September tahun ini rasanya sedikit berbeda dibanding September tahun-tahun sebelumnya. Itu jika kita mau jujur merasakan pergulatan politik dan wacana berkaitan dengan peringatan hari berkabung nasional pada 30 September. Hari di mana pada 52 tahun silam terjadi pemberontakan berdarah oleh gerakan terorganisasi di bawah komando Partai Komunis Indonesia.
Itu fakta sejarah berkaitan dengan pergolakan politik kala Indonesia masih muda. Tepatnya, 20 tahunan sejak bangsa Indonesia dengan penuh sukacita memproklamasikan Kemerdekaan dari penjajah kolonial Belanda maupun Jepang.
Selama dua dasawarsa itu, dua kali PKI yang awalnya menjadi elemen bangsa dan terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, akhirnya memilih "jalan sesat" pemberontakan. Pertama terjadi pada 1948 di Madiun, dipimpin Muso Munawar (Paul Mussotte), dan kedua meletus pada 1965 yang puncaknya terjadi pada 30 September yang ditandai dengan drama penculikan dan pembunuhan tujuh (7) jenderal TNI AD.
Sejarah yang ditulis dalam pelbagai produk literasi dokumenter lebih suka menyebutnya dengan istilah "pengkhianatan" terorganisasi, masif dan memecah semangat persatuan NKRI. Ledakan pemberontakan yang puncaknya terjadi pada 30 September 1965 itu kemudian menjelma menjadi luka sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh Bangsa Indonesia.
Sepakat! Tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam hal ini. Sejarah bukan produk sinetron atau film fiksi yang bisa digubah (direvisi) alur ceritanya menurut kemauan sutradara, atau mengakomodasi keinginan mayoritas penonton.
Sebaliknya, sejarah merupakan kompilasi dari serangkaian fakta peristiwa yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk produk literasi, filem dokumenter, foto, maupun rekaman audio.
Masalahnya yang kemudian muncul adalah, bagaimana bangsa ini harus mengelola trauma sejarah ini agar menjadi kekuatan untuk membangun. Bukan justru menjadi "bumerang" bagi potensi perpecahan yang terus berulang dan menggerogoti semangat keutuhan NKRI.
Harus diingat pula, selain drama pemberontakan yang dibumbui pembunuhan sejumlah tokoh TNI AD yang konon dilakukan secara keji, fakta sejarah lain pascaoperasi penumpasan pemberontakan PKI oleh Mayjen Soeharto (mantan presiden ke-2 RI) kala itu, adalah gerakan "balas dendam" terhadap semua yang terkait dengan partai komunis ini.
Aksi massa yang digawangi ormas keagamaan tertentu dan di-"back-up" penuh oleh militer kala itu, nyaris mirip dengan "genocida" etnis Rohingya di Myanmar yang dilakukan kelompok ultranasionalis Budha bersama militer.
Bedanya, di Indonesia pada 1965 yang disasar amuk massa bersama militer adalah PKI dan semua yang terkait komunis yang di-cap anti-Tuhan, meski kalau boleh jujur mayoritas anggota PKI saat itu adalah muslim dan kelompok abangan. Sementara di Rakhine State, Myanmar, gerakan bumi hangus dilakkan terhadap seluruh etnis Rohingya yang didominasi muslim.
Pergulatan politik yang berbaur isu disintegrasi dan agama berbaur dalam dua peristiwa yang dicatat sebagai tragedi kemanusiaan tersebut, apapun alasannya. Tetapi Indonesia dalam posisi lebih beruntung dibanding Myanmar yang masih proses mengalami krisis kemanusiaan saat ini. Bangsa kita sudah melampauinya, meski trauma masih membekas.
