Bondowoso, (Antara Jatim) - Banyak kalangan meyakini diterimanya Islam secara massif di Bumi Nusantara pada era kerajaan dahulu karena para wali di Pulau Jawa menyebarkannya dengan memperhatikan budaya masyarakat.

Konon, istilah-istilah agama yang menggunakan bahasa Arab disesuaikan dengan bahasa setempat, seperti kalimat Syahadat menjadi Kalimasodo, syekh menjadi kiai, mushalla menjadi langgar atau surau dan lainnya.

Dakwah sesuai bahasa umat itu pulalah yang dipilih oleh KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dalam mengisi ruhani umat Islam di Sukorejo dan Situbondo pada umumnya lewat Jam'iyah Sholawat Bhenning.

Perkumpulan seni hadrah selawat itu berdiri pada 2015 yang digagas dan digerakkan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy. Awal-awal pengajian, masyarakat yang datang tidak terlalu banyak.

Kiai Azaim kemudian memanggil Ustadz Zainul Walid, penggerak seni di ponpes yang didiriknan oleh K.H. Syamsul Arifin bersama puteranya K.H. As'ad Syamsul Arifin itu, dan memintanya menampilkan teater dan puisi di sela-sela dakwah.

Zainul Walid, santri yang juga dramawan dan sastrawan itu, merasa kikuk untuk menerima ajakan Kiai Azaim berolah seni di penggung pengajian dan jamaah selawat.

"Bagaimana saya bisa menerima perintah itu? Ini pengajian kok mau diisi dengan ludruk (teater). Saya sampai dipanggil empat kali oleh kiai, tapi tetap belum mau," kata Zainul Walid, pria asal Sumenep, Madura itu.

Sebagai santri senior dan kini mengabdi menjadi ustadz di pesantren itu, Walid menangkap "kemarahan" kiainya atas penolakan tersebut. Namun hal itu belum mampu menghilangkan rasa tidak nyamannya kalau harus menampilkan drama di pengajian Sholawah Bhenning.

Pikiran Walid berubah setelah di suatu malam ia bermimpi dimarahi oleh almarhum KHR Fawaid As'ad, pengasuh Ponpes Sukorejo sebelum Kiai Azaim. Atas mimpi itu, ia menangkap bahwa permintaan Kiai Azaim bukan tanpa alasan.

"Akhirnya saya sanggupi permintaan kiai. Saya kemudian berpikir bahwa Kiai Azaim ini adalah kiai yang berpikir jauh ke depan. Beliau bukan kiai masa lalu atau kiai masa sekarang, tapi masa depan. Beliau sudah berpikir ke depan bagaimana mengayomi umat sesuai dengan kesenangan mereka," kata Walid.

Bahkan, ia menyebutkan bahwa cara berpikir Kiai Azaim sejalan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang dari sembilan wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Tahun 2016, mulailah Jam'iyah Sholawat Bhenning dengan format baru. Sebelum tausiah dari Kiai Azaim, umat yang hadir dihibur dengan pembacaan puisi atau tampilan drama, selain seni hadrah selawatan.

"Alhamdulillah, pengajian semakin ramai. Rupanya inilah maksud kiai dengan tampilan seni drama di acara pengajian. Mereka dijaring dulu, baru dimasukkan pesan-pesan dakwah," ujar Walid.

Kalau awal-awal berdiri, Sholawat Bhenning hanya tampil dari desa ke desa di wilayah Sukorejo dan sekitarnya, kini sudah merambah di wilayah lain di Kabupaten Situbondo, setiap sebulan sekali.

Kegiatan itu belum yang melayani undangan, sehingga dalam sebulan mereka bisa tampil tiga atau empat kali. Karenanya di sejumlah daerah saat ini sudah ada "Bheningmania" yang merupakan masyarakat penggemar setia kegiatan tersebut, yakni di Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Jember, Probolinggo, termasuk Kota Surabaya.

"Masyarakat sangat antusias menyambut Sholawat Bhennning. Sebelum tampil, teman-teman yang terlibat dalam pementasan ini latihan selama seminggu. Bayangkan, betapa 'capeknya' mereka, tapi karena panggilan agama dan takzim pada guru, alhamdulillah mereka 'enjoy' saja," katanya.

Walid menyadari bahwa teater yang dipimpinnya bukan kelompok seni umum, melainkan dibatasi dalam koridor dakwah. Karena itu anggotanya semuanya laki-laki yang merupakan alumni Ponpes Sukorejo serta pemuda masyarakat sekitar pesantren.

Kiai Azaim membuat aturan bahwa santri aktif tidak diperkenankan ikut dalam aktivitas seni di Jam'iyah Sholawat Bhenning karena dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan belajar.

