Lambang negara Indonesia dikenal masyarakat luas dengan burung Garuda. Namun, apakah memang ada nama spesies burung itu? Jika ditelisik, hampir sulit menemukan nama burung Garuda dalam khazanah keilmuan.
Namun, bila dirujuk pada kisah-kisah mitologis seperti dalam cerita Mahabarata, barangkali akan ditemukan sosok burung itu dengan penggambaran burung yang gagah perkasa dan pemberani.
Malahan disebutkan dalam kisah pewayangan, burung itu menjadi tunggangan Dewa Wisnu dalam setiap aktivitasnya.
Dalam perspektif keilmuan -- khususnya dalam bidang konservasi satwa liar -- burung Garuda itu sebenarnya adalah burung Elang Jawa ((Nisaetus Bartelsi).
Direktur lembaga konservasi "ex-situ" (di luar habitat alami) Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua-Bogor, Drs Jansen Manansang, M.Sc punya informasi mengenai asal usul Elang Jawa yang kemudian identik dengan burung Garuda.
Ia mengatakan pada masa kepemimpinan Presiden Indonesia kedua, Soeharto, sempat memanggil beberapa pihak untuk menentukan lambang negara yang mewakili identitas masing-masing provinsi.
"Ditentukan satwa sebagai simbol Indonesia yaitu Pancasila atau Bhineka Tunggal Ika. Kemudian dipilih Elang Jawa karena satwa ini satwa endemis spesies di Indonesia yang ada di Pulau Jawa saja," katanya.
Sayangnya, kini populasi burung Elang Jawa -- sebagai spesies endemis -- ini menunjukkan jumlah yang kisarannya berada pada angka ratusan saja.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, populasinya ada yang menyebut tinggal 200-an, dan ada pula pada kisaran 300 ekor hingga 500 ekor saja di alam.
"Untuk itulah kami di TSI mengembangbiakan Elang Jawa karena jumlah populasinya yang terancam punah. Kami menggandeng PT Smelting (Hino Indonesia) untuk membuat penangkaran Elang Jawa sebagai program kerja sama konservasi," kata Jansen Manansang, yang pernah menjadi Presiden South East Asian Zoo and Association (SEAZA) itu.
Spesies prioritas
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa Elang Jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) adalah spesies burung endemik di Pulau Jawa (Birdlife International 2012) dengan status dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.
Berdasarkan Buku Data Merah (IUCN Redlist), Elang Jawa dikategorikan ke dalam satwa "terancam punah" atau genting" (Endangered Species), dengan tren populasi menurun (decreasing) serta termasuk dalam daftar Appendik II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang mengatur larangan seluruh perdagangan internasional tanpa adanya izin khusus, sesuai Permenhut No. 58 Tahun 2013.
Spesies ini juga masuk dalam "prioritas konservasi" yang tercantum dalam Permenhut No. 57 Tahun 2008 dan termasuk dalam 14 spesies prioritas utama yang tercantum dalam Keputusan Dirjen PHKA No. 132 Tahun 2011 dan No. 109 Tahun 2012.
Selain itu, Elang Jawa dianggap identik dengan "Burung Garuda" yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sehingga pemerintah menetapkannya sebagai satwa nasional dengan sebutan Satwa Langka (Kepres No. 4/1993).
Sedangkan SK yang ditetapkan terakhir melalui SK Direktorat Jenderal KSDAE No. 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Satwa Terancam Punah Prioritas.
Sayangnya, menurut tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) kerusakan alam yang cukup serius seperti hilangnya habitat, fragmentasi hutan, dan pemburuan atau perdagangan ilegal telah mengancam keselamatan Elang Jawa.
''Elang Jawa ini endemik, hidupnya hanya di Pulau Jawa. Elang ini menjadi indikator kualitas lingkungan di Pulau Jawa," kata Syartinilia Wijaya, dosen Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian (Fapreta) IPB , yang memperoleh gelar doktor dari The University of Tokyo pada tahun 2008 dengan topik disertasinya tentang "Pemodelan Distribusi Habitat Elang Jawa berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)".
Syartinilia Wijaya bersama sejawatnya dari Departemen Lanskap Faperta IPB Afra DN Makalew beserta Yeni A Mulyani dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan (Fahutan IPB) juga telah melakukan penelitian terkait kajian ekologi lanskap habitat burung Sikep Madu Asia dan Elang Jawa dalam menunjang pelestarian spesies prioritas dan Indikator lingkungan.
Menurut dia secara spesifik Elang Jawa hidupnya bergantung pada keberadaan hutan alami untuk tempat kawin dan berkembangbiaknya.
