menentukan penyebaran (virus corona)," kata salah seorang penelitinya, Rachel Baker, dari Princeton Environmental Institute.
Studi lainnya dari Universitas Harvard menghipotesiskan bahwa panas, kelembaban, dan sinar matahari yang banyak, tak akan menghentikan penyebaran virus corona.
Cuaca memang bisa menghambat penyebaran infeksi asalkan dibarengi dengan patuh kepada aturan-aturan yang mengekang virus menyebar, seperti social distancing atau jaga jarak sosial.
"Cara terbaik dalam menganggap cuaca adalah menempatkannya sebagai faktor kedua (bukan yang utama)," kata Mohammad Jalali, asisten profesor pada Fakultas Kedokteran Universitas Harvard yang meneliti dampak cuaca terhadap penyebaran virus.
Dan kontras antara cara Brazil menangani pendemi ini dengan bagaimana Bolivia dan Argentina menjinakkan COVID-19 adalah buktinya.
Faktor cuaca dalam kerangka penyebaran virus tetap membutuhkan intervensi manusia, yakni aturan-aturan pencegahan penularan yang diberlakukan konsisten dan keras seperti ditempuh Bolivia dan Argentina, entah lockdown, tes dan penelusuran kontak yang ekstensif, social distancing, Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), dan lainnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Amazonas berada agak di bawah garis khatulistiwa sebagaimana dengan hampir tiga perempat wilayah daratan Indonesia, termasuk Jawa dan separuh Sumatera, dua pulau paling banyak dihuni manusia di Nusantara.
Masih mengutip laman yang sama, Jakarta yang menjadi hotspot utama penyebaran virus corona di Indonesia memiliki rata-rata suhu sepanjang Mei antara 25,4 sampai dengan 32,5 derajat Celcius, dengan kelembaban 82 persen.
Dalam kata lain, keadaan suhu dan kelembaban udara di Amazonas dan sebagian besar wilayah Indonesia, dalam contoh ini Jakarta, nyaris sama.
Brazil dan Indonesia memang sama-sama negara tropis dan berada di belahan Bumi selatan.
Beberapa waktu lalu berkembang teori bahwa negara dengan suhu dan kelembaban tinggi seperti Brazil dan Indonesia tak akan mengalami serangan pandemi virus corona sedahsyat mereka yang berada di belahan utara seperti China, Korea Selatan, Amerika Serikat, Italia, Iran, Spanyol dan sebagian besar Eropa termasuk kini Rusia yang bergantian menjadi episentrum pandemi virus corona.
Masih percayakah Anda dengan teori itu?
Memang hak Anda untuk terus berkeyakinan bahwa panas dan kelembaban tinggi bisa menghentikan invasi virus corona baru atau SARS-CoV-2 yang menciptakan penyakit COVID-19 itu. Tetapi apa yang terjadi di Brazil, termasuk Manaus di Amazonas, mungkin bisa memberi perspektif lain kepada Anda.
Selasa 19 Mei 2020, Reuters mengisahkan para dokter Brazil yang bergegas mengevakuasi warga-warga suku asli Brazil di pedalaman Amazonas ke kota Manaus.
Rupanya pandemi itu sudah demikian cepat menjalar ke wilayah pedalaman di Brazil utara yang lebih jarang penduduknya dan minim transportasi sehingga pesawat terbang menjadi tumpuan.
"Jumlah pasien COVID-19 terus bertambah banyak. Kami harus lebih sering lagi menerbangkan pesawat, ini peluang terakhir menyelamatkan nyawa mereka," kata Edson Santos Rodrigues, dokter spesialis anak yang bekerja pada pesawat evakuasi medis (medevac) untuk negara bagian Amazonas.
Senin waktu setempat dinas pelayanan kesehatan suku asli pemerintah Brazil yang biasa disebut Sesai melaporkan 23 warga suku asli meninggal dunia akibat COVID-19.
Kebanyakan dari yang meninggal dunia dan terpapar COVID-19 adalah warga asli yang pindah ke daerah urban yang kemudian kembali ke komunitasnya ketika mereka tak menyadari telah terpapar virus corona.
Mereka tak tahu telah terpapar karena amat rendahnya tes COVID-19 dan penelusuran kontak di negeri ini, apalagi Presiden Jair Bolsonaro ngotot menganggap pandemi itu utopia.
Di ambang malapetaka
Bahkan tatkala jumlah terpapar dan yang meninggal dunia kian banyak, Bolsonaro tetap tak peduli sampai menteri kesehatannya sendiri Nelson Teich mundur karena tak tahan berjalan sendiri tanpa dukungan presidennya.
Teich cuma bisa bertahan 29 hari di jabatan itu setelah menggantikan pendahulunya Luiz Henrique Mandetta April lalu karena yang satu ini ngotot mewajibkan social distancing yang ditolak habis-habisan Bolsonaro.
Kurva infeksi virus corona Brazil sendiri kini menjadi salah satu yang paling buruk di dunia karena bergerak cepat dari buruk satu ke buruk lainnya.
Laman Coronaviurs Resource Center dari Johns Hopskins University, Amerika Serikat, yang menjadi acuan universal untuk data infeksi COVID-19 di seluruh dunia, Kamis 21 Mei pukul 18.30 WIB menunjukkan posisi Brazil berada di atas Inggris, Spanyol dan Italia pada posisi ketiga infeksi terbanyak di dunia.
