He..he..He..he..He..he..
Ho..ho..Ho..ho..Ho..ho..
Sing ono hang biso ngalangi niat iki
Masio tah samudro sung arungi
Sing ono hang biso mbatesi welas iki
Masio ilang nyowo sun belani
Peran baen sun lakoni kanggo riko
Siji sijine mung riko
Nung ati nisun salawase
Saparuh rogo iki yoro mung kanggo riko
Begini artinya:
He..he..He..he..He..he..
Ho..ho..Ho..ho..Ho..ho..
Tak ada yang dapat menghalangi niat ini
Meskipun itu samudra kuarungi
Tak ada yang dapat membatasi cinta ini
Meskipun hilang nyawa kan kulakukan
Apa saja kulakukan untukmu
Satu-satunya kamu saja
Di hatiku selamanya
Separuh raga ini hanyalah untukmu
Siapa yang tidak pernah mendengar lagu itu? Ya, itu adalah lagu berbahasa Banyuwangi atau biasa diistilahkan lagu "Banyuwangian" dengan genre mengarah ke musik dangdut.
Di mana kita bisa mendengarnya? Ya, kita kerap mendengarnya di bus-bus selama perjalanan, baik itu bus umum antarkota antarprovinsi atau dalam provinsi. Sopir bus jalur-jalur Pulau Jawa, terutama kawasan Pantura, tak akan melewatkan untuk menyalakan televisi di bus dan memutarkan lagu tersebut.
Atau bus-bus pariwisata saat mengantar kita berwisata sekaligus menemani selama perjalanan. Tidak jarang penumpang berkaraoke menggunakan lagu itu.
Dari berbagai sumber, lagu berjudul "Kanggo Riko" (hanya untukmu) itu diciptakan dan dinyanyikan awalnya oleh Demy, penyanyi lokal Banyuwangi. Alunan musik dan liriknya kini nyaris bisa dinyanyikan tidak oleh orang Banyuwangi saja, tapi dari daerah-daerah lain.
Di layar televisi pun, penyanyi-penyanyi terkenal "Tanah Air" terkadang menjadikan lagu ini sebagai salah satu yang dibawakannya, tak terkecuali penyanyi sekelas Via Vallen, Nella Kharisma hingga Inul Daratista.
Diakui atau tidak, "Kanggo Riko" seolah menjadi pintu masuk lagu-lagu Banyuwangian lainnya agar semakin mudah diterima masyarakat umum. Lagu-lagu seperti "Kelangan", "Lungset", "Juragan Empang", "Jaran Goyang", dan beberapa lainnya sudah akrab ditelinga warga Indonesia, atau bahkan warga dari belahan negara lainnya.
Kesuksesan lagu-lagu itu juga dapat dilihat dari membeludaknya yang menonton melalui "youtube", semisal, "Jaran Goyang" yang dipopulerkan Nella Kharisma dan diunggah DD Star Record mencapai 201 juta lebih penonton.
Kini, lagu Banyuwangian menjadi salah satu pewarna belantika musik Indonesia. Tampilan-tampilannya di "youtube" dengan "setting" menarik sejak awal semakin membuat penikmat musik memilih untuk enggan melewatkannya begitu saja. Tak salah jumlah penontonnya di luar ekspektasi.
Berbagai varian dan inovasi dilakukan oleh pelaku-pelaku musik, tak jarang genre "slow" dijadikan lebih rancak, bahkan ditambahi koplo sehingga menjadi dangdut koplo.
Dangdut koplo pun menjadi fenomena, jenisnya mayoritas dangdut khas pantura, lalu liriknya berbahasa Indonesia maupun Jawa. Jenis ini lebih disukai dan populer bagi berbagai kalangan, terutama para anak muda, meski tidak semua orang mengerti liriknya, yang penting semua orang bisa ikut bergoyang mengikuti iringan musik, seperti "oaoe" dan "hak e hak e hak e".