Terkait animo masyarakt Situbondo dan sekitarnya untuk mengundang kelompok Sholawat Bhenning, Kiai Azaim sangat selektif untuk melayaninya.

Menurut Walid, sekecil apapun kegiatan yang akan dilakukan, Kiai Azaim mendasarkannya pada hasil istikharah atau meminta petunjuk kepada Allah.

"Sekecil apapun beliau selalu istikharah, termasuk personel yang akan ikut tampil, kemudian hendak menerima satu undangan atau tidak. Bahkan pilihan apakah beliau duduk di kursi atau tidak saat memberi tausiah, juga istikharah. Menurut saya, istikharah ini perlu dibudayakan," kata Walid.

Ia menyebut sampai saat ini, kelompok itu menolak tampil di suatu daerah meskipun msayarakat sudah mengundangnya berulang kali, karena sesuai hasil istikharah Kiai Azaim belum menunjukkan adanya tanda-tanda baik untuk disanggupi.
   
Bondowoso Bersholawat
Atas inisiatif para mahasiswi Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Sukorejo yang sedang menjalankan kuliah kerja nyata (KKN) di Bondowoso bekerja sama dengan Ikatan Santri Alumni Salafiyah Syafiiyah (IKSASS) Rayon Bondowoso, maka digelarlah Bondowoso Bersholawat yang menghadirkan Kiai Azaim bersama Sholawat Bhenning.

Mardiatul Jazilah, salah seorang panitia Bondowoso Bersholawat, mengatakan bahwa acara itu bertemakan "Soccena Ate Matera' Pekkeran. Nabur Maslahat da' bhala Taretan" yang artinya "Sucinya Hati Menerangi Pikiran. Menabur Kebajikan untuk Sanak Saudara".

"Acara ini murni merupakan persembahan dan terima kasih kami kepada masyarakat Bondowoso. Karena itu kami persilakan dan ajak semua masyarakat Bondowoso untuk ikut berselawat bersama," katanya.

Kegiatan di Alun-Alun Bondowoso itu dimeriahkan dengan lakon drama berjudul "Penguasa Dzalim Arya Kuwu". Lakon itu bercerita hancurnya kemungkaran dari seorang pemimpin negara bernama Arya Kuwu yang ambisius.

Di Negeri Pajang saat itu sedang memiliki hajat besar untuk pemilihan adipati. Ada dua calon yang akan dipilih oleh rakyat dengan karakter calon bertolak belakang. Tokoh Arya Kuwu sangat ambisius, sementara Arya Damar sebaliknya.

Untuk memuluskan ambisinya Arya Kuwu mendatangi dukun bernama Mbah Dawuh, dengan membawa satu peti emas. Arya Kuwu berjanji kalau ia menang akan membawakan Mbah Dawuh satu peti emas lagi.

Pada akhirnya Arya Kuwu menang dan dilantik menjadi Adipati Pajang. Sesuai ambisinya, ia kemudian berkuasa dengan cara zalim. Rakyat harus menyetorkan upeti. Mereka yang melawan kebijakannya dibunuh.

Sementara Mbah Dawuh sudah tidak sabar menunggu Arya Kuwu membawa sepeti emas. Namun ketika ditagih, Arya Kuwu berkelit dengan janjinya. Mbah Dawuh marah, dengan kuasa ilmu hitam ia meminta pertolongan macan, penguasa rimbu di Pajang, untuk membunuh Arya Kuwu.

Pada akhirnya kebenaran akan berada di atas kemungkaran. Setelah Arya Kuwu mati, dewan ulama Pajang menetapkan Arya Damar sebagai adipati.

Rakyat yang sebelumnya saling berseteru karena perbedaan dukungan pada pemimpin kemudian bersatu padu. Lakon itu kemudian diakhiri dengan selawatan bersama. Sebuah akhir yang indah.

Meskipun cukup memukau penonton, sejumlah hal mengganggu penampilan drama tersebut, seperti pengeras suara yang harus dipegang oleh pemain dan proses pergerakan properti yang terlihat oleh penonton.

Barangkali akan lebih bagus jika panggung pementasan menyediakan layar penutup sehingga ketika ada perubahan seting adegan, tidak terlihat oleh penonton.

Bagaimanapun, pesan yang ingin disampaikan dari drama itu kepada jemaah cukup mengena, yakni agar rakyat di suatu negeri bersatu.

Selain itu pesan lainnya agar rakyat tidak salah memilih pemimpin. Kebetulan pada 2018 Kabupaten Bondowoso akan menggelar pemilihan kepala daerah.

"Jadi yang hendak kami sampaikan, ayo masyarakat Bondowoso selalu menjaga kerukunan," kata Walid.(*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017