Dengan jumlah infeksi 291.579 orang, Brazil kini hanya kalah dari Amerika Serikat dan Rusia. Mungkin beberapa jam lagi bisa menyalip Rusia pada posisi kedua.
Brazil juga dengan cepat menyalip Iran, Jerman dan China pada posisi keenam negara dengan jumlah korban meninggal terbanyak di dunia dengan 18.859 nyawa melayang.
Para pakar kesehatan yakin jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat, mengingat sangat minimnya tes COVID-19 di negara berpenduduk 210 juta orang ini.
Menurut Bloomberg, selama satu pekan lalu saja, Brazil mengambil porsi 13 persen dari total infeksi baru di seluruh dunia.
Selasa pekan lalu, negeri ini menyalip Jerman pada peringkat ketujuh negara yang memiliki kasus terkonfirmasi terbanyak. Hanya dalam tempo tujuh hari negara Amerika Latin ini menyalip lagi Prancis, Italia, Spanyol dan Inggris.
Tak lama lagi Brazil bakal menyisihkan Rusia pada posisi kedua atau hanya kalah dari Amerika Serikat yang sama-sama memiliki presiden yang menolak keumuman dalam kaitannya dengan pandemi COVID-19.
Stasiun penyiaran global asal Jerman, Deutsche Welle (DW), sampai menyebut "Brasil di ambang malapetaka".
Manaus adalah salah satu petunjuk malapetaka itu.
Kota ini baru-baru ini harus menguburkan secara massal korban COVID-19. Sedangkan di Sao Paulo, yang merupakan negara bagian paling parah tertimpa pamdemi ini, kapasitas rawat rumah sakit-rumah sakit sudah mencapai 90 persen.
Itu artinya hanya soal waktu saja, sistem pelayanan kesehatan Sao Paulo ambruk seperti Guayaquil di Ekuador, meskipun belakangan Brazil memohon bantuan Kuba untuk mengirimkan dokter-dokternya.
Memperlambat, tidak menghentikan
Keadaan geografis Brazil tak jauh beda dari beberapa tetangganya, termasuk Argentina dan Bolivia.
Namun berbeda dari Bolsonaro, para pemimpin Argentina dan Bolivia mengambil langkah cepat nan radikal begitu ada petunjuk virus corona bakal menyebar cepat.
President Bolivia Jeanine Anez dan Presiden Argentina Alberto Fernández sama-sama menerapkan lockdown yang keras, termasuk menutup seketika semua akses udara, laut dan darat, serta wajib karantina untuk mereka yang terpapar.
Hasilnya, ketika belasan ribu orang meninggal dunia di Brazil, sampai 30 April lalu "hanya" ada 55 korban meninggal dunia dan 1.053 kasus infeksi di Bolivia.
Sedangkan di Argentina angkanya 373 korban meninggal dunia sampai 19 Mei lalu. Argentina menerapkan lockdown skala nasional sejak 19 Maret begitu kasus ke-100 terjadi.
Bolivia dan Brazil adalah negara-negara tropis bercuaca dan berkelambaban hampir sama dengan Indonesia.
Keduanya bisa mengalami nasib yang sama, tetapi perlakuan kebijakan telah membedakan mereka menikmati hasil kebijakan yang bagai bumi dan langit, dalam memerangi pandemi COVID-19.
Yang jelas apa yang terjadi di Brazil, Bolivia dan Argentina, menunjukkan COVID-19 tak mengenal barikade cuaca dan alam, apalagi lembaga-lembaga riset ilmiah di seluruh dunia termasuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia menyimpulkan bahwa virus corona telah bermutasi sedemikian rupa sehingga karakter virus antara satu wilayah dengan wilayah lainnya bisa saling berbeda.
Penelitian terbaru Universitas Princeton dan Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Senin 18 Mei 2020, menyimpulkan bahwa kelembaban dan suhu tinggi hanya memperlambat, bukan menghentikan penyebar virus corona.
Penelitian ini juga menyebutkan bahwa korelasi antara kondisi cuaca lokal dan penularan virus adalah lemah.
Selain itu, tanpa imunitas dan kecepatan patogen, faktor cuaca cuma memainkan peran kecil dalam mengendalikan penularan virus corona.
"Sepertinya untuk saat ini iklim tidaklah menentukan penyebaran (virus corona)," kata salah seorang penelitinya, Rachel Baker, dari Princeton Environmental Institute.
Studi lainnya dari Universitas Harvard menghipotesiskan bahwa panas, kelembaban, dan sinar matahari yang banyak, tak akan menghentikan penyebaran virus corona.
Cuaca memang bisa menghambat penyebaran infeksi asalkan dibarengi dengan patuh kepada aturan-aturan yang mengekang virus menyebar, seperti social distancing atau jaga jarak sosial.
"Cara terbaik dalam menganggap cuaca adalah menempatkannya sebagai faktor kedua (bukan yang utama)," kata Mohammad Jalali, asisten profesor pada Fakultas Kedokteran Universitas Harvard yang meneliti dampak cuaca terhadap penyebaran virus.
Dan kontras antara cara Brazil menangani pendemi ini dengan bagaimana Bolivia dan Argentina menjinakkan COVID-19 adalah buktinya.
Faktor cuaca dalam kerangka penyebaran virus tetap membutuhkan intervensi manusia, yakni aturan-aturan pencegahan penularan yang diberlakukan konsisten dan keras seperti ditempuh Bolivia dan Argentina, entah lockdown, tes dan penelusuran kontak yang ekstensif, social distancing, Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), dan lainnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020