Malang (Antaranews Jatim) - Wakil Gubernur terpilih Jawa Timur Emil Elestianto Dardak mengatakan, akan menerapkan "gold standard" analisa dampak lingkungan (Amdal) untuk mengeluarkan izin eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di Jatim.
"Keberadaan Amdal dalam sebuah proyek jangan hanya dibuat untuk memenuhi syarat formalitas, tetapi harus super ketat dan berstandard gold, apalagi Amdal untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Amdalnya harus diperketat dan memiliki standard? di atas rata-rata," kata Emil dalam diskusi bertema "Kebijakan Publik dan Dampak Pada Industri Migas" sebagai rangkaian Lokakarya Media-SKK Migas Jabanusa di Batu, Jawa Timur, Kamis malam.
Kata Bupati Trenggalek itu, apabila Amdal hanya dibuat formalitas dan terbitnya gampang, nantinya setelah ada dampak dan merugikan masyarakat, semuanya angkat tangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak di kemudian hari, lebih baik ketat di depan.
Pada kesempatan itu, Emil juga berbagi pengalaman bagaimana cara menyelesaikan munculnya persoalan sosial dalam industri pertambangan. Masalah yang muncul tidak hanya dari masyarakat yang terdampak, tetapi juga dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang mengaku menghadapi dampak sosial dari masyarakat tanpa kehadiran Pemda maupun SKK Migas.
Padahal, seharusnya tugas K3S hanya mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di sumur-sumur yang ditentukan dan keuntungan yang didapatkan K3S 15 persen, sedangkan 85 persennya masuk sebagai penerimaan negara.
Emil mengatakan migas merupakan sektor industri yang berisiko tinggi, sehingga wajar apabila dampak sosial yang ditimbulkan juga tinggi. Ia menceritakan pengalamannya sebagai Bupati Trenggalek saat menghadapi perusahaan tambang yang mengajukan eksplorasi emas di Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, namun mendapat penolakan dari warga.
"Ketika itu saya minta Dinas Lingkungan Hidup untuk tidak mengeluarkan izin lingkungan sampai warga Desa Sumberbening setuju. Sebab, warga yang menolak adanya eksplorasi tambang emas ini tidak mengetahui sepenuhnya apa dampak positif dan negatif terkait eksplorasi tersebut," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta agar perusahaan tambang mengadakan sosialisasi terbuka yang dihadiri warga dan tokoh masyarakat setempat. "Begitu masyarakat mendapatkan sosialisasi dan memahami, mereka akhirnya setuju. Namun, untuk yang tetap tidak setuju, saya minta agar wilayah tersebut tidak disentuh eksplorasi," tuturnya.
Yang terpenting, kata Emil, sebelum melakukan eksplorasi maupun eksploitasi migas adalah pendekatan kepada masyarakat dan mengkaji dalam-dalam terkait Amdalnya.
Emil mengaku pengalamannya di Trenggalek tersebut akan diterapkan untuk tata kelola migas di Jawa Timur sebab provinsi itu mempunyai cadangan migas terbesar ketiga di Indonesia. "Saya akan bicarakan dengan Bu Khofifah," ucapnya.
Dengan demikian, kata Emil, Pemprov Jatim harus mengambil peran lebih, sehingga apabila ada dampak sosial di masyarakat harus terlibat atau turun tangan.
"Saya ingin SKK Migas sebagai regulator bisa menjadi mitra yang baik. Pemprov siap duduk bersama dengan SKK Migas dan K3S," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Keberadaan Amdal dalam sebuah proyek jangan hanya dibuat untuk memenuhi syarat formalitas, tetapi harus super ketat dan berstandard gold, apalagi Amdal untuk eksplorasi dan eksploitasi migas. Amdalnya harus diperketat dan memiliki standard? di atas rata-rata," kata Emil dalam diskusi bertema "Kebijakan Publik dan Dampak Pada Industri Migas" sebagai rangkaian Lokakarya Media-SKK Migas Jabanusa di Batu, Jawa Timur, Kamis malam.
Kata Bupati Trenggalek itu, apabila Amdal hanya dibuat formalitas dan terbitnya gampang, nantinya setelah ada dampak dan merugikan masyarakat, semuanya angkat tangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak di kemudian hari, lebih baik ketat di depan.
Pada kesempatan itu, Emil juga berbagi pengalaman bagaimana cara menyelesaikan munculnya persoalan sosial dalam industri pertambangan. Masalah yang muncul tidak hanya dari masyarakat yang terdampak, tetapi juga dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang mengaku menghadapi dampak sosial dari masyarakat tanpa kehadiran Pemda maupun SKK Migas.
Padahal, seharusnya tugas K3S hanya mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas di sumur-sumur yang ditentukan dan keuntungan yang didapatkan K3S 15 persen, sedangkan 85 persennya masuk sebagai penerimaan negara.
Emil mengatakan migas merupakan sektor industri yang berisiko tinggi, sehingga wajar apabila dampak sosial yang ditimbulkan juga tinggi. Ia menceritakan pengalamannya sebagai Bupati Trenggalek saat menghadapi perusahaan tambang yang mengajukan eksplorasi emas di Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, namun mendapat penolakan dari warga.
"Ketika itu saya minta Dinas Lingkungan Hidup untuk tidak mengeluarkan izin lingkungan sampai warga Desa Sumberbening setuju. Sebab, warga yang menolak adanya eksplorasi tambang emas ini tidak mengetahui sepenuhnya apa dampak positif dan negatif terkait eksplorasi tersebut," katanya.
Oleh karena itu, ia meminta agar perusahaan tambang mengadakan sosialisasi terbuka yang dihadiri warga dan tokoh masyarakat setempat. "Begitu masyarakat mendapatkan sosialisasi dan memahami, mereka akhirnya setuju. Namun, untuk yang tetap tidak setuju, saya minta agar wilayah tersebut tidak disentuh eksplorasi," tuturnya.
Yang terpenting, kata Emil, sebelum melakukan eksplorasi maupun eksploitasi migas adalah pendekatan kepada masyarakat dan mengkaji dalam-dalam terkait Amdalnya.
Emil mengaku pengalamannya di Trenggalek tersebut akan diterapkan untuk tata kelola migas di Jawa Timur sebab provinsi itu mempunyai cadangan migas terbesar ketiga di Indonesia. "Saya akan bicarakan dengan Bu Khofifah," ucapnya.
Dengan demikian, kata Emil, Pemprov Jatim harus mengambil peran lebih, sehingga apabila ada dampak sosial di masyarakat harus terlibat atau turun tangan.
"Saya ingin SKK Migas sebagai regulator bisa menjadi mitra yang baik. Pemprov siap duduk bersama dengan SKK Migas dan K3S," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018