Istilah "pecah telur" identik dengan momen keberhasilan ketika seseorang berhasil mencapai kemenangan setelah berkali-kali menghadapi kegagalan, namun tidak demikian dengan situasi yang dihadapi KPK pascaputusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung.
Vonis kasasi yang diputus Mahkamah Agung, Selasa (9/7) terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) itu "memecahkan telur" rekor KPK untuk dapat membuktikan semua perkara korupsi yang diusut mereka dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim (100 percent conviction rate) sejak lembaga tersebut berdiri pada 2002.
Padahal slogan 100 percent conviction rate selalu digaung-gaungkan pimpinan KPK (maupun calon pimpinan) sebagai target sekaligus standar kerja penindakan KPK.
Nyatanya Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, secara telak membacakan amar putusan kasasi bekas orang nomor satu di BPPN itu yang mengharuskan KPK melepaskan dia dari rumah tahanan (rutan).
"Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung tersebut," kata Abdullah, di Gedung MA Jakarta, Selasa.
Amar itu juga memutuskan agar Syafruddin dikeluarkan dari tahanan, membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018, menyatakan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
Vonis itu diambil karena ketua majelis Salman Luthan sependapat djudex factii pengadilan tingkat banding yaitu Syafruddin terbukti melakukan perbuatan pidana namun hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum adminsitrasi.
Padahal Temenggung adalah terdakwa perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang merugikan keuangan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK.
Ia sebelumya diputus bersalah oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 dan harus menjalani vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selanjutnya pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Sesungguhnya, KPK juga pernah mengalami mendapatkan vonis bebas namun pada pengadilan tingkat pertama.
Kasus pertama adalah vonis bebas terhadap mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad di pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011.
Padahal saat itu JPU menuntut Mochtar 12 tahun penjara. Selain itu, jaksa juga menuntut agar Mochtar mengembalikan kerugian negara sebesar Rp639 juta atas dakwaan untuk empat kasus korupsi. Vonis itu dijatuhkan oleh majelis yang diketuai Asharyadi.
Atas vonis bebas itu, KPK kemudian mengajukan kasasi. Pada tingkat ini, MA menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta serta uang pengganti Rp639 juta kepada Mochtar Muhammad pada Maret 2012.
Hukuman buat Mochtar itu diputuskan oleh majelis hakim Agung Djoko Sarwoko selaku ketua dan Krisna Harahap serta Leo Hutagalung selaku anggota.
Perkara kedua adalah saat majelis pengadilan Tipikor Pekanbaru memvonis bebas Bupati Rokan Hulu Suparman pada 23 Februari 2017 dalam perkara penerimaan suap dari Gubernur Riau saat itu Annas Maamun saat Suparman menjadi anggota DPRD Riau periode 2009-2014.
Majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko itu menilai Suparman tidak bersalah padahal rekan Suparman yaitu Ketua DPRD Riau 2009-2014 Johar Firdaus divonis 5,5 tahun penjara. Hakim Rinaldi Triandiko diketahui juga pernah membebaskan mantan Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan perluasan lahan perkantoran Bhakti Praja Kabupaten Pelalawan pada 2016 lalu.
Padahal jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan Johar dan Suparman, yang saat itu juga anggota Badan Anggaran (Banggar), terlibat aktif dalam perencanaan untuk meminta imbalan kepada Annas Maamun dalam pembahasan APBD. Namun dari nilai komitmen sebesar Rp1,2 miliar, yang terealisasi baru Rp900 juta.
Atas vonis bebas tersebut, KPK juga mengajukan kasasi ke MA. MA pun akhirnya menyatakan Suparman bersalah dan arus menjalani hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada 8 November 2017. Putusan kasasi itu ditangani oleh hakim agung MS Lumme, Krisna Harahap dan Artidjo Alkostar.
Bila mau "fair", KPK juga kalah dalam praperadilan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.
Hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam putusan praperadilan pada 16 Februari 2015 yang menyatakan bahwa surat perintah penyidikan No 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah dan tidak berdasar atas hukum karenanya penetapan perkara tak punya kekuatan hukum mengikat.
KPK lalu melimpahkan kasus tersebut pada 1 Maret 2015 kepada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Agung pun melanjutkannya ke Polri, instansi tempat Komjen Budi Gunawan bernaung.
Bebasnya Syafruddin
Sehingga sekitar pukul 19.50, Syafruddin dengan mengenakan kemeja putih dan kopiah hitam melangkah keluar dari rutan KPK yang berlokasi di belakang gedung Merah Putih KPK ditemani sejumlah penasihat hukumnya.
