Pengelola Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna berupaya terus menekan agar arus kunjungan wisata di kawasan konservasi mangrove di Pantai Clungup Kabupaten Malang secara bertahap berkurang, karena saat ini sudah melebihi kapasitas untuk melakukan upaya konservasi.
Pendiri CMCTiga Warna Lia Putrinda di Malang, Minggu, mengaku arus kunjungan wisatawan di kawasan pantai konservasi tersebut sudah terlalu banyak.
"Tahun 2018, pengunjung Pantai Clungup dan sekitarnya mencapai 55 ribu orang lebih. Ini sudah terlalu banyak (besar)," kata Lia.
Menurut Lia yang juga Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, jumlah kunjungan tersebut terlalu besar, kurang cocok dengan misi mengembangkan objek wisata, yakni konservasi dan edukasi prolingkungan yang berkelanjutan.
"Idealnya jumlah pengunjung di kawasan objek wisata ini tidak lebih dari 30.000 per tahun," katanya.
Karena alasan itulah, Lia tidak mudah menerima bantuan jika ada persyaratan yang justru tidak mendukung kelestarian lingkungan, termasuk bantuan dari pemerintah. Ia mencontohkan ada bantuan yang mensyaratkan dibangun papan nama dengan konstruksi beton.
"Terpaksa kami tidak mau dan syarat yang kami ajukan untuk pemberi bantuan harus mendukung pelestarian lingkungan," ucapnya.
Institusi yang telah membantu pengembangan kawasan di kawasan ekowisata mangrove dan sekitarnya antara lain dari perguruan tinggi, Kementerian Pariwisata, Kementerian KKP, Kementerian LHK, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
"Memang tidak banyak nilai bantuannya, karena kami memang tidak berharap bantuan itu nilainya besar. Kami khawatir justru mengubah pola pikir dari pengelolanya. Kami ingin pengelolanya betul-betul tertanam sifat pengabdian demi melestarikan lingkungan," kata Lia.
Dari 117 hektare kawasan wisata, 71 hektare berupa hutan mangrove, 30 hektare berupa terumbu karang. Ada 10 hektare yang merupakan kawasan resapan air, namun kondisinya kritis sehingga direncanakan akan dipulihkan pada 2020 nanti.
Dari mengelola pantai, pendapatan kotor yang diperoleh mencapai Rp2 miliar per tahun. Dari pendapatan sebesar itu, 30 persen dikembalikan pada pajak, sisanya untuk dana operasional dan pengembangan kawasan.
"Ke depan kami rencanakan untuk mengelola produk kuliner berbasis mangrove dan kegiatan lainnya sebagai pengganti jika pengunjung di sana betul-betul berkurang. Selain itu, juga mengkreasikan berbagai kegiatan yang menarik, namun tetap mempertahankan bingkai pelestarian lingkungan," ujarnya.
Untuk mengurangi arus kunjungan wisata di kawasan pantai tersebut, pengelola CMC Tiga Warna memberlakukan tutup bagi pengunjung pada setiap hari Kamis.
Selain itu, pada perayaan Idul Fitri tutup selama 14 hari, begitu juga Natal tutup mulai 23 Desember hingga 3 Januari tahun berikutnya, sehingga pengelola bisa bersosialisasi dan melakukan kegiatan keagamaan dengan nyaman.
Pengunjung (wisatawan) pantai tersebut, lebih banyak wisatawan asing daripada wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara, di antaranya dari benua Eropa, Amerika maupun Asia. Mereka ke sana terutama ingin belajar tentang mengembangkan wisata edukasi berbasis pelestarian lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Pendiri CMCTiga Warna Lia Putrinda di Malang, Minggu, mengaku arus kunjungan wisatawan di kawasan pantai konservasi tersebut sudah terlalu banyak.
"Tahun 2018, pengunjung Pantai Clungup dan sekitarnya mencapai 55 ribu orang lebih. Ini sudah terlalu banyak (besar)," kata Lia.
Menurut Lia yang juga Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru, jumlah kunjungan tersebut terlalu besar, kurang cocok dengan misi mengembangkan objek wisata, yakni konservasi dan edukasi prolingkungan yang berkelanjutan.
"Idealnya jumlah pengunjung di kawasan objek wisata ini tidak lebih dari 30.000 per tahun," katanya.
Karena alasan itulah, Lia tidak mudah menerima bantuan jika ada persyaratan yang justru tidak mendukung kelestarian lingkungan, termasuk bantuan dari pemerintah. Ia mencontohkan ada bantuan yang mensyaratkan dibangun papan nama dengan konstruksi beton.
"Terpaksa kami tidak mau dan syarat yang kami ajukan untuk pemberi bantuan harus mendukung pelestarian lingkungan," ucapnya.
Institusi yang telah membantu pengembangan kawasan di kawasan ekowisata mangrove dan sekitarnya antara lain dari perguruan tinggi, Kementerian Pariwisata, Kementerian KKP, Kementerian LHK, Kementerian Pemuda dan Olahraga.
"Memang tidak banyak nilai bantuannya, karena kami memang tidak berharap bantuan itu nilainya besar. Kami khawatir justru mengubah pola pikir dari pengelolanya. Kami ingin pengelolanya betul-betul tertanam sifat pengabdian demi melestarikan lingkungan," kata Lia.
Dari 117 hektare kawasan wisata, 71 hektare berupa hutan mangrove, 30 hektare berupa terumbu karang. Ada 10 hektare yang merupakan kawasan resapan air, namun kondisinya kritis sehingga direncanakan akan dipulihkan pada 2020 nanti.
Dari mengelola pantai, pendapatan kotor yang diperoleh mencapai Rp2 miliar per tahun. Dari pendapatan sebesar itu, 30 persen dikembalikan pada pajak, sisanya untuk dana operasional dan pengembangan kawasan.
"Ke depan kami rencanakan untuk mengelola produk kuliner berbasis mangrove dan kegiatan lainnya sebagai pengganti jika pengunjung di sana betul-betul berkurang. Selain itu, juga mengkreasikan berbagai kegiatan yang menarik, namun tetap mempertahankan bingkai pelestarian lingkungan," ujarnya.
Untuk mengurangi arus kunjungan wisata di kawasan pantai tersebut, pengelola CMC Tiga Warna memberlakukan tutup bagi pengunjung pada setiap hari Kamis.
Selain itu, pada perayaan Idul Fitri tutup selama 14 hari, begitu juga Natal tutup mulai 23 Desember hingga 3 Januari tahun berikutnya, sehingga pengelola bisa bersosialisasi dan melakukan kegiatan keagamaan dengan nyaman.
Pengunjung (wisatawan) pantai tersebut, lebih banyak wisatawan asing daripada wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara, di antaranya dari benua Eropa, Amerika maupun Asia. Mereka ke sana terutama ingin belajar tentang mengembangkan wisata edukasi berbasis pelestarian lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019