Proses demokratisasi di Tanah Air juga sudah berkembang jauh lebih baik hingg akhirnya pascarezim orde baru runtuh, Presiden ke-4 RI Adburrahman Wahid (Gus Dur) memberlakukan kebijakan rekonsiliasi nasional terhadap seluruh eks-tahanan politik maupun anak turun aktivis maupun simpatisan PKI yang terpinggirkan dari kancah politik pembangunan masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Semangat itu tentu harus dipahami secara dewasa, dengan semangat wawasan kebangsaan yang lebih luas seperti juga tertuang dalam amanah Pancasila. Mengapa, ya karena sejarah adalah masa lalu yang tidak perlu terus diungkit dan disegarkan setiap September, karena hanya akan menumbuhkan kebencian secara membabi-buta. Toh PKI sudah bubar, tidak ada lagi. Secara kelembagaan, partai komunis sudah tidak mendapat tempat di panggung politik Tanah Air. Lalu kenapa mesti takut terhadap isu kebangkitan PKI.
Kalau bicara trauma, Bangsa Indonesia harusnya jauh lebih trauma terhadap Belanda yang menjajah Nusantara hingga 3,5 abad lamanya. Atau kepada Jepang menciptakan romusha dan penderitaan hingga kematian jutaan penduduk Indonesia dalam kurun 1942-1945, semasa pecah Perang Dunia II.
Tapi toh nyatanya menjalin kerjasama luar negeri sangat mesra dengan Belanda maupun Jepang hingga saat ini. Bantuan juga kerap diterima.
Pelajar dan mahasiswa Indonesia bahkan tak sedikit yang belajar dan mendapat beasiswa di dua negara bekas penjajah kejam itu. Tanpa ada rasa curiga, tanpa ada trauma berlebihan.
Seharusnya, sikap dewasa dan berwawasan kebangsaan serupa juga bisa kita lakukan dalam isu (tragedi) 1965. Bukan berarti kita memberi ruang terhadap kebangkitan (hantu) komunisme, tetapi lebih supaya masyarakat Indonesia bisa mengenang tragedi kemanusiaan pada periode kelam 1965 secara utuh. Tidak hanya atas kekejaman PKI yang membunuh sejumlah petinggi militer kala itu, tetapi juga atas serangkaian ekses mobilisasi massa yang melakukan "genocida" semua orang yang berbau PKI.
Sepakat, PKI yang cacat sejarah tidak boleh bangkit dalam manifesto apapun. Tetapi kebencian berlebih yang pernah memicu gerakan "pembersihan" orang-orang yang dicap komunis pasca G30S-PKI tidak seharusnya terus dipelihara.
Mengapa, karena isu "hantu PKI" di era orde baru maupun pascareformasi sarat muatan politik kepentingan. Tujuannya tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaan (orde baru). Sementara di era sekarang rentan digunakan kelompok kepentingan untuk mencari simpati publik sekaligus pijakan politik guna meraih kekuasaan.
Apalagi, saat ini mendekati tahun hajatan politik nasional, pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada 2019.
Bersikap terbuka (inklusif) bisa menjadi pilihan yang rasional agar generasi bangsa ini, yang mayoritas tidak tahu langsung dalam pergulatan politik 1965, mendapat pencerahan sejarah lebih proporsional dan teruji secara akademis sehingga lepas dari bayang-bayang propaganda pihak tertentu.
Jangan sampai isu G30S-PKI setiap bulan September hanya menjadi "kuda troya" kelompok-kelompok oportunis politik dengan cara memberangus kebebasan sipil dalam mengembangkan kajian-kajian sejarah tentang pemberontakan PKI. salah satu sejarah paling penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia.
Ingat, sejarah yang sudah ada tentang PKI dan rangkaian pemberontakan yang dilakukan bukanlah Kitab Suci yang tidak boleh dikaji.
