Jakarta (Antaranews Jatim) - Pengamat ekonomi energi UGM dan mantan anggota tim reformasi tata kelola migas Fahmy Radhi mengatakan sampai tahun 2019 tarif dasar listrik diprediksi masih stabil, meski harga batu bara terus mengalami kenaikan.

Prediksi itu, kata Fahmy dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis mengatakan karena apabila ada kenaikan listrik akan berdampak sangat luas dan menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok, serta akan membebani masyarakat

"Seharusnya PLN menaikkan tarif tenaga listrik, namun mengingat dampaknya akan sangat terasa pada inflasi yang akan menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok, dan juga pasti akan membebani masyarakat dengan daya beli rendah, maka saya memprediksi sampai tahun 2019, tarif tenaga listrik masih stabil," kata Fahmy.

Ia mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir harga batu bara di pasar internasional terus melambung, dan kondisi ini dirasa tidak mudah bagi PT PLN yang sebagian besar pembangkitnya menggunakan batubara.

Pada 2016, harga batubara mencapai Rp630.000,-/ton, lalu naik menjadi Rp853.000,-/ton di tahun berikutnya. "Inilah yang menyebabkan biaya penyediaan tenaga listrik PLN membengkak sekitar Rp16,18 triliun pada 2017," katanya.

Saat ini, kata dia, pemerintah sedang menyusun formula baru untuk menentukan Tarif Dasar Listrik (TDL), dan selama ini komponen untuk menyusun TDL adalah berdasarkan inflasi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price - ICP), dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Padahal, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar batu bara. Untuk itu di tengah upaya pemerintah mengkaji perubahan acuan tarif, maka hal ini perlu diwaspadai, karena harga acuan batu bara justru cenderung meningkat, seperti juga naiknya harga produk pertambangan yang lain.

Ia meminta agar penetapan harga jual batu bara dalam negeri melalui domestic market obligation (DMO) harus berkeadilan sesuai dengna prinsip berbagi keadilan pemerintah kabinet Presiden Joko Widodo.

"Prinsipnya menerapkan share gain and share pain atau berbagi keuntungan dan juga beban antara pengusaha batu bara dengan pemerintah dan PLN," kata Fahmy di Jakarta, Kamis.

Fahmy menyatakan, usulan DMO menggunakan batas atas dan batas bawah, baik yang diajukan oleh PLN ataupun Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) sebenarnya merupakan solusi terbaik untuk berbagi, ketimbang harus menerapkan perhitungan berdasarkan besarnya biaya (cost) ditambah dengan margin (keuntungan).

"Ini dilakukan sebagai cara mencegah terjadinya proses kebangkrutan PLN, di mana harga batubara yang dijual di luar PLN dan diekspor 75 persen ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar," katanya.

Ia juga memprediksi, tren naiknya harga batu bara sepertinya juga akan terus berlanjut, dan pada Januari 2018 harga batubara berkalori 6.322 naik lagi ke posisi 95,54 dolar AS per ton, atau lebih dari Rp1.297.000 per ton.

"Bulan Februari ini, Kementerian ESDM kembali menaikkan harga batubara acuan (HBA) menjadi 100,69 dolar AS per ton. Tidak mengherankan bila biaya penyediaan listrik tahun ini diperkirakan bakal naik sekitar Rp23,8 triliun," katanya.

Direktur Eksekutif Indonesia Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan mengingat kontribusi pembangkit listrik yang menggunakan batubara sebagai energi primer sangat besar sampai 60 persen, maka naik atau turunnya harga batubara dalam setahun terakhir telah meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik secara signifikan.

Oleh karena itu, peran pemerintah membuat kebijakan dan peraturan terkait harga batu bara untuk melindungi kepentingaan PLN dan rakyat harus dilakukan.

Karena, menurut dia, apabila pemerintah mampu membuat peraturan khusus atau harga gas yang murah untuk sektor industri, maka seharusnya pemerintah juga harus bersikap sama untuk menetapkan harga khusus batubara bagi PLN.   

"Seharusnya negara punya kewenangan dalam menetapkan aloksi dan harga, bagi optimalisasi pendapatan negara, termasuk juga mengatur biaya pokok produksi kelistrikan yang tepat. Batubara bukanlah semata-mata komoditas belaka. Ia adalah sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dengan segala efek berkesinambungannya," katanya.(*)

Pewarta: Abdul Malik Ibrahim

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018