Malang (Antaranews Jatim) - Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Malang menyatakan program asuransi bagi nelayan yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di wilayah itu terhambat "mindset" (pola pikir) mereka yang "ketakutan", sehingga belum maksimal.
Kepala DKP Kabupaten Malang Endang Retnowati di Malang, Selasa, mengakui sebagian besar nelayan di Kabupaten Malang engan mengikuti program asuransi karena adanya kekhawatiran jika terjadi risiko kerja ketika melaut yang bakal menikmati asuransinya adalah istri mereka.
"Pola pikir ini yang menjadi tantangan terbesar kami. Sosialisasi terus kami gencarkan, termasuk mengubah pola pikir mereka bahwa asuransi tersebut untuk melindungi mereka bukan untuk dinikmati istri mereka," kata Endang.
Endang mengatakan tidak jarang ketika melakukan sosialisasi asuransi nelayan tersebut, nelayan mengaku enggan mengikuti program itu karena ketika terjadi kecelakaan kerja di laut atau meninggal yang mendapatkan asuransi adalah istrinya. Mereka (nelayan) sepertinya tidak rela.
Padahal, kata Endang Retnowati yang akrab disapa Atik itu, asuransi ini bermanfaat cukup besar bagi nelayan ntuk melindungi diri dari risiko pekerjaan di tengah laut. Dan, premi (iuran) yang dibayarkan juga tidak besar, yakni Rp15 ribu per bulan per nelayan.
Sementara manfaat yang diperoleh nelayan sebagai jaminan sangat besar ketika terjadi risiko pekerjaan, yakni klaim (jaminan) sebesar Rp 200 juta bagi keluarga nelayan yang meninggal di laut, Rp160 juta bagi nelayan yang mengalami kecelakaan kerja, Rp80 juta bagi nelayan yang mengalami cacat permanen, serta Rp20 juta sebagai plafon untuk biaya perawatan di rumah sakit.
Oleh karena itu, lanjut Atik, DKP setempat juga gencar melakukan sosialisasi akan pentingnya asuransi nelayan kepada Anak Buah Kapal (ABK) dan pemilik kapal besar juga menjalankan sosialisasi kepada nelayan kecil tradisional.
Atik menerangkan saat ini baru sekitar 1.800 nelayan yang sudah menjadi peserta asuransi yang dikelola PT Jasindo tersebut. "Jumlah nelayan di Kabupaten Malang mencapai lebih dari 4.000, namun jumlah tersebut dipengaruhi oleh keberadaan nelayan andon (tidak menetap)," tutur Atik.
Sebab, lanjut Atik, nelayan andon tersebut, pada musim-musim tertentu kembali ke daerah asalnya, seperti Makassar dan Madura atau beralih ke pekerjaan lain, di antaranya menjadi buruh tani atau bekerja di bangunan.
Namun demikian, bukan berarti DKP Kabupaten Malang berhenti melakukan sosialisasi dan mengajak nelayan untuk bergabung dengan program asuransi nelayan. "Tahun depan kami targetkan seluruh nelayan di daerah ini sdah terkover asuransi seluruhnya," tutur Atik.
Pada awal diluncurkannya asuransi nelayan pada 2016, pemerintah pusat memberikan bantuan asuransi premi nelayan (BAPN) selama tahun pertama. "Untuk menjadi peserta asuransi nelayan ini syaratnya tidak sulit kok, hanya perlu bukti kartu identitas nelayan yang dikeluarkan DKP setempat," kata Atik.
DKP Kabupaten Malang masih terus melakukan pendataan nelayan di pesisir pantai selatan Malang itu untuk bergabung dengan program asuransi nelayan yang digagas pemerintah pusat tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Kepala DKP Kabupaten Malang Endang Retnowati di Malang, Selasa, mengakui sebagian besar nelayan di Kabupaten Malang engan mengikuti program asuransi karena adanya kekhawatiran jika terjadi risiko kerja ketika melaut yang bakal menikmati asuransinya adalah istri mereka.
"Pola pikir ini yang menjadi tantangan terbesar kami. Sosialisasi terus kami gencarkan, termasuk mengubah pola pikir mereka bahwa asuransi tersebut untuk melindungi mereka bukan untuk dinikmati istri mereka," kata Endang.
Endang mengatakan tidak jarang ketika melakukan sosialisasi asuransi nelayan tersebut, nelayan mengaku enggan mengikuti program itu karena ketika terjadi kecelakaan kerja di laut atau meninggal yang mendapatkan asuransi adalah istrinya. Mereka (nelayan) sepertinya tidak rela.
Padahal, kata Endang Retnowati yang akrab disapa Atik itu, asuransi ini bermanfaat cukup besar bagi nelayan ntuk melindungi diri dari risiko pekerjaan di tengah laut. Dan, premi (iuran) yang dibayarkan juga tidak besar, yakni Rp15 ribu per bulan per nelayan.
Sementara manfaat yang diperoleh nelayan sebagai jaminan sangat besar ketika terjadi risiko pekerjaan, yakni klaim (jaminan) sebesar Rp 200 juta bagi keluarga nelayan yang meninggal di laut, Rp160 juta bagi nelayan yang mengalami kecelakaan kerja, Rp80 juta bagi nelayan yang mengalami cacat permanen, serta Rp20 juta sebagai plafon untuk biaya perawatan di rumah sakit.
Oleh karena itu, lanjut Atik, DKP setempat juga gencar melakukan sosialisasi akan pentingnya asuransi nelayan kepada Anak Buah Kapal (ABK) dan pemilik kapal besar juga menjalankan sosialisasi kepada nelayan kecil tradisional.
Atik menerangkan saat ini baru sekitar 1.800 nelayan yang sudah menjadi peserta asuransi yang dikelola PT Jasindo tersebut. "Jumlah nelayan di Kabupaten Malang mencapai lebih dari 4.000, namun jumlah tersebut dipengaruhi oleh keberadaan nelayan andon (tidak menetap)," tutur Atik.
Sebab, lanjut Atik, nelayan andon tersebut, pada musim-musim tertentu kembali ke daerah asalnya, seperti Makassar dan Madura atau beralih ke pekerjaan lain, di antaranya menjadi buruh tani atau bekerja di bangunan.
Namun demikian, bukan berarti DKP Kabupaten Malang berhenti melakukan sosialisasi dan mengajak nelayan untuk bergabung dengan program asuransi nelayan. "Tahun depan kami targetkan seluruh nelayan di daerah ini sdah terkover asuransi seluruhnya," tutur Atik.
Pada awal diluncurkannya asuransi nelayan pada 2016, pemerintah pusat memberikan bantuan asuransi premi nelayan (BAPN) selama tahun pertama. "Untuk menjadi peserta asuransi nelayan ini syaratnya tidak sulit kok, hanya perlu bukti kartu identitas nelayan yang dikeluarkan DKP setempat," kata Atik.
DKP Kabupaten Malang masih terus melakukan pendataan nelayan di pesisir pantai selatan Malang itu untuk bergabung dengan program asuransi nelayan yang digagas pemerintah pusat tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018