Jember (Antara Jatim) - Setiap kabupaten/kota memiliki Peraturan daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahun ditetapkan oleh kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui mekanisme perundang-undangan yang sudah diatur oleh pemerintah.

Sebelum dibahas rancangan APBD, biasanya didahului dengan pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) atau yang biasa disingkat KUA-PPAS yang merupakan dokumen anggaran yang dibuat oleh sekertaris daerah untuk disampaikan kepada kepala daerah sebagai pedoman dalam penyusunan APBD sesuai dengan Permendagri No.59 Tahun 2007.

KUA-PPAS disusun berdasarkan Rencana Kerja Prioritas Daerah (RKPD) dari hasil Musyawarah Perencanan Pembangunan (Musrenbang) yang dilaporkan paling lambat minggu pertama bulan Juli dan disampaikan kepada pihak legislatif.

Namun keterlambatan penyerahan KUA-PPAS kepada DPRD hampir terjadi di sejumlah daerah seperti Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember, Jawa Timur yang mengirimkan KUA-PPAS pada September 2017, padahal pihak dewan sudah mengingatkan dengan mengirim surat kepada Bupati Jember pada 17 Juli 2017.

Keterlambatan tersebut berdampak pada molornya pembahasan KUA-PPAS hingga pembahasan APBD 2018 di DPRD Jember, bahkan hingga akhir Desember 2017 belum juga ditandatangani kesepakatan KUA-PPAS karena Bupati Jember tidak setuju usulan dari Badan Anggaran DPRD Jember tentang pergeseran anggaran senilai Rp125 miliar.

Bahkan beberapa waktu lalu, Bupati Jember dikabarkan sudah menandatangani nota kesepakatan KUA-PPAS APBD 2018 sendiri tanpa bersamaan dengan DPRD Jember, kemudian mengirimkan surat penandatanganan tersebut ke legislatif.

Ketua DPRD Jember Thoif Zamroni mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan aturan karena penandatanganan nota kesepakatan KUA-PPAS seharusnya dilakukan secara bersamaan antara bupati dan pimpinan DPRD sesuai dengan  Permendagri Nomor 59 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pada pasal 88 ayat 1 disebutkan dengan jelas jika penandatanganan harus dilakukan secara bersamaan, sehingga peraturannya jelas, bagaimana tata cara penandatanganan KUA-PPAS dilakukan dan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri seperti surat yang dikirimkan oleh Bupati Jember.

Dalam surat nota kesepakatan tersebut, bupati juga tidak melampirkan kesepakatan yang dilakukan oleh Badan Anggaran DPRD Jember dan Tim Anggaran Pemkab Jember tentang KUA-PPAS seperti realokasi anggaran senilai Rp125 miliar.

Politikus Partai Gerindra itu menilai Bupati Jember terkesan memaksa DPRD Jember agar mau menyetujui KUA-PPAS APBD 2018 awal yang diajukan oleh Pemkab Jember tanpa pergeseran alokasi anggaran yang sudah dibahas oleh Tim Anggaran Pemkab dengan Badan Anggaran DPRD.

Thoif menegaskan DPRD Jember tetap teguh kepada keputusan saat dilakukan pembahasan bersama KUA-PPAS pada 1 November 2017 dengan realokasi anggaran senilai Rp125 miliar karena pergeseran anggaran itu digunakan untuk kepentingan yang bersentuhan dengan masyarakat seperti persoalan guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap, serta Dinas Pertanian yang memiliki anggaran sangat sedikit.

Akibat ketegangan politik tersebut penetapan KUA-PPAS dan pembahasan rancangan APBD Jember tahun 2018 macet dan mengalami kebuntuan atau "deadlock" karena tidak ada titik temu antara Bupati Jember dengan DPRD setempat hingga akhir tahun 2017.

Thoif mengakui bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan "deadlock"nya pembahasan rancangan APBD 2018 yakni komunikasi politik yang kurang baik antara eksekutif dengan legislatif, namun sejauh ini pihaknya selalu berusaha menjalin komunikasi dengan eksekutif untuk memperbaiki komunikasi tersebut dan tidak mendapat tanggapan dari Bupati Jember.

"Kami berharap Pemkab Jember menghormati tugas dan fungsi legislatif yang memiliki fungsi kontrol dan budgeting yang diatur oleh undang-undang, sehingga kami juga akan menghormati Bupati dalam menjalankan tugasnya," katanya.

Legislator Gerindra Jember itu menyampaikan DPRD Jember memiliki tugas dan fungsi untuk mengontrol anggaran yang diajukan Pemkab Jember, sehingga koreksi anggaran yang dinilai tidak tepat sasaran harus digeser ke alokasi yang tepat.

