Banyuwangi (Antaranews Jatim) - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar Festival Angklung Paglak yang dimainkan di atas menara bambu, dalam rangkaian "Banyuwangi Festival 2018".
"Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam keterangan persnya di Banyuwangi, Minggu.
Ia menjelaskan bahwa festival angklung yang digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi, Sabtu (4/8) itu menampilkan alunan musik dari material bambu. Musik itu mengalun merdu dari 38 menara bambu yang dalam bahasa setempat disebut "paglak".
Paglak adalah menara bambu setinggi 6 hingga 7 meter dengan lebar masing-masing sisinya sekitar dua meter. Dari menara tersebut, musik angklung khas Banyuwangi dimainkan oleh dua hingga empat pemusik.
Menurut Anas, kesenian tradisional ini muncul sejak 1880 silam dengan dimainkan di tengah sawah saat musim panen. Masyarakat Suku Using yang kerap disebut sebagai warga asli Banyuwangi biasanya saling membantu saat musim panen tiba.
Saat ada warga yang sedang panen di sawahnya, katanya, warga lainnya guyub membantu. Angklung paglak itu dimainkan sebagai undangan dari sang pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani.
"Jadi festival ini bukan sekadar atraksi wisata, tapi ada filosofi yang ingin disampaikan, khususnya ke anak-anak muda. Nilai-nilai gotong royong ala masyarakat saat musim panen ini penting diteladani. Kalau hanya disampaikan di dalam kelas, akan membosankan. Tapi kalau langsung dimainkan seperti ini anak-anak langsung tahu," kata Anas.
Dalam festival ini, para pemusik angklung berusaha menghasilkan alunan musiknya yang terbaik. Satu per satu grup peserta menunjukkan kemahirannya memainkan alat musik pukul dari bambu tersebut. Semakin kencang pukulannya, maka menara bambu akan ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian tersebut.
Seorang peserta, Sumantri (55), mengatakan dirinya sejak kecil sudah lihai memainkan angklung. "Senang saat sekarang ada festivalnya. Biasanya saya main di tengah sawah sendirian, sekarang bisa main ditonton banyak orang," ujarnya.
Anas menambahkan, festival ini adalah salah satu strategi memajukan kebudayaan daerah. Di sejumlah negara, beragam atraksi seni-budaya telah menjadi indikator kebahagiaan warga dan kemajuan daerah.
"Jadi kemajuan daerah tidak semata-mata diukur dari ekonomi saja, tapi juga proses memajukan seni-budaya. Di Jepang dan Korea, budaya menjadi sumber kemajuan negara. Maka, selama enam tahun terakhir kami konsisten menggelar festival untuk memajukan budaya Banyuwangi," kata Anas.
Anas mengemukakan Festival Angklung Paglak ini juga menambah cantik kawasan bandara hijau Banyuwangi. Suasana khas lokal semakin terasa di bandara yang mengadopsi arsitekur berbasis budaya Suku Using tersebut.
Sejumlah wisatawan yang baru mendarat pun senang dengan festival tersebut. "Surprise, kok ada suara angklung pas berjalan di terminal bandara. Ternyata ada Festival Angklung Paglak. Langsung saya bawa anak-anak untuk nonton, maklum mereka tidak pernah tahu seni seperti ini. Mereka sangat tertarik," ujar dr. Hendrawan, penumpang asal Surabaya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kami ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam keterangan persnya di Banyuwangi, Minggu.
Ia menjelaskan bahwa festival angklung yang digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi, Sabtu (4/8) itu menampilkan alunan musik dari material bambu. Musik itu mengalun merdu dari 38 menara bambu yang dalam bahasa setempat disebut "paglak".
Paglak adalah menara bambu setinggi 6 hingga 7 meter dengan lebar masing-masing sisinya sekitar dua meter. Dari menara tersebut, musik angklung khas Banyuwangi dimainkan oleh dua hingga empat pemusik.
Menurut Anas, kesenian tradisional ini muncul sejak 1880 silam dengan dimainkan di tengah sawah saat musim panen. Masyarakat Suku Using yang kerap disebut sebagai warga asli Banyuwangi biasanya saling membantu saat musim panen tiba.
Saat ada warga yang sedang panen di sawahnya, katanya, warga lainnya guyub membantu. Angklung paglak itu dimainkan sebagai undangan dari sang pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani.
"Jadi festival ini bukan sekadar atraksi wisata, tapi ada filosofi yang ingin disampaikan, khususnya ke anak-anak muda. Nilai-nilai gotong royong ala masyarakat saat musim panen ini penting diteladani. Kalau hanya disampaikan di dalam kelas, akan membosankan. Tapi kalau langsung dimainkan seperti ini anak-anak langsung tahu," kata Anas.
Dalam festival ini, para pemusik angklung berusaha menghasilkan alunan musiknya yang terbaik. Satu per satu grup peserta menunjukkan kemahirannya memainkan alat musik pukul dari bambu tersebut. Semakin kencang pukulannya, maka menara bambu akan ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian tersebut.
Seorang peserta, Sumantri (55), mengatakan dirinya sejak kecil sudah lihai memainkan angklung. "Senang saat sekarang ada festivalnya. Biasanya saya main di tengah sawah sendirian, sekarang bisa main ditonton banyak orang," ujarnya.
Anas menambahkan, festival ini adalah salah satu strategi memajukan kebudayaan daerah. Di sejumlah negara, beragam atraksi seni-budaya telah menjadi indikator kebahagiaan warga dan kemajuan daerah.
"Jadi kemajuan daerah tidak semata-mata diukur dari ekonomi saja, tapi juga proses memajukan seni-budaya. Di Jepang dan Korea, budaya menjadi sumber kemajuan negara. Maka, selama enam tahun terakhir kami konsisten menggelar festival untuk memajukan budaya Banyuwangi," kata Anas.
Anas mengemukakan Festival Angklung Paglak ini juga menambah cantik kawasan bandara hijau Banyuwangi. Suasana khas lokal semakin terasa di bandara yang mengadopsi arsitekur berbasis budaya Suku Using tersebut.
Sejumlah wisatawan yang baru mendarat pun senang dengan festival tersebut. "Surprise, kok ada suara angklung pas berjalan di terminal bandara. Ternyata ada Festival Angklung Paglak. Langsung saya bawa anak-anak untuk nonton, maklum mereka tidak pernah tahu seni seperti ini. Mereka sangat tertarik," ujar dr. Hendrawan, penumpang asal Surabaya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018