Idealnya, negara selalu hadir dalam setiap persoalan yang ada di tengah masyarakatnya. Bukan hanya dalam isu-isu internasional dalam kedudukannya sebagai entitas negara yang diakui negara-negara lain, tetapi juga dalam urusan ketatanegaraan dan hukum di wilayah domestiknya.

Dalam pengertian terakhir ini, negara yang berdaulat berarti negara mempunyai kuasa penuh terhadap tanah, air, dan udara di wilayah teritorialnya yang diakui berdasar hukum internasional.

Di sini, institusi negara harus berdiri tegak, dengan segala kehormatan dan kekuasaan esklusif yang dimilikinya. Jika tidak, maka yang biasanya akan terjadi adalah munculnya "negara-negara kecil".

(Ibarat) negara dalam negara. Ketidakhadiran negara dalam persoalan yang muncul dan berkembang di tengah masyarakatnya juga bisa memicu ketidakpastian hukum, kekacauan politik, dan paling ekstrim memupuk bibit disintegrasi.

Itu sebabnya representasi negara mutlak harus hadir dalam setiap sendi kehidupan bangsanya. Di laut, di hutan, di jalan, di pasar, di sungai, hingga bahkan ke urusan-urusan sosial-kemasyarakatan yang kecil dan sepele sekalipun.

Bentuk dan aplikasinya seperti apa, ya tentu melalui tata penyelenggara pemerintahan yang sah dan berdaulat. Juga melalui berbagai paket regulasi plus perangkat penegak hukum yang berfungsi sebagai kontrol negara atas kehidupan rakyatnya.

Penambangan pasir liar nan ilegal di sepanjang aliran Sungai Brantas, sebagaimana dengan kasat mata bisa dilihat di wilayah Blitar-Tulungagung hingga Kediri, menjadi contoh fenomena yang menarik untuk disimak.

Regulasinya ada. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pasal 158 tentang Pertambangan Galian C dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Penegak hukum dan penegak perda-nya juga ada. Polisi dan Satpol PP.

Namun, uniknya, dua-duanya seolah "tidak berkutik" menghadapi mafia penambang pasir yang beroperasi di sepanjang aliran Sungai Brantas. Puluhan diesel dongfeng penyedot pasir dan alat berat dibiarkan beroperasi bertahun-tahun tanpa ada penindakan tegas.

Satpol PP Provinsi Jatim yang selama ini dikenal sebagai garda depan penegakan perda/pergub menyatakan tidak memiliki kewenangan penindakan karena persoalan galian C diatur oleh Undang-undang. Sebuah aturan regulasi dengan derajat lebih tinggi dibanding perda/pergub yang menjadi tupoksi dan kewenangan institusi Trantib/Satpol.

Samentara di pihak kepolisian, mereka juga tidak kunjung melakukan penindakan yang tegas dan terukur dengan dalih masalah penambangan pasir Sungai Brantas di luar kewenangan langsung mereka. Penambangan pasir liar meski ilegal tidak masuk ranah pidana maupun perdata.

Jadi, dampaknya bisa dibaca (dilihat) dengan sangat kasat mata. Penambangan pasir liar semakin merajalela. Kerusakan lingkungan kian parah.

Perum Jasa Tirta selaku pengelola sungai terpanjang kedua di Provinsi Jawa Timur ini mencatat penurunan (degradasi) level dasar sungai mencapai 4-7 meter. Beberapa titik area galian bahkan lebih dalam lagi. Kontur sungai berubah dan mengancam pemukiman penduduk maupun infrastruktur jalan nasional.

Namun, apa yang dilakukan aparat penegak hukum? Tidak ada. Negara hadir sebatas melakukan sosialisasi semu yang dilakukan jajaran Satpol PP Jatim dengan mengundang semua pemangku kepentingan terkait.

Penambang dan pengusaha tambang diundang sebatas diimbau agar tidak menambang pasir menggunakan mesin penyedot pasir, apalagi alat berat. Tidak ada larangan tegas yang mengancam dan memberi efek jera.

Jalan persuasif yang bersifat pemberdayaan ekonomi pun ditawarkan dengan membangun UKM/UMKM yang bersifat komunal, namun memberi peluang ekonomi jangka panjang (katanya).