Sejumlah penyanyi atau biduan hits seperti Via Vallen dan Nella Kharisma namanya mencuat lewat alunan musik dangdut koplo. Penggemarnya tak terhitung dan berada di mana-mana, termasuk di beberapa negara.
Pak Cip, pelestari budaya osing
Suatu siang, saat sedang menikmati segelas kopi di Warung Sapu Jagad, di kawasan Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, datang seorang pria tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua menyapa.
"Apa kabar pak? Lama ndak ke sini," ucapnya menyapa Hendro, salah seorang warga Banyuwangi sembari mengulurkan tangannya menyalami satu per satu rekannya.
"Ini Pak Cip, yang punya warung sekaligus tokoh osing," kata Hendro memperkenalkan tanpa menjawab tentang kabar yang ditanyakan oleh Pak Cip saat awal menyapa tadi.
Pak Cip, nama lengkapnya Sucipto. Mengenakan kaos lengan panjang biru muda berkerah dan berkancing dua, bawahan hijau muda dan bertopi. Sucipto lantas duduk semeja dengan Hendro. Sebungkus rokok dikeluarkan dari kantong celana, lalu sebatang rokok dihisap sembari bercerita.
Gaya bahasanya dan tingkah lakunya tak menunjukkan bahwa ia adalah satu dari beberapa orang penting di suku osing. Ia tercatat sebagai generasi keenam juru kunci barong kemiren.
Barong kemiren merupakan kesenian kuno yang dibuat abad XVI. Kesenian adat kemiren, dikenal juga barong osing. Barong kemiren diyakini dibuat oleh Mbah Sapuah atas petunjuk gaib Mbah Buyut Cili, pendiri desa kemiren, yang mengandung filosofi hidup.
Di sana, Pak Cip juga dikenal sebagai ahli pijat tradisional yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Tapi, memijat hanya sampingan jika diperlukan, sebab sebagai generasi keenam maka melestarikan dan memelihara budaya osing menjadi yang paling utama.
"Bagi saya, kebudayaan suku osing adalah paling penting. Tak peduli siapa presidennya, yang penting bisa menjaga budaya dan cinta terhadap kesenian osing maka dia adalah yang terbaik," katanya saat berbicang membicarakan tahun politik.
Berjarak sekitar 500 meter dari warungnya, terdapat sanggar budaya sebagai tempat menerima tamu dan destinasi wisata, tidak jauh dari situ, berdiri rumah milik Pak Cip yang bangunannya sangat khas osing.
Tak hanya dari luar, di dalam rumah juga masih tersimpan ciri khas osing, seperti kasur dan tempat tidur, cingkir, hingga batik berusia ratusan tahun yang disimpan istrinya, Holilah, rapi di dalam lemari kaca berbahan zaman dulu.
Di samping rumah, terdapat tempat yang digunakan menyimpan barong dan alat-alat kesenian lainnya. Lalu di dalam, bangunan kayu tanpa paku tampak sangat kokoh, ditambah lukisan-lukisan nenek luhur semaki menambah kesan keaslian Pak Cip sebagai orang osing.
Sebagai warga asli Banyuwangi, bapak dua anak itu mengaku senang dengan musik khas daerahnya, bahkan ia mengaku menyukai banyak lagu, khususnya tradisional.
Disinggung tentang lagu Banyuwangi yang menjadi dangdut koplo, pria kelahiran 28 Agustus 1963 itu hanya tersenyum. Ia tahu, tapi tidak pernah mendengarnya karena lebih memilih musik asli Banyuwangi atau dikenal dengan musik kendang kempul.
"Yang enak didengar itu musik bahasa osing asli, tidak campuran. Kalau sekarang kadang ada yang menyanyi pakai bahasa osing dicampur jawa, bahkan bahasa Indonesia," katanya.
Meski tidak bersikap anti, tapi Pak Cip berharap yang menjadi perhatian, khususnya warga Banyuwangi, adalah musik asli dengan bahasa dan makna mengandung kedaerahan.
