Sosok Presiden Republik Indonesia ke-3 BJ Habibie dinilai sebagai figur yang tidak tergantikan di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), karena Habibie merupakan tonggak sejarah lembaga tersebut, ujar akademisi Universitas Brawijaya Sasmito Djati.

"Peran dan figur Pak Habibie itu menjadi ikon dalam ICMI. Apa yang disampaikan, bahwa tujuan ideologi Islam itu harus bisa diterima oleh semua kelompok. Itu yang diajarkan oleh Pak Habibie," kata Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama Universitas Brawijaya Malang Sasmito Djati  di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis.

Ia mengatakan, ICMI, dimana BJ Habibie menjadi Ketua Umum pertamanya, sangat erat kaitannya dalam sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia.  

Sosok BJ Habibie, dinilainya sebagai tokoh yang mampu mengubah paradigma umat Islam khususnya para santri yang saat itu dianggap sebagai orang pinggiran.

"Pak Habibie merupakan ikon teknokrat di Indonesia, yang pada saat itu umat Islam sangat lemah. Kebanyakan santri dianggap orang kampung dan pinggiran, tapi, Pak Habibie justru menjadi inspirasi," kata Sasmito.

ICMI lahir dari gagasan mahasiswa Universitas Brawijaya, ujarnya. Saat itu, BJ Habibie masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Soeharto. 

Sasmito menambahkan, setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat sebagai Ketua ICMI, diakui bahwa organisasi tersebut kehilangan figur penting.

Bagi Universitas Brawijaya, terbentuknya ICMI di Kota Malang, menjadi salah satu peristiwa besar dan memberi peran penting kepada bangsa.

"Kelahiran ICMI di Kota Malang, bagi kami warga UB, merupakan peristiwa besar. Pak Habibie menjadi ikon umat Islam, bahwa Islam itu tidak bisa eksklusif," ujar Sasmito.

ICMI dibentuk pada 7 Desember 1990 pada sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang. Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil yang dilakukan oleh para mahasiswa Universitas Brawijaya.

Mahasiswa Universitas Brawijaya saat itu, Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo.

Dari beberapa kali pertemuan yang terus berkembang, muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Para mahasiswa UB tersebut, menghadap BJ Habibie.

Sebagai pribadi, BJ Habibie menyetujui usulan dari mahasiswa tersebut. Namun, dirinya harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Setelah disetujui oleh Soeharto, sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan BJ Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim untuk pertama kalinya. (*)

 

Pewarta: Vicki Febrianto

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019