DPRD Kota Malang, Jawa Timur, mendukung langkah pemerintah kota setempat melakukan kajian dan simulasi pemberlakuan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di wilayah itu mendekati harga pasar pada 2020.
Sekretaris Komisi B DPRD Kota Malang Arief Wahyudi di Malang, Selasa, mengatakan bahwa usulan kajian NJOP tersebut sudah didengarnya.
"Jika dirasa perlu dan kaitannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), asal tidak memberatkan masyarakat, ya silakan dilakukan (penyesuaian NJOP)," kata politikus PKB tersebut.
Dukungan penyesuaian NJOP dengan harga pasar juga dilontarkan oleh Ketua Komisi B, Trio Agus Purwono.
"Kami sangat mendukung dilakukan kajian terhadap kenaikan NJOP pada 2020 agar bisa menjadi dasar yang kuat dalam menghitung berapa besaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sesuai untuk Kota Malang," tuturnya.
Namun, ia juga minta dalam menentukan besaran PBB juga memperhatikan kelas lahan, misalnya untuk lahan pertanian tidak sama dengan lahan di sektor bisnis dan perumahan, termasuk yang digunakan untuk kegiatan sosial.
Penyesuaian NJOP ini sesuai amanah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah, di mana penyesuaian bisa dilakukan tiap tiga tahun sekali.
Dari kajian yang dilakukan, fakta di lapangan memperkuat sinyal agar segera dilakukan penyesuaian NJOP di Kota Malang sebab NJOP beberapa kawasan masih terlalu rendah, padahal harga riil atau appraisalnya sudah tinggi.
Contohnya, harga tanah atau rumah di kawasan Soekarno Hatta nilainya sudah tinggi, namun faktanya NJOP di kawasan itu masih rendah. Kondisi demikian jelas perlu penyesuaian.
Oleh karena itu, tim khusus Badan Pelayanan pajak daerah (BP2D) melakukan pemetaan potensi dan kajian penyesuaian NJOP perkotaan yang tengah disimulasikan.
Untuk Kota Malang, penyesuaian NJOP kali terakhir dilakukan pada 2014, sehingga masalah tersebut juga menjadi pertanyaan berbagai pihak, baik dari kalangan perbankan, Kementerian Keuangan, bahkan Tim Korsupgah KPK karena belum ada penyesuaian lagi lebih dari lima tahun.
Sementara itu, Kepala BP2D Kota Malang Ade Herawanto mengimbau warga Kota Malang yang tengah melakukan proses transaksi jual beli tanah, lahan, rumah, atau bangunan segera mengurus pajak BPHTB sebelum kenaikan NJOP mulai tahun depan.
"Maksimal tahun depan sudah tarif baru. Jadi masih ada waktu pengurusan sampai akhir November nanti, karena umumnya pertengahan Desember kami sudah menutup loket pelayanan BPHTB," kata Ade.
Tingginya transaksi jual beli properti di Kota Malang tidak serta merta meningkatkan pendapatan pajak daerah dari sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Badan Pelayan Pajak Daerah (BP2D) melansir, sampai pertengahan Oktober 2019, perolehan pendapatan dari Pajak BPHTB baru di kisaran Rp100 miliar dari Rp205 miliar yang ditargetkan. Artinta kekurangan yang harus dikejar sampai akhir tahun nanti hampir 50 persen.
"Sifatnya (Pajak BPHTB) memang pajak pasif. Jadi memang menunggu ada transaksi jual beli dulu dan itu tidak mungkin kita paksakan kepada masyarakat, tapi tim BP2D juga telah melakukan kajian potensi terkait hal ini," kata Wali Kota Malang Sutiaji.
Pemilik kursi N1 ini optimistis apapun formulasinya nanti muaranya demi optimalisasi peningkatan PAD guna meningkatkan kualitas pembangunan dan kemakmuran warga Kota Malang.