"Sehingga Elang Jawa juga menjadi indikator keberadaan hutan alami di Pulau Jawa,'' katanya
Pasangan Hanum-Riska
Sebagai upaya awal dalam konservasi Elang Jawa, menurut Jansen Manansang, TSI Cisarua-Bogor, Jawa Barat resmi mengoleksi sepasang Elang Jawa bernama Hanum dan Riska.
"Sebagai langkah awal di sini ada satu pasang, namanya Hanum dan Riska. Tujuh tahun baru bisa berkembang biak. Tapi kalau kita bisa menangani dengan teknologi tinggi dengan inkubator, persentase populasinya dapat lebih tinggi," katanya saat meresmikan kandang perkembangbiakan Elang Jawa, pada akhir April 2019.
Dalam kerja sama tersebut TSI dan PT Smelting sepakat membangun penangkaran Elang Jawa di TSI yang berlokasi di Cisarua Kabupaten Bogor, karena lokasinya sesuai dengan habitat satwa tersebut, yakni di sekitaran kawasan Gunung Halimun Salak dan Gede Pangrango.
"Kita rancang sesuai kondisi alamiahnya, seperti ketinggian kandangnya, sehingga kalau satwa itu punya anak, tinggal kita buka dan kita lepaskan," katanya.
Senior General Manager PT Hino Indonesia, Bagas Krihsnamurti mengatakan, ini merupakan langkah awal kerja sama dengan TSI.
Nantinya akan dibuat sangkarnya untuk pengembangbiakan dan juga ada penelitian reproduksi Elang Jawa.
"Kami berharap apa yang dapat dibantu benar-benar bermanfaat bagi TSI ke depannya dan makin banyak Elang-Elang Jawa yang dikembangbiakan," katanya.
Bagas menambahkan setelah kandang selesai maka, akan diisi sepasang Elang Jawa dan proses pengembangbiakan Elang Jawa akan dimonitor dan dipelajari peneliti ahli dari TSI dan universitas setempat.
"Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengembangbiakan Elang Jawa di dalam penangkaran," katanya.
Sebelumya TSI sudah beberapa kali berhasil mengambiakkan satwa dan kembali melepaskannya ke alam bebas, di antaranya yaitu Curik Putih dan Owa Jawa.
"Nah ini kontribusi dari TSI sebagai lembaga konservasi. Begitu juga dengan PT Smelting dan Kementerian Kehutanan untuk mengajak masyarakat bersama-sama berpartisipasi untuk bagaimana menjaga lingkungan kita," kata Jansen Manansang. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Namun, bila dirujuk pada kisah-kisah mitologis seperti dalam cerita Mahabarata, barangkali akan ditemukan sosok burung itu dengan penggambaran burung yang gagah perkasa dan pemberani.
Malahan disebutkan dalam kisah pewayangan, burung itu menjadi tunggangan Dewa Wisnu dalam setiap aktivitasnya.
Dalam perspektif keilmuan -- khususnya dalam bidang konservasi satwa liar -- burung Garuda itu sebenarnya adalah burung Elang Jawa ((Nisaetus Bartelsi).
Direktur lembaga konservasi "ex-situ" (di luar habitat alami) Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua-Bogor, Drs Jansen Manansang, M.Sc punya informasi mengenai asal usul Elang Jawa yang kemudian identik dengan burung Garuda.
Ia mengatakan pada masa kepemimpinan Presiden Indonesia kedua, Soeharto, sempat memanggil beberapa pihak untuk menentukan lambang negara yang mewakili identitas masing-masing provinsi.
"Ditentukan satwa sebagai simbol Indonesia yaitu Pancasila atau Bhineka Tunggal Ika. Kemudian dipilih Elang Jawa karena satwa ini satwa endemis spesies di Indonesia yang ada di Pulau Jawa saja," katanya.
Sayangnya, kini populasi burung Elang Jawa -- sebagai spesies endemis -- ini menunjukkan jumlah yang kisarannya berada pada angka ratusan saja.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, populasinya ada yang menyebut tinggal 200-an, dan ada pula pada kisaran 300 ekor hingga 500 ekor saja di alam.
"Untuk itulah kami di TSI mengembangbiakan Elang Jawa karena jumlah populasinya yang terancam punah. Kami menggandeng PT Smelting (Hino Indonesia) untuk membuat penangkaran Elang Jawa sebagai program kerja sama konservasi," kata Jansen Manansang, yang pernah menjadi Presiden South East Asian Zoo and Association (SEAZA) itu.
Spesies prioritas
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa Elang Jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann, 1924) adalah spesies burung endemik di Pulau Jawa (Birdlife International 2012) dengan status dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999.