Sementara Bupati Jember Faida mengatakan untuk kesepakatan pembahasan APBD 2018 harus ada keinginan dua belah pihak yakni eksekutif dan legislatif, sehingga tidak bisa hanya satu pihak yang berkeinginan untuk menetapkan APBD.

"KUA-PPAS adalah ranahnya eksekutif, sehingga tidak boleh ada pemaksaan (realokasi anggaran) dari pihak legislatif karena semuanya ada ketentuan yang sudah diatur undang-undang," tuturnya.

Menurutnya APBD bukan untuk kepentingan bupati dan wakil bupati, namun untuk kepentingan rakyat Jember, sehingga harus ada keterbukaan hati kedua belah pihak untuk melakukan pembahasan tersebut.

Faida menegaskan KUA-PPAS adalah tanggung jawab Bupati karena sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), sehingga tidak bisa dibelok-belokkan dan dipaksakan karena sudah ada aturannya.

Ia menilai pembahasan APBD tersebut tidak perlu menunggu Gubernur Jatim karena pihak eksekutif sudah bertemu dengan Gubernur Soekarwo dan APBD sudah ada di tangan legislatif, sehingga pembahasan tersebut berada di ranah gedung DPRD Jember.

Kalau sudah ada kesepakatan untuk tidak mufakat, lanjut dia, maka pembahasan APBD tersebut tidak akan berjalan dan tidak akan pernah akan ada sepakat untuk membahas APBD 2018.

Teguran Gubernur Jatim dan Sanksi
Berlarut-larutnya kondisi tersebut dilaporkan kepada Gubernur Jawa Timur, bahkan surat teguran dari Gubernur Soekarwo juga dilayangkan kepada Bupati dan DPRD Jember akibat keterlambatan penetapan APBD 2018.

Dari surat tersebut, Gubernur memberikan peringatan bahwa kalau APBD tidak segera ditetapkan, maka siap-siap untuk menghadapi sanksi sesuai pasal 312 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni bupati dan DPRD tidak menerima gaji selama enam bulan berturut-turut.

Sanksi keterlambatan penetapan APBD tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, sehingga sanksi itu tidak hanya untuk kepala daerah, namun pimpinan DPRD setempat.

Aturan itu bertujuan agar pembahasan anggaran bisa selesai tepat waktu di masing-masing daerah, sehingga APBD 2018 bisa langsung digunakan pada 1 Januari 2018.

Berdasarkan catatan Antara pada 2017, di Jatim ada empat daerah yang hampir tidak mengesahkan APBD 2017 yakni Kota Batu, Kabupaten Jember, Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sumenep, namun Kota Batu dan Kabupaten Jember akhirnya bisa mengesahkan APBD pada detik-detik akhir batas pengesahan yang ditentukan pemerintah, sedangkan Bangkalan dan Sumenep mendapat sanksi atas keterlambatan penetapan APBD tersebut.     
Sementara pakar hukum Universitas Jember Dr. Nurul Ghufron mengatakan penyebab "deadlock" pembahasan KUA-PPAS dan APBD karena komunikasi antara legislatif dengan eksekutif kurang baik, sehingga kedua belah pihak tidak bisa menemukan kesepakatan dan mencari solusi atas kebuntuan tersebut.

"Jika memang sudah ada kesepakatan, maka satu hari persoalan itu bisa cepat diselesaikan. Namun ketika tidak ada kata sepakat, maka dalam satu tahun pun tidak akan selesai untuk pembahasan APBD. Kuncinya adalah komunikasi dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya," katanya.

Gubernur Jatim Soekarwo pun juga diminta turun tangan untuk menyelesaikan persoalan APBD Jember yang "deadlock" tersebut, bahkan Komisi A DPRD Jatim siap menjembatani pertemuan Gubernur Jatim bersama Bupati Jember dan DPRD Jember untuk duduk bersama menyelesaikan hal tersebut.

Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Miftahul Ulum mengatakan nasib APBD Jember sudah sangat kritis karena kedua belah pihak baik eksekutif maupun legislatif sudah tidak bisa duduk bersama-sama untuk menyelesaikan polemik KUA-PPAS dan APBD 2018.

Ia mengatakan perlu campur tangan Pemprov Jatim yakni Gubernur Soekarwo yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan kepada Kabupaten Jember. Kalau sampai APBD 2018 di Jember tidak ditetapkan, maka pembangunan di kabupaten setempat akan terhambat dan hal itu tentu merugikan masyarakat.

APBD pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah, serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. 

Keterlambatan APBD tentu memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat karena banyak program kerja bersentuhan langsung dengan rakyat yang sudah direncanakan pada awal tahun tidak akan terlaksana akibat belum ditetapkan Perda APBD.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017