Namun, apakah itu solutif? Menjadi jalan ketiga yang dipilih oleh masyarakat sekitar untuk beralih dari penambang pasir liar yang marak beroperasi di sepanjang Sungai Brantas? Jawabnya sama sekali tidak.

Kalau sasarannya penambang manual mungkin masih bisa, karena pendapatan mereka relatif kecil dibanding lelah dan risiko nyawa yang dipertaruhkan.

Tapi, bagi penambang besar dengan perangkat diesel dongfeng penyedot pasir dan alat berat yang nilai modalnya saja ratusan juta rupiah, tentu konsep pemberdayaan ekonomi ibarat menabur garam di lautan.

Percuma! Omzet mereka dari penambangan pasir menggunakan perangkat diesel dan alat berat bisa mencapai ratusan juta rupiah sehari. Bahkan miliaran rupiah jika semua dongfeng dan alat berat yang berjumlah lebih dari 47 unit plus 100-an dump truk digabung.

Dengan asumsi satu unit dump truk bisa bolak-balik mengangkut pasir hingga 10 kali dan dengan harga pasir sekitar Rp650 ribu per rit/DT, maka sebulan beroperasi nilai perputaran uang dari  penambangan pasir ilegal di sepanjang Sungai Brantas (di perbatasan wilayah Tulungagung-Blitar saja) bisa mencapai puluhan miliar rupiah.

Bandingkan dengan peluang ekonomi dari UMKM yang harus merintis dari nol. Meski modal dibantu pemerintah namun hasil belum pasti, mendapat keuntungan besar dengan cara instan di sungai yang menyimpan harta karun begitu besar menjadi pilihan paling rasional bagi mereka. Meski itu harus menabrak regulasi, menabrak Undang-undang. Mengangkangi kedaulatan negara atas bumi, air dan udara di wilayah yang menjadi teritori kekuasaannya.

Tak heran rumor suap ke oknum-oknum di institusi negara, di semua institusi terkait santer berkembang. Khususnya ke jaringan penegak hukum dengan nominal suap mencapai ratusan juta setiap bulannya.

Kebenaran soal ini tentu hanya bisa dijawab oleh setiap lembaga berwenang yang menjadi cerminan atau representasi negara. Menindak dan menertibkan.

Faktanya sejak 2017 hingga sekarang, aktivitas penambangan pasir liar yang jelas-jelas melanggar Undang-undang 4 Tahun 2009 pasal 158 tentang pertambangan galian C dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 itu tetap dibiarkan.

Padahal dalam regulasi itu jelas disebutkan ancaman, bahwa setiap orang yang tanpa izin menambang batu kali, kerikil sungai, pasir sungai, pasir urug, pasir pasang dan sebagainya, dipidana paling lama 10 tahun dan denda Rp10 miliar.

Tapi, apakah ini cukup untuk membuat penambang takut? Selama aktivitas ilegal oleh mafia penambangan pasir ini berkelindan dengan jaringan oknum penegak hukum, dan selama para fihak ini menikmati uang suap untuk melakukan pembiaran atas pelanggaran aturan perundangan yang ada, selama itu pula negara akan terus kalah.

Bukan karena secara formil negara tidak hadir sih, tetapi karena negara benar-benar tidak berdaya menghadapi cukong-cukong dibalik penambangan  pasir ilegal yang rutin memberi upeti dan aneka hadiah mewah pada oknum 'pejabat jahat' yang sebenarnya memiliki kewenangan dan menjadi representasi negara.

Rakyat sebenarnya protes namun tidak berdaya. Tak heran jika kemudian sekelompok penggiat lingkungan seperti PPLH Mangkubumi memilih mengadukan masalah perusakan lingkungan di sepanjang aliran Sungai Brantas itu ke Kapolri Jenderal Pol Idham Azis.

Isu yang diangkat dalam tajuk ini mungkin skalanya terkesan lokal. Namun, preseden kecil ini jika terus dibiarkan bisa menjadi penyakit jangka panjang yang menjalar ke mana-mana.

Masak mau menunggu bencana besar atau kasus besar macam insiden "Salim Kancil" terjadi baru negara seolah hadir dengan segala kegagahan dan berwibawaannya? Janganlah.

Pak Kapolri harus segera suprevisi dan memerintahkan unit di bawahnya untuk bertindak atas nama negara. Kasihan Pak Jokowi nanti namanya ikut tercoreng gara-gara masalah lokal seperti ini. Salam lestari. (*)

 

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019