"Bahwa saya bisa di luar sekarang, dan ini adalah suatu proses perjalanan panjang. Saya diilhami dari perjalanan Nelson Mandela penulis buku 'From Walk to Freedom' jadi perjalanan tentang kebebasan dan perjalanan itu cukup panjang dan alhamdulillah ini suatu proses yang sudah saya ikuti," kata Syafruddin di luar pagar rutan.
Syafruddin pun menghitung bahwa ia sudah ditahan selama 1 tahun, 6 bulan dan 19 hari.
"Apa yang kami mintakan dikabulkan dan ini adalah satu hari yang bersejarah bagi saya karena sebagai mantan Ketua BPPN saya sebetulnya sudah menyelesaikan segala urusan, sudah diaudit oleh BPK tahun 2006. Jadi, setelah itu saya tidak tahu lagi, tahu-tahu tahun 2017 jadi tersangka," ungkap Syafruddin.
Selama menjalani masa penahanan, Syafruddin pun mengaku menulis buku yang menerangkan soal kasusnya tersebut.
Saya yakin memang ada titik di ujung terowongan yang gelap, saya bisa menemukan titik itu sendiri dan selama saya di sini saya menulis buku menjelaskan tentang buku ini. Latar belakang kasus ini, buku ini saya tulis dengan tulisan tangan saya di dalam. Bagaimana masalah BLBI itu sendiri, saya jelaskan prosesnya," tambah Syafruddin.
Buku itu juga yang menurut Syafruddin dilampirkan saat menyerahkan memori kasasi kepada MA.
Pengacara Syafruddin, Hasubullah, juga tidak ketinggalan mengucapkan syukur atas bebasnya kliennya tersebut.
"Kami ucapkan alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT, kami bersyukur dan akan berusaha mengeluarkan Pak SAT hari ini," kata Hasbullah saat dikonfirmasi sebelum Syafruddin dibebaskan.
Sementara Yusril Ihza Mahendra yang juga merupakan pengacara Syafruddin langsung dengan tegas menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut sudah final.
"Putusan itu final dan berkekuatan hukum tetap atau 'inkracht van gewijsde'. MA telah memutus perkara tersebut dengan 'onslaag', perbuatannya ada, tetapi bukan tindak pidana. Apapun putusan pengadilan, apalagi putusan MA wajib kita hormati dan patuhi," kata Yusril yang tidak ikut menjemput Syafruddin ke rutan KPK.
Yusril memang wajar menyebut putusan kasasi tersebut final karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 sudah memutuskan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.
Lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar, MK menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA.
Inti dari putusan MK tersebut, pasal 263 ayat (1) KUHAP ditafsirkan bahwa permohonan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Langkah KPK?
Lantas bagaimana langkah KPK menyikapi pecahnya telur pembuktian korupsi di tangan majelis kasasi MA?
"KPK tetap akan berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan kewenangan yang kami miliki untuk mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada konferensi pers, di gedung KPK, Selasa.
Apalagi KPK juga sudah menetapkan pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim sebagai tersangka perkara yang sama dengan Syafruddin.
"Kami nyatakan juga KPK tidak akan berhenti melakukan upaya hukum dalam perkara ini, khususnya dalam rangka mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun dalam perkara ini," tegas Saut dengan suara keras.
Namun menurut Saut, KPK masih akan mempelajari putusan setelah menerima salinan putusan serta akan mempelajari secara cermat putusan dan mempertimbangkan secara serius melakukan upaya hukum biasa atau luar biasa sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah dengan melimpahkan perkara tersebut Jaksa Pengacara Negara di bawah Jaksa Agung Muda bidang Perdata Tata Usaha Negara (Jamdatun) di bawah Kejaksaan Agung sesuai dengan pasal 32 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sedangkan ayat (2) berbunyi "Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara".
Praktik tersebut pernah dilakukan dalam perkara Yayasan Supersemar yang diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana. Setelah proses hukum selama 11 tahun, Jamdatun berhasil melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp241,870 miliar dari total aset yang seharusnya disita adalah 315 juta dolar AS dan Rp139,438 miliar.
Namun apakah opsi itu yang dipilih KPK dan bagaimana risiko bila opsi tersebut yang dipilih?
Apalagi dalam perkara lain, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim mengajukan gugatan perdata terhadap BPK dan Auditor BPK di PN Tangerang atas hasil audit BPK yang menjadikan dasar penyidikan KPK. Sjamsul dan Itjih pun saat ini tidak diketahui keberadaannya karena sudah meninggalkan Indonesia sejak BLBI dikucurkan.