Berdasarkan Buku Data Merah (IUCN Redlist), Elang Jawa dikategorikan ke dalam satwa "terancam punah" atau genting" (Endangered Species), dengan tren populasi menurun (decreasing) serta termasuk dalam daftar Appendik II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang mengatur larangan seluruh perdagangan internasional tanpa adanya izin khusus, sesuai Permenhut No. 58 Tahun 2013.
Spesies ini juga masuk dalam "prioritas konservasi" yang tercantum dalam Permenhut No. 57 Tahun 2008 dan termasuk dalam 14 spesies prioritas utama yang tercantum dalam Keputusan Dirjen PHKA No. 132 Tahun 2011 dan No. 109 Tahun 2012.
Selain itu, Elang Jawa dianggap identik dengan "Burung Garuda" yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sehingga pemerintah menetapkannya sebagai satwa nasional dengan sebutan Satwa Langka (Kepres No. 4/1993).
Sedangkan SK yang ditetapkan terakhir melalui SK Direktorat Jenderal KSDAE No. 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Satwa Terancam Punah Prioritas.
Sayangnya, menurut tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) kerusakan alam yang cukup serius seperti hilangnya habitat, fragmentasi hutan, dan pemburuan atau perdagangan ilegal telah mengancam keselamatan Elang Jawa.
''Elang Jawa ini endemik, hidupnya hanya di Pulau Jawa. Elang ini menjadi indikator kualitas lingkungan di Pulau Jawa," kata Syartinilia Wijaya, dosen Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian (Fapreta) IPB , yang memperoleh gelar doktor dari The University of Tokyo pada tahun 2008 dengan topik disertasinya tentang "Pemodelan Distribusi Habitat Elang Jawa berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)".
Syartinilia Wijaya bersama sejawatnya dari Departemen Lanskap Faperta IPB Afra DN Makalew beserta Yeni A Mulyani dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan (Fahutan IPB) juga telah melakukan penelitian terkait kajian ekologi lanskap habitat burung Sikep Madu Asia dan Elang Jawa dalam menunjang pelestarian spesies prioritas dan Indikator lingkungan.
Menurut dia secara spesifik Elang Jawa hidupnya bergantung pada keberadaan hutan alami untuk tempat kawin dan berkembangbiaknya.
"Sehingga Elang Jawa juga menjadi indikator keberadaan hutan alami di Pulau Jawa,'' katanya
Pasangan Hanum-Riska
Sebagai upaya awal dalam konservasi Elang Jawa, menurut Jansen Manansang, TSI Cisarua-Bogor, Jawa Barat resmi mengoleksi sepasang Elang Jawa bernama Hanum dan Riska.
"Sebagai langkah awal di sini ada satu pasang, namanya Hanum dan Riska. Tujuh tahun baru bisa berkembang biak. Tapi kalau kita bisa menangani dengan teknologi tinggi dengan inkubator, persentase populasinya dapat lebih tinggi," katanya saat meresmikan kandang perkembangbiakan Elang Jawa, pada akhir April 2019.
Dalam kerja sama tersebut TSI dan PT Smelting sepakat membangun penangkaran Elang Jawa di TSI yang berlokasi di Cisarua Kabupaten Bogor, karena lokasinya sesuai dengan habitat satwa tersebut, yakni di sekitaran kawasan Gunung Halimun Salak dan Gede Pangrango.
"Kita rancang sesuai kondisi alamiahnya, seperti ketinggian kandangnya, sehingga kalau satwa itu punya anak, tinggal kita buka dan kita lepaskan," katanya.
Senior General Manager PT Hino Indonesia, Bagas Krihsnamurti mengatakan, ini merupakan langkah awal kerja sama dengan TSI.
Nantinya akan dibuat sangkarnya untuk pengembangbiakan dan juga ada penelitian reproduksi Elang Jawa.
"Kami berharap apa yang dapat dibantu benar-benar bermanfaat bagi TSI ke depannya dan makin banyak Elang-Elang Jawa yang dikembangbiakan," katanya.
Bagas menambahkan setelah kandang selesai maka, akan diisi sepasang Elang Jawa dan proses pengembangbiakan Elang Jawa akan dimonitor dan dipelajari peneliti ahli dari TSI dan universitas setempat.
"Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengembangbiakan Elang Jawa di dalam penangkaran," katanya.
Sebelumya TSI sudah beberapa kali berhasil mengambiakkan satwa dan kembali melepaskannya ke alam bebas, di antaranya yaitu Curik Putih dan Owa Jawa.
"Nah ini kontribusi dari TSI sebagai lembaga konservasi. Begitu juga dengan PT Smelting dan Kementerian Kehutanan untuk mengajak masyarakat bersama-sama berpartisipasi untuk bagaimana menjaga lingkungan kita," kata Jansen Manansang. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019