Dalam keilmuan, literasi tentang sejarah apapun yang dibuat harus terbuka untuk diuji. Tujuannya jelas, agar produk literasi berbentuk buku dan film dokumenter sejarah yang dibuat lebih mendekati kebenaran sejati. Apalagi filem G30S-PKI, yang sebagian alur ceritanya diakui oleh Jajang C Noer (istri sutradara film G30S-PKI, Arifin C Noer) ada unsur fiksi guna mendramatisir cerita dalam bingkai sinematografi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Itu fakta sejarah berkaitan dengan pergolakan politik kala Indonesia masih muda. Tepatnya, 20 tahunan sejak bangsa Indonesia dengan penuh sukacita memproklamasikan Kemerdekaan dari penjajah kolonial Belanda maupun Jepang.
Selama dua dasawarsa itu, dua kali PKI yang awalnya menjadi elemen bangsa dan terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, akhirnya memilih "jalan sesat" pemberontakan. Pertama terjadi pada 1948 di Madiun, dipimpin Muso Munawar (Paul Mussotte), dan kedua meletus pada 1965 yang puncaknya terjadi pada 30 September yang ditandai dengan drama penculikan dan pembunuhan tujuh (7) jenderal TNI AD.
Sejarah yang ditulis dalam pelbagai produk literasi dokumenter lebih suka menyebutnya dengan istilah "pengkhianatan" terorganisasi, masif dan memecah semangat persatuan NKRI. Ledakan pemberontakan yang puncaknya terjadi pada 30 September 1965 itu kemudian menjelma menjadi luka sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh Bangsa Indonesia.
Sepakat! Tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam hal ini. Sejarah bukan produk sinetron atau film fiksi yang bisa digubah (direvisi) alur ceritanya menurut kemauan sutradara, atau mengakomodasi keinginan mayoritas penonton.
Sebaliknya, sejarah merupakan kompilasi dari serangkaian fakta peristiwa yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk produk literasi, filem dokumenter, foto, maupun rekaman audio.
Masalahnya yang kemudian muncul adalah, bagaimana bangsa ini harus mengelola trauma sejarah ini agar menjadi kekuatan untuk membangun. Bukan justru menjadi "bumerang" bagi potensi perpecahan yang terus berulang dan menggerogoti semangat keutuhan NKRI.
Harus diingat pula, selain drama pemberontakan yang dibumbui pembunuhan sejumlah tokoh TNI AD yang konon dilakukan secara keji, fakta sejarah lain pascaoperasi penumpasan pemberontakan PKI oleh Mayjen Soeharto (mantan presiden ke-2 RI) kala itu, adalah gerakan "balas dendam" terhadap semua yang terkait dengan partai komunis ini.
Aksi massa yang digawangi ormas keagamaan tertentu dan di-"back-up" penuh oleh militer kala itu, nyaris mirip dengan "genocida" etnis Rohingya di Myanmar yang dilakukan kelompok ultranasionalis Budha bersama militer.
Bedanya, di Indonesia pada 1965 yang disasar amuk massa bersama militer adalah PKI dan semua yang terkait komunis yang di-cap anti-Tuhan, meski kalau boleh jujur mayoritas anggota PKI saat itu adalah muslim dan kelompok abangan. Sementara di Rakhine State, Myanmar, gerakan bumi hangus dilakkan terhadap seluruh etnis Rohingya yang didominasi muslim.
Pergulatan politik yang berbaur isu disintegrasi dan agama berbaur dalam dua peristiwa yang dicatat sebagai tragedi kemanusiaan tersebut, apapun alasannya. Tetapi Indonesia dalam posisi lebih beruntung dibanding Myanmar yang masih proses mengalami krisis kemanusiaan saat ini. Bangsa kita sudah melampauinya, meski trauma masih membekas.
