Surabaya (Antaranews Jatim) - Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur menilai panen cabai di wilayah Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, di saat harga cabai di pasaran murah perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
"Pembinaan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap para petani cabai sangat diperlukan di saat harga cabai murah seperti saat ini," kata Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, salah satu pembinaan yang perlu dilakukan yakni mengolah hasil panen cabai para petani agar menjadi cabai kering yang bisa dipakai untuk keperluan industri mi instan dan restoran.
Selama ini, lanjut dia, mengolah hasil panen cabai menjadi cabai kering belum dilakukan, sehingga ketergantungan terhadap cabai impor berbentuk cabai kering olahan sampai saat ini masih tinggi.
Padahal, lanjut dia, pengguna terbanyak cabai olahan impor adalah industri mi instan yang pada umumnya dikonsumsi oleh para konsumen. "Bisa dibayangkan, dengan produksi mi instan per tahun mencapai 15 miliar bungkus saja, dengan asumsi satu kemasan mi instan membutuhkan 3 gram cabai bubuk untuk bumbu, maka setiap bulannya dibutuhkan 375 ton cabai kering impor atau 4.500 ton per tahun," ujarnya.
Said mengatakan hal ini sebenarnya peluang besar yang sudah terbuka belasan tahun yang lalu bagi pemerintah pusat maupun daerah dengan memberdayakan para petani cabai lokal. Namun, lanjut dia, sayangnya kebutuhan industri terhadap cabai tersebut tidak ditangkap oleh pemerintah dengan mensinergikan dengan para petani lokal.
Umumnya, lanjut dia, para petani cabai dalam negeri belum mengenal teknologi pengolahan cabai bubuk atau kering. Akibatnya setiap ada panen raya, harga cabai selalu anjlok, dampaknya petani merugi karena tidak bisa diolah.
Untuk itu, menurut Said, perlu ada pengembangan dari sisi teknologi pengelolaan hasil pertanian dan strategi pemasarannnya sebagai pemasok industri makanan olahan tentang kebutuhan cabai bubuk atau cabai kering sesuai standar mutu yang diharapkan.
Salah seorang petani Kelurahan Sumur Welut, Fatimah mengatakan cabai hasil panen awal tahun ini dihargai sekitar Rp7 ribu per kilogram, sempat naik jadi Rp9 ribu dan Rp10 ribu per kilogram. Belum lagi ketika hasil panennya rusak, cabai hanya dihargai Rp3 ribu di tangan tengkulak, namun bisa laku seharga Rp11 ribu hingga 12 ribu di pasar.
"Dulu ketika harganya sampai Rp110ribu perkilogram, lombok yang kami tanam justru tidak tumbuh," katanya.
Hal ini yang membuat para petani di Kelurahan Sumur Welut memilih menjual sawahnya ke perusahaan karena sudah tidak tahan dengan hasil panennya yang sering kali laku murah di pasar.
Sementara itu, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Presley menilai bahwa panen cabai kali ini merupakan keberhasailan dari "urban farming" atau pertanian perkotaan yang digagas sejak 2010 itu.
Menurutnya, hampir sekitar 80 persen masyarakat di Kelurahan Sumur Welut memilih untuk bertanam cabai dengan alasan jenis tanaman hortikultura ini dinilai lebih menghasilkan keuntungan dengan masa tanam yang relatif cepat.
Ia mengatakan di wilayah Kecamatan Lakarsantri terdapat delapan kelompok tani, dengan anggota berjumlah sekitar 622 orang. Sementara untuk luas lahan pertanian, mencapai 457 hektare dan saat ini masih aktif dikerjakan oleh para petani.