"Ya, saya serahkan semua kepada yang berkepentingan, termasuk pemerintah. Saya hanya minta agar tidak meninggalkan kesenian khas osing dan Banyuwangi secara utuh, sebab akan menganggu pelestarian budaya di sini," katanya.
Pak Cip juga memberi catatan khusus kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang disebutnya sangat perhatian dan peduli terhadap budaya suku osing, baik seni, bahasa maupun lainnya.
Salah satu wujud nyata kepedulian pemerintah setempat terhadap osing yakni diwajibkannya siswa sekolah dan guru se-Banyuwangi menggunakan pakaian adat osing setiap Selasa sebagai seragam.
Pandangan budayawan
Apresiasi pemerintah terhadap kebijakan wajib berseragam osing diakui Hasan Basri, salah seorang budayawan pemerhati osing yang juga berstatus guru agama di SMP Negeri 1 Banyuwangi.
Ditemui di sela istirahat mengajar, Hasan Basri mengaku bangga bisa berseragam adat, termasuk melihat siswa-siswanya berpakaian sama. Menurut dia, cara semacam ini sebagai salah satu wujud mencintai pelestarian budaya.
"Semoga program seperti ini dipertahankan, bahkan menjadi lebih baik jika dilestarikan lebih banyak lagi," tukasnya.
Di Banyuwangi, Hasan Basri juga menjabat wakil ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), fokus dan peduli terhadap kesenian. Ia pun tak rela membiarkan begitu saja budaya-budaya asli Banyuwangi kehilangan makna dan filosofisnya, yaitu sebagai perwujudan mengekspresikan nilai luhur.
Dangdut koplo banyuwangian, kata dia, merupakan salah satu imbas karena para produser lebih memihak pasar, daripada idealisme sehingga menjadi perhatian para budayawan agar ke depan menjadi lebih tepat.
Khusus menyoroti musik Banyuwangian ala orkes yang video klipnya diputar-putar di bus, ia menilai kurang elok karena divisualisasikan dengan joget, gerakan serta pakaian yang kerap mencerminkan budaya barat, seperti rok mini dan atasan yang memperlihatkan belahan dada.
"Di lirik, terkadang yang dipakai juga mengurangi nilai kesastraan, lalu visualisasinya tak menunjukkan keagungan lokal. Tapi ini tidak semua lho, ada yang seperti itu," katanya.
Dengan demikian, DKB sudah mempersiapkan untuk melakukan antisipasi-antisipasi dan tindakan konkret lebih mengarahkan perkembangan musik Banyuwangian ke arah lebih baik.
Pihaknya akan mengajak dialog para produser dan pencipta lagu, bahkan jika diperlukan penyanyi juga diajak berdiskusi dengan harapan memopulerkan musik Banyuwangian lebih baik lagi.
Sementara itu, salah seorang budayawan osing lainnya, Aekanu Hariyono, memandang penggunaan bahasa osing untuk lagu dangdut koplo harus tidak dengan meninggalkan makna sastranya.
"Selama untuk peningkatan kreativitas, tapi tetap dalam koridor bahasa maka masih bisa diterima. Sebab lagu merupakan produk budaya dan saat ini yang menciptakan adalah manusia," katanya.
Namun, budayawan yang akhir tahun lalu diundang oleh Presiden Joko Widodo di Istana tersebut meminta pelaku musik, terutama penyanyi dangdut koplo yang tampil di panggung-panggung umum menjaga etika dan estetika budaya, khususnya pakaian.
"Selama masih ada etika, silakan. Tapi, hindari pakaian yang dinilai penonton seronok, bahkan mengarah ke erotis. Begitu juga goyangannya," kata Aekanu.
Dengan demikian, musik Banyuwangian akan semakin indah didengar. Gaya bahasanya yang khas dijamin menjadi ciri khas dan tentu akan mudah ditirukan, dihafalkan dan dipopulerkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Ho..ho..Ho..ho..Ho..ho..