Ada perbedaan jumlah transaksi tanah dan bangunan pada 2019 dengan tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya mencapai 1.000 lebih transaksi. Dengan kata lain, jumlah transaksi tahun ini terjun bebas karena berkurang drastis dibandingkan tahun lalu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Sekretaris Komisi B DPRD Kota Malang Arief Wahyudi di Malang, Selasa, mengatakan bahwa usulan kajian NJOP tersebut sudah didengarnya.
"Jika dirasa perlu dan kaitannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), asal tidak memberatkan masyarakat, ya silakan dilakukan (penyesuaian NJOP)," kata politikus PKB tersebut.
Dukungan penyesuaian NJOP dengan harga pasar juga dilontarkan oleh Ketua Komisi B, Trio Agus Purwono.
"Kami sangat mendukung dilakukan kajian terhadap kenaikan NJOP pada 2020 agar bisa menjadi dasar yang kuat dalam menghitung berapa besaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sesuai untuk Kota Malang," tuturnya.
Namun, ia juga minta dalam menentukan besaran PBB juga memperhatikan kelas lahan, misalnya untuk lahan pertanian tidak sama dengan lahan di sektor bisnis dan perumahan, termasuk yang digunakan untuk kegiatan sosial.
Penyesuaian NJOP ini sesuai amanah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah, di mana penyesuaian bisa dilakukan tiap tiga tahun sekali.
Dari kajian yang dilakukan, fakta di lapangan memperkuat sinyal agar segera dilakukan penyesuaian NJOP di Kota Malang sebab NJOP beberapa kawasan masih terlalu rendah, padahal harga riil atau appraisalnya sudah tinggi.
Contohnya, harga tanah atau rumah di kawasan Soekarno Hatta nilainya sudah tinggi, namun faktanya NJOP di kawasan itu masih rendah. Kondisi demikian jelas perlu penyesuaian.
Oleh karena itu, tim khusus Badan Pelayanan pajak daerah (BP2D) melakukan pemetaan potensi dan kajian penyesuaian NJOP perkotaan yang tengah disimulasikan.
Untuk Kota Malang, penyesuaian NJOP kali terakhir dilakukan pada 2014, sehingga masalah tersebut juga menjadi pertanyaan berbagai pihak, baik dari kalangan perbankan, Kementerian Keuangan, bahkan Tim Korsupgah KPK karena belum ada penyesuaian lagi lebih dari lima tahun.
Sementara itu, Kepala BP2D Kota Malang Ade Herawanto mengimbau warga Kota Malang yang tengah melakukan proses transaksi jual beli tanah, lahan, rumah, atau bangunan segera mengurus pajak BPHTB sebelum kenaikan NJOP mulai tahun depan.
"Maksimal tahun depan sudah tarif baru. Jadi masih ada waktu pengurusan sampai akhir November nanti, karena umumnya pertengahan Desember kami sudah menutup loket pelayanan BPHTB," kata Ade.
Tingginya transaksi jual beli properti di Kota Malang tidak serta merta meningkatkan pendapatan pajak daerah dari sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Badan Pelayan Pajak Daerah (BP2D) melansir, sampai pertengahan Oktober 2019, perolehan pendapatan dari Pajak BPHTB baru di kisaran Rp100 miliar dari Rp205 miliar yang ditargetkan. Artinta kekurangan yang harus dikejar sampai akhir tahun nanti hampir 50 persen.
"Sifatnya (Pajak BPHTB) memang pajak pasif. Jadi memang menunggu ada transaksi jual beli dulu dan itu tidak mungkin kita paksakan kepada masyarakat, tapi tim BP2D juga telah melakukan kajian potensi terkait hal ini," kata Wali Kota Malang Sutiaji.
Pemilik kursi N1 ini optimistis apapun formulasinya nanti muaranya demi optimalisasi peningkatan PAD guna meningkatkan kualitas pembangunan dan kemakmuran warga Kota Malang.
Ada perbedaan jumlah transaksi tanah dan bangunan pada 2019 dengan tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya mencapai 1.000 lebih transaksi. Dengan kata lain, jumlah transaksi tahun ini terjun bebas karena berkurang drastis dibandingkan tahun lalu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019