Langkah hukum apapun yang dipilih KPK, rekor 100 percent conviction rate milik lembaga penegak hukum tersebut sudah pecah oleh MA pada masa pimpinan jilid IV.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Vonis kasasi yang diputus Mahkamah Agung, Selasa (9/7) terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) itu "memecahkan telur" rekor KPK untuk dapat membuktikan semua perkara korupsi yang diusut mereka dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim (100 percent conviction rate) sejak lembaga tersebut berdiri pada 2002.
Padahal slogan 100 percent conviction rate selalu digaung-gaungkan pimpinan KPK (maupun calon pimpinan) sebagai target sekaligus standar kerja penindakan KPK.
Nyatanya Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, secara telak membacakan amar putusan kasasi bekas orang nomor satu di BPPN itu yang mengharuskan KPK melepaskan dia dari rumah tahanan (rutan).
"Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung tersebut," kata Abdullah, di Gedung MA Jakarta, Selasa.
Amar itu juga memutuskan agar Syafruddin dikeluarkan dari tahanan, membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018, menyatakan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
Vonis itu diambil karena ketua majelis Salman Luthan sependapat djudex factii pengadilan tingkat banding yaitu Syafruddin terbukti melakukan perbuatan pidana namun hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum adminsitrasi.
Padahal Temenggung adalah terdakwa perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang merugikan keuangan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK.
Ia sebelumya diputus bersalah oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 dan harus menjalani vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selanjutnya pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Sesungguhnya, KPK juga pernah mengalami mendapatkan vonis bebas namun pada pengadilan tingkat pertama.
Kasus pertama adalah vonis bebas terhadap mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad di pengadilan Tipikor Bandung pada 11 Oktober 2011.
Padahal saat itu JPU menuntut Mochtar 12 tahun penjara. Selain itu, jaksa juga menuntut agar Mochtar mengembalikan kerugian negara sebesar Rp639 juta atas dakwaan untuk empat kasus korupsi. Vonis itu dijatuhkan oleh majelis yang diketuai Asharyadi.
Atas vonis bebas itu, KPK kemudian mengajukan kasasi. Pada tingkat ini, MA menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta serta uang pengganti Rp639 juta kepada Mochtar Muhammad pada Maret 2012.
Hukuman buat Mochtar itu diputuskan oleh majelis hakim Agung Djoko Sarwoko selaku ketua dan Krisna Harahap serta Leo Hutagalung selaku anggota.
Perkara kedua adalah saat majelis pengadilan Tipikor Pekanbaru memvonis bebas Bupati Rokan Hulu Suparman pada 23 Februari 2017 dalam perkara penerimaan suap dari Gubernur Riau saat itu Annas Maamun saat Suparman menjadi anggota DPRD Riau periode 2009-2014.
Majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko itu menilai Suparman tidak bersalah padahal rekan Suparman yaitu Ketua DPRD Riau 2009-2014 Johar Firdaus divonis 5,5 tahun penjara. Hakim Rinaldi Triandiko diketahui juga pernah membebaskan mantan Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan perluasan lahan perkantoran Bhakti Praja Kabupaten Pelalawan pada 2016 lalu.
Padahal jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan Johar dan Suparman, yang saat itu juga anggota Badan Anggaran (Banggar), terlibat aktif dalam perencanaan untuk meminta imbalan kepada Annas Maamun dalam pembahasan APBD. Namun dari nilai komitmen sebesar Rp1,2 miliar, yang terealisasi baru Rp900 juta.
Atas vonis bebas tersebut, KPK juga mengajukan kasasi ke MA. MA pun akhirnya menyatakan Suparman bersalah dan arus menjalani hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada 8 November 2017. Putusan kasasi itu ditangani oleh hakim agung MS Lumme, Krisna Harahap dan Artidjo Alkostar.
Bila mau "fair", KPK juga kalah dalam praperadilan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.
Hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam putusan praperadilan pada 16 Februari 2015 yang menyatakan bahwa surat perintah penyidikan No 03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah dan tidak berdasar atas hukum karenanya penetapan perkara tak punya kekuatan hukum mengikat.
KPK lalu melimpahkan kasus tersebut pada 1 Maret 2015 kepada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Agung pun melanjutkannya ke Polri, instansi tempat Komjen Budi Gunawan bernaung.
Bebasnya Syafruddin
Sehingga sekitar pukul 19.50, Syafruddin dengan mengenakan kemeja putih dan kopiah hitam melangkah keluar dari rutan KPK yang berlokasi di belakang gedung Merah Putih KPK ditemani sejumlah penasihat hukumnya.