Sing ono hang biso ngalangi niat iki
Masio tah samudro sung arungi
Sing ono hang biso mbatesi welas iki
Masio ilang nyowo sun belani
Peran baen sun lakoni kanggo riko
Siji sijine mung riko
Nung ati nisun salawase
Saparuh rogo iki yoro mung kanggo riko
Begini artinya:
He..he..He..he..He..he..
Ho..ho..Ho..ho..Ho..ho..
Tak ada yang dapat menghalangi niat ini
Meskipun itu samudra kuarungi
Tak ada yang dapat membatasi cinta ini
Meskipun hilang nyawa kan kulakukan
Apa saja kulakukan untukmu
Satu-satunya kamu saja
Di hatiku selamanya
Separuh raga ini hanyalah untukmu
Siapa yang tidak pernah mendengar lagu itu? Ya, itu adalah lagu berbahasa Banyuwangi atau biasa diistilahkan lagu "Banyuwangian" dengan genre mengarah ke musik dangdut.
Di mana kita bisa mendengarnya? Ya, kita kerap mendengarnya di bus-bus selama perjalanan, baik itu bus umum antarkota antarprovinsi atau dalam provinsi. Sopir bus jalur-jalur Pulau Jawa, terutama kawasan Pantura, tak akan melewatkan untuk menyalakan televisi di bus dan memutarkan lagu tersebut.
Atau bus-bus pariwisata saat mengantar kita berwisata sekaligus menemani selama perjalanan. Tidak jarang penumpang berkaraoke menggunakan lagu itu.
Dari berbagai sumber, lagu berjudul "Kanggo Riko" (hanya untukmu) itu diciptakan dan dinyanyikan awalnya oleh Demy, penyanyi lokal Banyuwangi. Alunan musik dan liriknya kini nyaris bisa dinyanyikan tidak oleh orang Banyuwangi saja, tapi dari daerah-daerah lain.
Di layar televisi pun, penyanyi-penyanyi terkenal "Tanah Air" terkadang menjadikan lagu ini sebagai salah satu yang dibawakannya, tak terkecuali penyanyi sekelas Via Vallen, Nella Kharisma hingga Inul Daratista.
Diakui atau tidak, "Kanggo Riko" seolah menjadi pintu masuk lagu-lagu Banyuwangian lainnya agar semakin mudah diterima masyarakat umum. Lagu-lagu seperti "Kelangan", "Lungset", "Juragan Empang", "Jaran Goyang", dan beberapa lainnya sudah akrab ditelinga warga Indonesia, atau bahkan warga dari belahan negara lainnya.
Kesuksesan lagu-lagu itu juga dapat dilihat dari membeludaknya yang menonton melalui "youtube", semisal, "Jaran Goyang" yang dipopulerkan Nella Kharisma dan diunggah DD Star Record mencapai 201 juta lebih penonton.
Kini, lagu Banyuwangian menjadi salah satu pewarna belantika musik Indonesia. Tampilan-tampilannya di "youtube" dengan "setting" menarik sejak awal semakin membuat penikmat musik memilih untuk enggan melewatkannya begitu saja. Tak salah jumlah penontonnya di luar ekspektasi.
Berbagai varian dan inovasi dilakukan oleh pelaku-pelaku musik, tak jarang genre "slow" dijadikan lebih rancak, bahkan ditambahi koplo sehingga menjadi dangdut koplo.
Dangdut koplo pun menjadi fenomena, jenisnya mayoritas dangdut khas pantura, lalu liriknya berbahasa Indonesia maupun Jawa. Jenis ini lebih disukai dan populer bagi berbagai kalangan, terutama para anak muda, meski tidak semua orang mengerti liriknya, yang penting semua orang bisa ikut bergoyang mengikuti iringan musik, seperti "oaoe" dan "hak e hak e hak e".
