Jakarta, (Antara) - Presiden Joko Widodo menerima tim perumus Revisi Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Istana Merdeka Jakarta.

"Jadi Presiden ingin mendapatkan progress terkait draf terakhir. Presiden justru menginginkan upaya percepatan," kata salah satu anggota Tim Perumus, Enny Nurbaningsih, saat konferensi pers usai bertemu Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Rabu.

Dia mengungkapkan bahwa Presiden berharap bahwa kalau bisa di masa sidang ini dipercepat, jika tidak selesai pada masa pemerintahan ini dikhawatirkan akan kembali ke nol jika terjadi perubahan pemerintahan.

"Jika ini tidak selesai dalam proses  pemerintahan 2019 ini, sampai 2019, apalagi tahun politiik, akan jadi permasalahan besar buat kita semua karena dia akan diulangi dari 0 lagi di dalam periode pemerintahan berikutnya," tuturnya.

Sedangkan Koordinator Tim Perumus, Muladi, mengatakan pada intinya Presiden sangat konsen terhadap kritik-kritik yang dilemparkan masyarakat terhadap RUU KUHP.

"RUU KUHP kritik ini, saya nilai sporadis tapi harus diperhatikan," kata Muladi yang didampingi oleh anggota tim perumus lainnya.

Muladi menilai sporadis ini karena dilontarkan sepotong-potong, seperti pasal penghinaan Presiden, pasal LGBT.

Muladi mengatakan bahwa pasal penghinaan Presiden ini telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi yang sifatnya final dan mengikat, namun dalam faktanya terjadi anomali.

"Menghina kepala negara asing itu dipidana, tapi Presiden sendiri tidak disebutkan dalam KUHP supaya dihapus sama sekali," ucapnya.

Dia mengatakan pasal ini berasal dari pasal penaburan kebencian, permusuhan kebencian kepada pemerintah yang sah berlaku di Indonesia.

"Jadi aslinya itu oleh pemerintah Belanda diimpor dari India untuk menindas perjuangan kemerdekaan, tapi kemudian kita akan merubah tidak ada lagi istilah menaburkan kebencian dan permusuhan, itu pasal karet," jelasnya.

Enny menambahkan bahwa istilah penghinaan itu kan merendahkan martabat seseorang, namun ada pengecualian di situ bahwa itu dalam rangka mengkritik, maka itu alasan penghapus pidana.

"Dan itu dalam penjelasan lebih rinci lagi. Jadi ini jangan sampai terjadi multitafsir," ujarnya.

Sementara masalah homoseksual terhadap anak di bawah umur, itu yang dipidana sekarang akan diperluas karena ada pro-kontra LGBT semakin luas.

"Tidak hanya di bawah umur, tapi juga mengandung unsur pornografi dilakukan kekerasan ancaman kekerasan dan pornografi dan sebagainya atau dipublikasikan, itu yang kita larang," tambah Muladi.

Dalam kesempatan ini, Muladi juga menyinggung Muladi kekhawatiran soal bakal tergesernya lembaga-lembaga terkait pemberantasan terorisme, narkotika, juga pemberantasan korupsi terkait RUU KUHP ini.

"Itu tidak benar. Sama sekali kita tidak mencampuri kelembagaannya, mereka tetap sah. Kita tidak mengubah sekali. Jadi tidak ada kekhawatiran memasung KPK dan sebagainya," katanya.

Muladi mengatakan yang dimasukkan di KUHP adalah konsolidasi hukum pidana materiil yang tersebar itu, diambil kejahatan intinya (core crime).

"Kita tetap membiarkan uu yang masih berlaku sekarang UU tipikor, KPK dan sebagainya. Sama sekali kita tidak mencamuri, tidak mencampuri kelembagannya, mereka tetap sah, kita tidak mengubah sekali. Jadi tidak ada kekhawatiran memasung KPK dan sebagainya," tegasnya.(*)
Video Oleh Joko Susilo
 

Pewarta: Joko Susilo

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018