Proses demokratisasi di Tanah Air juga sudah berkembang jauh lebih baik hingg akhirnya pascarezim orde baru runtuh, Presiden ke-4 RI Adburrahman Wahid (Gus Dur) memberlakukan kebijakan rekonsiliasi nasional terhadap seluruh eks-tahanan politik maupun anak turun aktivis maupun simpatisan PKI yang terpinggirkan dari kancah politik pembangunan masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Semangat itu tentu harus dipahami secara dewasa, dengan semangat wawasan kebangsaan yang lebih luas seperti juga tertuang dalam amanah Pancasila. Mengapa, ya karena sejarah adalah masa lalu yang tidak perlu terus diungkit dan disegarkan setiap September, karena hanya akan menumbuhkan kebencian secara membabi-buta. Toh PKI sudah bubar, tidak ada lagi. Secara kelembagaan, partai komunis sudah tidak mendapat tempat di panggung politik Tanah Air. Lalu kenapa mesti takut terhadap isu kebangkitan PKI.
Kalau bicara trauma, Bangsa Indonesia harusnya jauh lebih trauma terhadap Belanda yang menjajah Nusantara hingga 3,5 abad lamanya. Atau kepada Jepang menciptakan romusha dan penderitaan hingga kematian jutaan penduduk Indonesia dalam kurun 1942-1945, semasa pecah Perang Dunia II.
Tapi toh nyatanya menjalin kerjasama luar negeri sangat mesra dengan Belanda maupun Jepang hingga saat ini. Bantuan juga kerap diterima.
Pelajar dan mahasiswa Indonesia bahkan tak sedikit yang belajar dan mendapat beasiswa di dua negara bekas penjajah kejam itu. Tanpa ada rasa curiga, tanpa ada trauma berlebihan.
Seharusnya, sikap dewasa dan berwawasan kebangsaan serupa juga bisa kita lakukan dalam isu (tragedi) 1965. Bukan berarti kita memberi ruang terhadap kebangkitan (hantu) komunisme, tetapi lebih supaya masyarakat Indonesia bisa mengenang tragedi kemanusiaan pada periode kelam 1965 secara utuh. Tidak hanya atas kekejaman PKI yang membunuh sejumlah petinggi militer kala itu, tetapi juga atas serangkaian ekses mobilisasi massa yang melakukan "genocida" semua orang yang berbau PKI.
Sepakat, PKI yang cacat sejarah tidak boleh bangkit dalam manifesto apapun. Tetapi kebencian berlebih yang pernah memicu gerakan "pembersihan" orang-orang yang dicap komunis pasca G30S-PKI tidak seharusnya terus dipelihara.
Mengapa, karena isu "hantu PKI" di era orde baru maupun pascareformasi sarat muatan politik kepentingan. Tujuannya tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaan (orde baru). Sementara di era sekarang rentan digunakan kelompok kepentingan untuk mencari simpati publik sekaligus pijakan politik guna meraih kekuasaan.
Apalagi, saat ini mendekati tahun hajatan politik nasional, pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada 2019.
Bersikap terbuka (inklusif) bisa menjadi pilihan yang rasional agar generasi bangsa ini, yang mayoritas tidak tahu langsung dalam pergulatan politik 1965, mendapat pencerahan sejarah lebih proporsional dan teruji secara akademis sehingga lepas dari bayang-bayang propaganda pihak tertentu.
Jangan sampai isu G30S-PKI setiap bulan September hanya menjadi "kuda troya" kelompok-kelompok oportunis politik dengan cara memberangus kebebasan sipil dalam mengembangkan kajian-kajian sejarah tentang pemberontakan PKI. salah satu sejarah paling penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia.
Ingat, sejarah yang sudah ada tentang PKI dan rangkaian pemberontakan yang dilakukan bukanlah Kitab Suci yang tidak boleh dikaji.
Dalam keilmuan, literasi tentang sejarah apapun yang dibuat harus terbuka untuk diuji. Tujuannya jelas, agar produk literasi berbentuk buku dan film dokumenter sejarah yang dibuat lebih mendekati kebenaran sejati. Apalagi filem G30S-PKI, yang sebagian alur ceritanya diakui oleh Jajang C Noer (istri sutradara film G30S-PKI, Arifin C Noer) ada unsur fiksi guna mendramatisir cerita dalam bingkai sinematografi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017