"Bahwa saya bisa di luar sekarang, dan ini adalah suatu proses perjalanan panjang. Saya diilhami dari perjalanan Nelson Mandela penulis buku 'From Walk to Freedom' jadi perjalanan tentang kebebasan dan perjalanan itu cukup panjang dan alhamdulillah ini suatu proses yang sudah saya ikuti," kata Syafruddin di luar pagar rutan.
Syafruddin pun menghitung bahwa ia sudah ditahan selama 1 tahun, 6 bulan dan 19 hari.
"Apa yang kami mintakan dikabulkan dan ini adalah satu hari yang bersejarah bagi saya karena sebagai mantan Ketua BPPN saya sebetulnya sudah menyelesaikan segala urusan, sudah diaudit oleh BPK tahun 2006. Jadi, setelah itu saya tidak tahu lagi, tahu-tahu tahun 2017 jadi tersangka," ungkap Syafruddin.
Selama menjalani masa penahanan, Syafruddin pun mengaku menulis buku yang menerangkan soal kasusnya tersebut.
Saya yakin memang ada titik di ujung terowongan yang gelap, saya bisa menemukan titik itu sendiri dan selama saya di sini saya menulis buku menjelaskan tentang buku ini. Latar belakang kasus ini, buku ini saya tulis dengan tulisan tangan saya di dalam. Bagaimana masalah BLBI itu sendiri, saya jelaskan prosesnya," tambah Syafruddin.
Buku itu juga yang menurut Syafruddin dilampirkan saat menyerahkan memori kasasi kepada MA.
Pengacara Syafruddin, Hasubullah, juga tidak ketinggalan mengucapkan syukur atas bebasnya kliennya tersebut.
"Kami ucapkan alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT, kami bersyukur dan akan berusaha mengeluarkan Pak SAT hari ini," kata Hasbullah saat dikonfirmasi sebelum Syafruddin dibebaskan.
Sementara Yusril Ihza Mahendra yang juga merupakan pengacara Syafruddin langsung dengan tegas menyatakan bahwa putusan kasasi tersebut sudah final.
"Putusan itu final dan berkekuatan hukum tetap atau 'inkracht van gewijsde'. MA telah memutus perkara tersebut dengan 'onslaag', perbuatannya ada, tetapi bukan tindak pidana. Apapun putusan pengadilan, apalagi putusan MA wajib kita hormati dan patuhi," kata Yusril yang tidak ikut menjemput Syafruddin ke rutan KPK.
Yusril memang wajar menyebut putusan kasasi tersebut final karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 sudah memutuskan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.
Lewat uji materi Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar, MK menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada MA.
Inti dari putusan MK tersebut, pasal 263 ayat (1) KUHAP ditafsirkan bahwa permohonan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Langkah KPK?
Lantas bagaimana langkah KPK menyikapi pecahnya telur pembuktian korupsi di tangan majelis kasasi MA?
"KPK tetap akan berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan kewenangan yang kami miliki untuk mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada konferensi pers, di gedung KPK, Selasa.
Apalagi KPK juga sudah menetapkan pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim sebagai tersangka perkara yang sama dengan Syafruddin.
"Kami nyatakan juga KPK tidak akan berhenti melakukan upaya hukum dalam perkara ini, khususnya dalam rangka mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun dalam perkara ini," tegas Saut dengan suara keras.
Namun menurut Saut, KPK masih akan mempelajari putusan setelah menerima salinan putusan serta akan mempelajari secara cermat putusan dan mempertimbangkan secara serius melakukan upaya hukum biasa atau luar biasa sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah dengan melimpahkan perkara tersebut Jaksa Pengacara Negara di bawah Jaksa Agung Muda bidang Perdata Tata Usaha Negara (Jamdatun) di bawah Kejaksaan Agung sesuai dengan pasal 32 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sedangkan ayat (2) berbunyi "Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara".
Praktik tersebut pernah dilakukan dalam perkara Yayasan Supersemar yang diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana. Setelah proses hukum selama 11 tahun, Jamdatun berhasil melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp241,870 miliar dari total aset yang seharusnya disita adalah 315 juta dolar AS dan Rp139,438 miliar.
Namun apakah opsi itu yang dipilih KPK dan bagaimana risiko bila opsi tersebut yang dipilih?
Apalagi dalam perkara lain, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nusalim mengajukan gugatan perdata terhadap BPK dan Auditor BPK di PN Tangerang atas hasil audit BPK yang menjadikan dasar penyidikan KPK. Sjamsul dan Itjih pun saat ini tidak diketahui keberadaannya karena sudah meninggalkan Indonesia sejak BLBI dikucurkan.
Langkah hukum apapun yang dipilih KPK, rekor 100 percent conviction rate milik lembaga penegak hukum tersebut sudah pecah oleh MA pada masa pimpinan jilid IV.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019