Surabaya, (Antaranews Jatim) - LBH Surabaya bersama dengan elemen masyarakat, seperti FMN, Rakapare, LKBHMI, Arkom Jatim dan Paguyuban Warga Korban Penggusuran Kota Surabaya yang mengatasnamakan Aliansi Tolak Penggusuran Kota Surabaya, membuka posko pengaduan penggusuran di Kota Surabaya yang bertempat di kantor LBH.

Kordinator Posko YLBHI- LBH Surabaya Wachid Habibullah, Kamis mengatakan fenomena penggusuran ruang hidup tempat tinggal warga Kota Surabaya dalam beberapa waktu terakhir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya serta pihak-pihak lain atas nama penertiban asset dan pembangunan sangat masif terjadi.

"Menurut catatan YLBHI - LBH Surabaya warga kota Surabaya yang berpotensi menjadi korban penggusuran terjadi di beberapa wilayah di Surabaya, antara lain di Medokan Semampir, Keputih Tegal Timur Baru, Stren Kali Kandangan wilayah Asemrowo, Tambak Oso, Wonokusumo serta Bulak Banteng Banderejo," katanya.

Ia menjelaskan, tidak kurang dari 157 kepala keluarga yang menjadi korban, belum yang terjadi di wilayah Wonokusumo PT. KAI mengklaim lahan pemukiman warga seluas 22 hektare dihuni oleh 24 ribuan warga juga terancam digusur.

"Perampasan ruang hidup tempat tinggal warga melalui penggusuran secara sepihak bertentangan dengan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria yang semangatnya adalah pembagian tanah yang adil dan memperluas hak milik atas tanah masyarakat," ujarnya.

Menurut data BPN, kata dia, sejak akhir tahun 2016 baru 44 persen tanah di Indonesia yang bersertifikat yang justru melegitimasi adanya penggusuran kepada masyarakat karena tidak mempunyai sertifikat.

"Warga yang telah menghuni di pemukiman tersebut sudah menempati rata-rata 20-30 tahun yang lalu, sehingga berdasarkan hal tersebut penguasaan secara fisik oleh masyarakat atas lahan seharusnya dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas lahan tersebut berdasarkan Pasal 24 PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah seharusnya BPN harus menerbitkan sertifikat atas penguasaan fisik tersebut kepada warga," ujarnya.

Ia menjelaskan, menurut Resolusi Nomor 2004/28 Komisi HAM PBB menyatakan bahwa penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran HAM berat terutama ha katas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Bahkan UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan pemerintah melindungi hak asasi setiap warga negaranya.

"Pemerintah juga belum mampu untuk memberikan solusi atas penggusuran serta memberikan ganti untung yang layak kepada korban, sehingga kebijakan penggusuran akan semakin menambah kemiskinan serta penurunan derajat kesejahteraan hidup akibat kehilangan rumah dan pekerjaan," katanya.

Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, ke depan akan semakin banyak penggusuran yang akan dilakukan di Kota Surabaya, maka Aliansi Tolak Penggusuran Kota Surabaya membuka Posko Pengaduan Penggusuran di Kota Surabaya untuk menerima pengaduan dari warga korban penggusuran serta melakukan advokasi secara bersama-sama terhadap hal tersebut.

Ia mengatakan, Aliansi Tolak Penggusuran Kota Surabaya menyatakan pertama menolak seluruh penggusuran di Kota Surabaya oleh Pemerintah Kota Surabaya dan pihak-pihak lain atas nama penertiban asset dan pembangunan.

"Kedua meminta DPRD Kota Surabaya sebagai wakil rakyat untuk berkomitmen hadir melakukan pembelaan terhadap warga kota Surabaya yang mengalami tindakan penggusuran dan yang ketiga yaitu meminta BPN/Kementrian ATR untuk dapat memproses permohonan serta menerbitkan sertifikat kepada warga atas penguasaan lahan secara fisik sejak puluhan tahun lalu," ucapnya.(*)

Pewarta: Indra Setiawan

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018