Sejumlah penyanyi atau biduan hits seperti Via Vallen dan Nella Kharisma namanya mencuat lewat alunan musik dangdut koplo. Penggemarnya tak terhitung dan berada di mana-mana, termasuk di beberapa negara.
Pak Cip, pelestari budaya osing
Suatu siang, saat sedang menikmati segelas kopi di Warung Sapu Jagad, di kawasan Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, datang seorang pria tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua menyapa.
"Apa kabar pak? Lama ndak ke sini," ucapnya menyapa Hendro, salah seorang warga Banyuwangi sembari mengulurkan tangannya menyalami satu per satu rekannya.
"Ini Pak Cip, yang punya warung sekaligus tokoh osing," kata Hendro memperkenalkan tanpa menjawab tentang kabar yang ditanyakan oleh Pak Cip saat awal menyapa tadi.
Pak Cip, nama lengkapnya Sucipto. Mengenakan kaos lengan panjang biru muda berkerah dan berkancing dua, bawahan hijau muda dan bertopi. Sucipto lantas duduk semeja dengan Hendro. Sebungkus rokok dikeluarkan dari kantong celana, lalu sebatang rokok dihisap sembari bercerita.
Gaya bahasanya dan tingkah lakunya tak menunjukkan bahwa ia adalah satu dari beberapa orang penting di suku osing. Ia tercatat sebagai generasi keenam juru kunci barong kemiren.
Barong kemiren merupakan kesenian kuno yang dibuat abad XVI. Kesenian adat kemiren, dikenal juga barong osing. Barong kemiren diyakini dibuat oleh Mbah Sapuah atas petunjuk gaib Mbah Buyut Cili, pendiri desa kemiren, yang mengandung filosofi hidup.
Di sana, Pak Cip juga dikenal sebagai ahli pijat tradisional yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Tapi, memijat hanya sampingan jika diperlukan, sebab sebagai generasi keenam maka melestarikan dan memelihara budaya osing menjadi yang paling utama.
"Bagi saya, kebudayaan suku osing adalah paling penting. Tak peduli siapa presidennya, yang penting bisa menjaga budaya dan cinta terhadap kesenian osing maka dia adalah yang terbaik," katanya saat berbicang membicarakan tahun politik.
Berjarak sekitar 500 meter dari warungnya, terdapat sanggar budaya sebagai tempat menerima tamu dan destinasi wisata, tidak jauh dari situ, berdiri rumah milik Pak Cip yang bangunannya sangat khas osing.
Tak hanya dari luar, di dalam rumah juga masih tersimpan ciri khas osing, seperti kasur dan tempat tidur, cingkir, hingga batik berusia ratusan tahun yang disimpan istrinya, Holilah, rapi di dalam lemari kaca berbahan zaman dulu.
Di samping rumah, terdapat tempat yang digunakan menyimpan barong dan alat-alat kesenian lainnya. Lalu di dalam, bangunan kayu tanpa paku tampak sangat kokoh, ditambah lukisan-lukisan nenek luhur semaki menambah kesan keaslian Pak Cip sebagai orang osing.
Sebagai warga asli Banyuwangi, bapak dua anak itu mengaku senang dengan musik khas daerahnya, bahkan ia mengaku menyukai banyak lagu, khususnya tradisional.
Disinggung tentang lagu Banyuwangi yang menjadi dangdut koplo, pria kelahiran 28 Agustus 1963 itu hanya tersenyum. Ia tahu, tapi tidak pernah mendengarnya karena lebih memilih musik asli Banyuwangi atau dikenal dengan musik kendang kempul.
"Yang enak didengar itu musik bahasa osing asli, tidak campuran. Kalau sekarang kadang ada yang menyanyi pakai bahasa osing dicampur jawa, bahkan bahasa Indonesia," katanya.
Meski tidak bersikap anti, tapi Pak Cip berharap yang menjadi perhatian, khususnya warga Banyuwangi, adalah musik asli dengan bahasa dan makna mengandung kedaerahan.
