Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Laila Mufidah membantah adanya dugaan reklamasi atau pengurukan di kawasan Pantai Kenjeran, Kota Surabaya, Jawa Timur,  ada kaitannya dengan pencalegan di PKB.

"Saya kaget saat baca koran, kok nama saya disebut-sebut. Kalau nyaleg memang dia (oknum jual beli lahan reklamasi) pernah jadi caleg di PKB. Kebetulan itu kompetitor saya di dapil 3," kata Laila Mufidah di Surabaya, Kamis.

Menurut dia, pihaknya mengaku baru mengetahui kabar tersebut.  Namun, Laila menegaskan bahwa kasus dugaan jual beli lahan reklamasi Kenjeran tidak ada kaitannya dengan soal urusan pencalegan di PKB pada Pemilu 2019. Sedangkan reklamasi sendiri sudah ada sejak 1990.

"Mereka juga sudah bayar PBB juga," ujarnya.
 
Politikus PKB ini mengatakan bahwa reklamasi melanggar Perda Provinsi Jatim Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pupau-pulau kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038. Dimana dalam Perda 1/2018 disebutkan bahwa setiap kegiatan reklamasi harus seizin Gubernur Jatim yang mempunyai wewenang 12 mil dari bibir pantai.

Meski demikian, Laila menilai adanya kejadian ini karena kurangnya sosialisasi Pergub 1/2018. Untuk itu, lanjut dia, pihaknya meminta kejelasan dari Pemerintah Kota Surabaya yang sebelumnya sudah mengetahui hal ini.

"Selain itu, perlu adanya tanggul untuk bisa membatasi reklamasi di wilayah setempat," ujarnya.

Dikertahui ada ratusan warga yang tinggal di kawasan reklamasi Pantai kenjeran. Warga semula membelinya dengan harga Rp50 juta hingga Rp15 juta sebagai ganti rugi atas tanah urukan yang dikeluarkan pembeli. Salah seorang oknum yang terlibat dalam jual beli lahan diduga adalah oknum caleg PKB yang gagal di Pileg 2019.

Salah seorang warga kelurahan Sukolilo, Hanafi  mengatakan kalau pengurukan itu sudah dilakukan sejak tahun 1990. Menurutnya, warga mengiistilahkannya dengan revitalisasi bukan reklamasi, karena ini adalah tanah milik nenek moyangnya yang tergerus air laut. 

Menurut dia, pengurukan itu atas inisiatif warga yang sudah disetujui oleh pihak RT, RW dan kelurahan saat itu. "Setiap tanah yang diuruk juga sudah terbit SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sekitar seratus jumlahnya. Tapi belum semua lahan sudah teruruk, baru sekitar 50 persen saja," ujarnya.

Lebih lanjut Hanafi mengatakan kalau warga punya nomor urut pengurukan. Dibutuhkan sekitar 70 dumb truk sirtu (pasir dan batu) untuk menguruk lahan seluas 7 kali 12 meter persegi. "Kalau soal jual beli itu bukan jual beli lahan, melainkan ganti biaya pengurukan," katanya.

Hanafi menegaskan kalau warga selama ini tidak tahu kalau penggurukan itu melanggar aturan, karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi.

Setelah mendapat peringatan dari Komisi C DPRD Surabaya untuk menghentikan pengurukan, Hanafi menjelaskan akan menyampaikannya ke warga. "Terserah warga nantinya bagaimana," katanya.



 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019