Child Protection Officer Unicef Indonesia, Derry Fahrizal Ulum mengatakan Pulau Jawa adalah kunci untuk menyelesaikan kasus perkawinan usia anak yang cukup tinggi di Indonesia.

Derry saat diskusi webinar Media dan Perlindungan Anak, Rabu mengatakan, melihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jika masalah perkawinan usia anak di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah berhasil diselesaikan, maka sama halnya pemerintah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan usia anak secara nasional.

"Meskipun prevalensi tertinggi diduduki Provinsi Sulawesi Barat, namun secara absolut, peringkat tertinggi perkawinan usia anak di Indonesia ditempati Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah," ujarnya dalam diskusi webinar bertajuk "Pandemi COVID-19 & Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Jawa Timur" itu.

Ditambahkan Derry, di Jatim sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Secara nasional, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2018 yang menyebutkan, penurunan persentase perkawinan di bawah 18 dan 15 tahun cenderung lambat dalam 10 tahun terakhir.

Sementara berdasarkan proyeksi Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, diperkirakan perkawinan anak perempuan mencapai 1.220.900.

Terkait dengan masa pandemik COVID-19 ini, Derry menuturkan, berdasarkan rilis dari lembaga-lembaga di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini masih terlalu dini mengaitkan antara naiknya angka perkawinan usia anak dengan terjadinya pandemik COVID-19.

"Namun jika dalam jangka panjang akan mungkin ini berkorelasi. Karena ini berhubungan dengan masalah ekonomi dan terhentinya kegiatan di masyarakat," ujar Derry.

Penanggung jawab Program Geliat Universitas Airlangga Surabaya, Dr Nyoman Anita Damayanti menyatakan bahwa pengetahuan masalah kesehatan reproduksi itu sangat penting bagi setiap perempuan.

"Dari hasil penelitian yang kami lakukan sejak 2015 hingga saat ini diketahui, bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan, maka mereka cenderung untuk tidak menikah di usia dini," katanya.

"Namun demikian, tingginya pendidikan seorang perempuan, tidak menjamin pengetahuan mereka seputar kesehatan reproduksi juga tinggi. Ini yang harus diwaspadai," ujar Nyoman Anita Damayanti yang juga sebagai pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair tersebut.

Menurut Nyoman, banyak perempuan yang tidak mengetahui risiko kehamilan di usia muda itu seperti apa, meskipun pendidikan mereka tinggi.

Dia juga menyebutkan, angka kematian ibu hamil di masa pandemik ini, sampai dengan bulan April 2020, mencapai 180 kasus. Ini adalah angka yang cukup tinggi menurutnya.  

Hal lain yang perlu menjadi perhatian di masa pandemik ini adalah, terdapat 590 ribu perempuan di Jatim yang akan melahirkan di saat pandemik. 

"Mereka harus memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk menjamin keselamatan ibu dan bayi, padahal dalam kondisi saat ini banyak pihak memilih untuk tidak mengunjungi fasilitas kesehatan dengan alasan memutus penularan COVID-19. Ini yang perlu diwaspadai. Ancaman kematian ibu hamil akibat tidak mengunjungi fasilitas kesehatan," ucapnya.
 
Sementara itu Presidium Jaringan AKSI, Rani Hastari mengemukakan, terkait upaya menekan angka perkawinan usia anak, banyak kebijakan-kebijakan di daerah yang alih-alih melindungi kaum perempuan ternyata justru membuat diskriminasi.

"Alih-alih melindungi anak, ternyata banyak aturan yang justru membatasi ruang tumbuh kembang anak," ujar Rani. (*)

 

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020