"Ya, saya serahkan semua kepada yang berkepentingan, termasuk pemerintah. Saya hanya minta agar tidak meninggalkan kesenian khas osing dan Banyuwangi secara utuh, sebab akan menganggu pelestarian budaya di sini," katanya.
Pak Cip juga memberi catatan khusus kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang disebutnya sangat perhatian dan peduli terhadap budaya suku osing, baik seni, bahasa maupun lainnya.
Salah satu wujud nyata kepedulian pemerintah setempat terhadap osing yakni diwajibkannya siswa sekolah dan guru se-Banyuwangi menggunakan pakaian adat osing setiap Selasa sebagai seragam.
Pandangan budayawan
Apresiasi pemerintah terhadap kebijakan wajib berseragam osing diakui Hasan Basri, salah seorang budayawan pemerhati osing yang juga berstatus guru agama di SMP Negeri 1 Banyuwangi.
Ditemui di sela istirahat mengajar, Hasan Basri mengaku bangga bisa berseragam adat, termasuk melihat siswa-siswanya berpakaian sama. Menurut dia, cara semacam ini sebagai salah satu wujud mencintai pelestarian budaya.
"Semoga program seperti ini dipertahankan, bahkan menjadi lebih baik jika dilestarikan lebih banyak lagi," tukasnya.
Di Banyuwangi, Hasan Basri juga menjabat wakil ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), fokus dan peduli terhadap kesenian. Ia pun tak rela membiarkan begitu saja budaya-budaya asli Banyuwangi kehilangan makna dan filosofisnya, yaitu sebagai perwujudan mengekspresikan nilai luhur.
Dangdut koplo banyuwangian, kata dia, merupakan salah satu imbas karena para produser lebih memihak pasar, daripada idealisme sehingga menjadi perhatian para budayawan agar ke depan menjadi lebih tepat.
Khusus menyoroti musik Banyuwangian ala orkes yang video klipnya diputar-putar di bus, ia menilai kurang elok karena divisualisasikan dengan joget, gerakan serta pakaian yang kerap mencerminkan budaya barat, seperti rok mini dan atasan yang memperlihatkan belahan dada.
"Di lirik, terkadang yang dipakai juga mengurangi nilai kesastraan, lalu visualisasinya tak menunjukkan keagungan lokal. Tapi ini tidak semua lho, ada yang seperti itu," katanya.
Dengan demikian, DKB sudah mempersiapkan untuk melakukan antisipasi-antisipasi dan tindakan konkret lebih mengarahkan perkembangan musik Banyuwangian ke arah lebih baik.
Pihaknya akan mengajak dialog para produser dan pencipta lagu, bahkan jika diperlukan penyanyi juga diajak berdiskusi dengan harapan memopulerkan musik Banyuwangian lebih baik lagi.
Sementara itu, salah seorang budayawan osing lainnya, Aekanu Hariyono, memandang penggunaan bahasa osing untuk lagu dangdut koplo harus tidak dengan meninggalkan makna sastranya.
"Selama untuk peningkatan kreativitas, tapi tetap dalam koridor bahasa maka masih bisa diterima. Sebab lagu merupakan produk budaya dan saat ini yang menciptakan adalah manusia," katanya.
Namun, budayawan yang akhir tahun lalu diundang oleh Presiden Joko Widodo di Istana tersebut meminta pelaku musik, terutama penyanyi dangdut koplo yang tampil di panggung-panggung umum menjaga etika dan estetika budaya, khususnya pakaian.
"Selama masih ada etika, silakan. Tapi, hindari pakaian yang dinilai penonton seronok, bahkan mengarah ke erotis. Begitu juga goyangannya," kata Aekanu.
Dengan demikian, musik Banyuwangian akan semakin indah didengar. Gaya bahasanya yang khas dijamin menjadi ciri khas dan tentu akan mudah ditirukan, dihafalkan dan dipopulerkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019