Kendati demikian, lanjut dia, pihaknya mengaku, akan terus memberikan pendampingan kepada para kelompok tani agar hasil panen mereka bisa terus melimpah. "Jadi setiap RW itu ada kelompok taninya sendiri-sendiri, jadi sekarang itu 80 persen (masyarakat) tanam cabai dan sisanya padi," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Pembinaan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap para petani cabai sangat diperlukan di saat harga cabai murah seperti saat ini," kata Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo kepada Antara di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, salah satu pembinaan yang perlu dilakukan yakni mengolah hasil panen cabai para petani agar menjadi cabai kering yang bisa dipakai untuk keperluan industri mi instan dan restoran.
Selama ini, lanjut dia, mengolah hasil panen cabai menjadi cabai kering belum dilakukan, sehingga ketergantungan terhadap cabai impor berbentuk cabai kering olahan sampai saat ini masih tinggi.
Padahal, lanjut dia, pengguna terbanyak cabai olahan impor adalah industri mi instan yang pada umumnya dikonsumsi oleh para konsumen. "Bisa dibayangkan, dengan produksi mi instan per tahun mencapai 15 miliar bungkus saja, dengan asumsi satu kemasan mi instan membutuhkan 3 gram cabai bubuk untuk bumbu, maka setiap bulannya dibutuhkan 375 ton cabai kering impor atau 4.500 ton per tahun," ujarnya.
Said mengatakan hal ini sebenarnya peluang besar yang sudah terbuka belasan tahun yang lalu bagi pemerintah pusat maupun daerah dengan memberdayakan para petani cabai lokal. Namun, lanjut dia, sayangnya kebutuhan industri terhadap cabai tersebut tidak ditangkap oleh pemerintah dengan mensinergikan dengan para petani lokal.
Umumnya, lanjut dia, para petani cabai dalam negeri belum mengenal teknologi pengolahan cabai bubuk atau kering. Akibatnya setiap ada panen raya, harga cabai selalu anjlok, dampaknya petani merugi karena tidak bisa diolah.
Untuk itu, menurut Said, perlu ada pengembangan dari sisi teknologi pengelolaan hasil pertanian dan strategi pemasarannnya sebagai pemasok industri makanan olahan tentang kebutuhan cabai bubuk atau cabai kering sesuai standar mutu yang diharapkan.
Salah seorang petani Kelurahan Sumur Welut, Fatimah mengatakan cabai hasil panen awal tahun ini dihargai sekitar Rp7 ribu per kilogram, sempat naik jadi Rp9 ribu dan Rp10 ribu per kilogram. Belum lagi ketika hasil panennya rusak, cabai hanya dihargai Rp3 ribu di tangan tengkulak, namun bisa laku seharga Rp11 ribu hingga 12 ribu di pasar.
"Dulu ketika harganya sampai Rp110ribu perkilogram, lombok yang kami tanam justru tidak tumbuh," katanya.
Hal ini yang membuat para petani di Kelurahan Sumur Welut memilih menjual sawahnya ke perusahaan karena sudah tidak tahan dengan hasil panennya yang sering kali laku murah di pasar.
Sementara itu, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Presley menilai bahwa panen cabai kali ini merupakan keberhasailan dari "urban farming" atau pertanian perkotaan yang digagas sejak 2010 itu.
Menurutnya, hampir sekitar 80 persen masyarakat di Kelurahan Sumur Welut memilih untuk bertanam cabai dengan alasan jenis tanaman hortikultura ini dinilai lebih menghasilkan keuntungan dengan masa tanam yang relatif cepat.
Ia mengatakan di wilayah Kecamatan Lakarsantri terdapat delapan kelompok tani, dengan anggota berjumlah sekitar 622 orang. Sementara untuk luas lahan pertanian, mencapai 457 hektare dan saat ini masih aktif dikerjakan oleh para petani.
Kendati demikian, lanjut dia, pihaknya mengaku, akan terus memberikan pendampingan kepada para kelompok tani agar hasil panen mereka bisa terus melimpah. "Jadi setiap RW itu ada kelompok taninya sendiri-sendiri, jadi sekarang itu 80 persen (masyarakat) tanam cabai dan sisanya padi," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019