Surabaya (Antara Jatim) - Pakar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto mengatakan Pemerintah Kota Surabaya perlu mencoba program alternatif guna mengatasi kemiskinan di kota itu.
Ditemui usai acara Gelar Inovasi Guru Besar bertema "Formula menghadapi Revolusi Ekonomi Global di Era Kekinian" di kampus Unair di Surabaya, Kamis, Prof Bagong mengatakan program alternatif itu salah satunya bisa dengan merangkul pekerja kaki lima (PKL) di kota itu.
"Jika satu PKL di Surabaya dan tidak ada kebocoran dana retribusi menyumbang Rp5.000 bagi Surabaya, berapa dana PAD Surabaya? Tapi itu tidak akan terjadi jika PKL dianggap sebagai gangguan ketertiban kota yang terjadi digusur, tidak dianggap sebagai untuk membangun kota," kata Bagong.
Migran miskin di kota, kata dia, harusnya bisa mendapat pelayanan baik di kota. Bagong mencontohkan saat dirinya mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah untuk rumah, namun orang miskin tak mendapatkan hal yang sama dan harus membangun sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Surabaya, diakuinya semakin indah dengan beberapa program Green and Clean dari Pemkot, namun menurutnya semakin memarjinalkan orang miskin yang ada di kota itu.
"Ketika Surabaya dibuat program trotoar sampai menerima penghargaan internasional, pertanyaannya bolehkah orang miskin berjualan di trotoar? Kota ini makin indah tapi juga makin memarjinalisasi orang miskin," ujarnya.
Dia memberi saran untuk bisa mengatasi kemiskinan, pejabat harus berempati dan harus belajar dari orang miskin. "Selama ini kita mengajari orang miskin. Yang dilakukan itu untuk orang miskin," tutur dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Ditemui usai acara Gelar Inovasi Guru Besar bertema "Formula menghadapi Revolusi Ekonomi Global di Era Kekinian" di kampus Unair di Surabaya, Kamis, Prof Bagong mengatakan program alternatif itu salah satunya bisa dengan merangkul pekerja kaki lima (PKL) di kota itu.
"Jika satu PKL di Surabaya dan tidak ada kebocoran dana retribusi menyumbang Rp5.000 bagi Surabaya, berapa dana PAD Surabaya? Tapi itu tidak akan terjadi jika PKL dianggap sebagai gangguan ketertiban kota yang terjadi digusur, tidak dianggap sebagai untuk membangun kota," kata Bagong.
Migran miskin di kota, kata dia, harusnya bisa mendapat pelayanan baik di kota. Bagong mencontohkan saat dirinya mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah untuk rumah, namun orang miskin tak mendapatkan hal yang sama dan harus membangun sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Surabaya, diakuinya semakin indah dengan beberapa program Green and Clean dari Pemkot, namun menurutnya semakin memarjinalkan orang miskin yang ada di kota itu.
"Ketika Surabaya dibuat program trotoar sampai menerima penghargaan internasional, pertanyaannya bolehkah orang miskin berjualan di trotoar? Kota ini makin indah tapi juga makin memarjinalisasi orang miskin," ujarnya.
Dia memberi saran untuk bisa mengatasi kemiskinan, pejabat harus berempati dan harus belajar dari orang miskin. "Selama ini kita mengajari orang miskin. Yang dilakukan itu untuk orang miskin," tutur dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017